Sajak Lari dari Pandemi

oleh

[ad_1]

Lari dari Pandemi

/1/

Mendung ataukah murung yang membalut ini pagi

matahari tertutup serupa kedua kelopak matamu

satu setengah juta jiwa melayang bersama pandemi!

terjagalah, bangunlah, nyalangkan mata indahmu untuk hari-hariku.

/2/

Dan aku telah memutuskan: berhenti merindu dan menunggu sebab sudah terlalu banyak yang berebutan. berlomba, sebaik apa pun makna persaingan itu dimainkan, hanya geluncak ombak yang merisak, merusak, berujung sebah sesak.

Aku kini larut sembunyi di kelopak matahari serupa puisi yang terbakar: hidup. hidup.

(2020)

Lelaki di Tengah Pandemi

Lelaki itu berkumis tebal berambut ikal berkulit sawo matang (seperti bapakku) tersenyum dalam posisi rebahan di sebuah ranjang yang didorong, ranjang krom dengan empat roda digerakkan tangan beberapa orang. orang-orang berwajah kaku. seragam.

Di bilik bilas sebuah masjid air memancar di atas kepalaku memelorotkan seluruh pakaian. menelanjangiku. apakah dosa-dosaku juga melorot? apakah ketelanjangan ini adalah dosa-dosaku?

Derit ranjang dorong menyentakku. suaranya tepat di belakangku.

Bilik bilas ini ternyata menganga. bergawang tapi tak berpintu. ruang dalam dan ruang luar keduanya bersisihan saling menyeberang. melenyapkan jarak antara tubuh telanjangku dan senyum lelaki berkumis tebal itu.

Kulihat punggungnya menempel lengket dengan jeroan yang meluber di ranjang krom.

Kulihat juga bocah yang memeluk tengkuk kedua kaki. sendiri.

(2020)

Variasi atas Iwan Simatupang dan Subagyo Sastrowardoyo

Kalau kita berjumpa lagi, Maria, jangan coba yakinkan aku kembali bahwa tubuhmu adalah kanvas dan lenganku adalah kuas. Telah kuputuskan untuk merombak hulu haluan perahu menjauh dari pasang gelombang menuju bulan dan bintang-bintang. Angkasa begitu tenang, begitu sepi, begitu tak terengkuh. Barangkali cinta yang sama-sama kita cari adalah muara segala tualang: Kediaman ini.

(2020)

Paradoks

Semua tampak terang, jelas, tapi juga tak terpegang. kau bilang tak bisa lagi membohongi diri sendiri, tak bisa taat selaras dengan kata yang telah terucap: aku tak akan mencintaimu meski sangat menyayangimu!

Kopi telah dingin tak tersentuh. bibir telah sama kering setelah seribu kecup. kekosongan memenuhi seluruh ruang. jernih dan terang tapi juga tak terpegang.

(2021)


F. AZIZ MANNA

Lahir di Sidoarjo, 8 Desember 1978. Alumnus Ponpes Tambak Beras Jombang. Buku puisinya ”Playon” (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2015) dan diterbitkan ulang Pagan Press pada 2016 mendapatkan Kusala Sastra Khatulistiwa ke-16. Aktif di komunitas Teater GAPUS Unair dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Menerima Anugerah Sastrawan Airlangga 2017.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.