[ad_1]
JawaPos.com – Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Pemantau RKUHP menyesalkan pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej yang menyatakan bahwa Pemerintah dan DPR akan segera memasukan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Wamenkumham juga menyampaikan bahwa pembahasan selanjutnya hanya akan dilakukan terhadap pasal-pasal yang sebelumnya belum tuntas dibahas.
“Pernyataan itu merugikan kelompok organisasi penyandang disabilitas, yang selama proses pembahasan RKUHP selama ini belum pernah dilibatkan. Organisasi Penyandang Disabilitas tidak pernah diundang atau dijelaskan mengenai pasal-pasal dalam RKUHP yang erat dengan kepentingan penyandang disabilitas,” kata peneliti PSHK Fajri Nursyamsi dalam keterangannya, Minggu (20/6).
“Bentuk pelibatan sulit tercapai karena pembahasan RKUHP tidak berjalan transparan dan inklusif. Dokumen-dokumen RKUHP yang tersebar dalam bentuk yang tidak aksesibel, karena sulit untuk dibaca oleh penyandang disabilitas dengan hambatan penglihatan,” sambungnya.
Selain itu, forum-forum yang dilaksanakan sebagai bentuk sosialisasi RKUHP juga tidak pernah melibatkan juru bahasa isyarat. Sehingga sulit dipahami oleh penyandang disabilitas dengan hambatan pendengaran.
“Padahal ada beberapa pasal dalam RKUHP yang bahkan menyebut kata disabilitas secara langsung. Namun karena tidak pernah melibatkan organisasi penyandang disabilitas, maka rumusannya berdampak kepada potensi stigma yang tinggi bagi penyandang disabilitas, dan kemudian menghadirkan ketidakadilan dalam hukum pidana di Indonesia,” ujar Fajri.
Dia menuturkan, draft RKUHP kontraproduktif dengan serangkaian upaya Pemerintah dalam penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas saat ini. Menurutnya, pasal krusial pada RKUHP yang berpotensi menebalkan stigma bagi penyandang disabilitas diantaranya ada pada Pasal 38.
“Pada Pasal 38 disebutkan bahwa, setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pidananya dapat dikurangi dan dikenai tindakan,” papar Fajri.
Pasal itu berpotensi menstigma penyandang disabilitas mental dan intelektual karena pada dasarnya tidak setiap saat penyandang disabilitas mental dan intelektual dalam kondisi tidak cakap hukum, atau tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Anggapan bahwa penyandang disabilitas mental dan intelektual selalu tidak cakap hukum berdampak besar kepada hilangnya hak-hak lain,” cetus Fajri.
Penyamarataan berdasarkan identitas disabilitas yang dinilai berpotensi menebalkan stigma, dan hilangnya hak penyandang disabilitas. Kalaupun ada seseorang yang setelah melalui penilaian psikologi secara personal dan dinyatakan tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka sudah seharusnya lepas dari tuntutan, bukan pengurangan pidana seperti tertera dalam Pasal 38.
Selain itu ada juga Pasal 103 ayat (2) huruf a yang menyebutkan bahwa, tindakan yang dapat dikenakan kepada setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 berupa rehabilitasi. Dalam perkembangan saat ini, berdasarkan Pasal 21 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, layanan yang dikenal bukan hanya rehabilitasi, tetap juga ada habilitasi.
“Kedua layanan itu tujuannya hampir sama, tetapi sasaran yang berbeda. Rehabilitasi ditujukan kepada seseorang yang sebelumnya merupakan non penyandang disabilitas, sehingga rehabilitasi dilakukan untuk mengembalikan kemampuan dalam kondisi yang berbeda. Sedangkan habilitasi ditujukan kepada seseorang yang sedari awal atau lahir adalah penyandang disabilitas, sehingga perlu dilatih untuk dapat hidup secara mandiri,” pungkas Fajri.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!