[ad_1]
Gangguan kognitif dapat terjadi bukan hanya pada manusia, melainkan juga pada hewan. Kucing pun memiliki risiko mengalami gangguan tersebut. Sindrom disfungsi kognitif itu dapat dikenali dengan melihat beberapa perubahan yang terjadi pada anabul kesayangan.
—
DI INDONESIA, cukup sulit mendeteksi disfungsi kognitif (demensia) pada hewan. Pasalnya, hingga saat ini, belum ada layanan kesehatan hewan yang mendukung pemeriksaan lanjutan otak pada hewan. Sementara itu, untuk mengetahui apakah hewan tersebut mengalami demensia, dibutuhkan pengecekan lebih lanjut dengan pencitraan resonansi magnetic.
’’Di Indonesia, belum ada RSHP (rumah sakit hewan pendidikan) maupun RSH komersial yang menyediakan layanan MRI (magnetic resonance imaging) untuk hewan,” kata Kepala RSHP Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (FKH UWKS) drh Era Hari Mudji MVet. Menurut dia, hal itu disebabkan biaya investasi yang sangat mahal.
Hal tersebut membuat penemuan kasus demensia pada hewan belum pernah ditemukan di Indonesia. Dokter hewan hanya bisa mendeteksi seputar gejala dementia-like. Penemuan gejala-gejala tersebut akan ditanggapi dengan terapi-terapi yang dapat mengurangi kemunculan gejalanya. ’’Tetapi, untuk menentukan dengan tepat apakah kucing itu mengalami demensia, harus ada riset lebih lanjut,” imbuhnya. Terapi yang diberikan biasanya berbeda-beda. Bergantung diagnosis dokter dan gejala yang timbul pada si hewan tersebut.
Era yang juga anggota Asosiasi Rumah Sakit Hewan Indonesia (ARSHI) itu menyebutkan, asosiasi mengajak semua pengelola RSH maupun klinik hewan untuk berdiskusi bersama mengenai keterbatasan tersebut. Bukan hanya soal upaya pengadaan alat deteksi MRI, melainkan juga agar ditemukan pemahaman yang sama dalam menyimpulkan tindakan medis yang benar-benar tepat ketika ada pasien yang teridentifikasi memiliki gejala mirip demensia.
Ada beberapa hal yang memicu gejala dementia-like pada hewan. Yakni, suplai darah ke orak yang menurun atau tekanan darah yang terlalu tinggi. Stroke maupun pendarahan dalam otak dapat memicu disfungsi kognitif pada otak. Penyebab lainnya adalah pertumbuhan jaringan yang abnormal atau tumor pada otak. Juga, penumpukan protein yang kemudian memicu percepatan kerusakan sel-sel otak.
’’Penurunan fungsi otak juga bisa terjadi pada hewan yang senior. Kalau untuk kucing, kira-kira yang di atas 6 tahun,” ungkap Direktur Satwa Sehat Indonesia drh Albiruni Haryo MSc.
Dementia-like tampak dari cara berperilaku dan cara merespons lingkungan dari si hewan. Misalnya, jika anabul di rumah terbiasa buang air besar di gundukan pasir, tiba-tiba ia buang air besar di tempat lain. Atau, si anabul itu mengalami disorientasi. Dia bingung untuk masuk ke rumah, harus lewat mana. Padahal, biasanya si anabul sudah hafal di luar kepala titik masuk dan keluar rumah.
’’Akhirnya, ya harus si pemilik hewan itu sendiri yang peka pada perubahan perilaku peliharaannya. Pemilik yang paling tahu apa saja perubahan-perubahan itu, baru kemudian diperiksakan ke dokter hewan,” katanya.
Gejala lainnya adalah kealpaan anabul pada instruksi. Contohnya, dengan instruksi tertentu, biasanya si anabul merespons dengan bersalaman (shake hand). Ketika diberi instruksi yang sama, mendadak memorinya hilang. Kealpaan juga dapat terjadi pada kebiasaan makan maupun tidur. Baru saja habis menyantap makanan, eh, makan lagi karena lupa. Sudah tidur lama saat siang, malamnya mau tidur lagi. Namun, ketika mau tidur lagi, justru anabul tampak gelisah karena tak bisa tidur.
Baca Juga: Samuel Hartono, Pemilik Showroom Disidang karena Jual Mobil tanpa BPKB
Jika anabul tampak gelisah, mondar-mandir, menarik diri dari lingkungan, tidak mau bermain dengan hewan lainnya di rumah, bisa jadi itu pun gejala dementia-like. Perilaku mengulang yang berlebih juga patut diperhatikan. ’’Misalnya, ia suka grooming, terus menjilati tubuhnya berulang-ulang, atau bersuara keras berkali-kali, itu juga bisa jadi gejala,” papar Albi –sapaan karib Albiruni.
KETIKA ANABUL SUDAH TUA
– Sesuaikan pakan dengan kebutuhan hewan. Jika butuh info, jangan ragu berkonsultasi dengan dokter hewan.
– Jika usia kucing sudah lebih dari 6 tahun, terapkan rutinitas yang berpola. Jika memungkinkan, minimalkan perubahan peletakan furnitur.
– Jangan memarahi atau membentak kucing. Situasi yang emosional dapat menjadi stresor dan meningkatkan tekanan darah.
– Jelaskan kepada anggota keluarga bahwa si kucing sudah berusia lanjut. Pesankan agar semua anggota keluarga dapat berperilaku baik pada si kucing.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!