[ad_1]
JawaPos.com – Kudus “menyala” merah. Tapi, satgas Covid-19 menyebutkan ada tujuh kabupaten/kota lain di Jawa Tengah yang juga mengalami lonjakan kasus secara signifikan.
Tujuh daerah itu adalah Brebes, Tegal, Sragen, Banyumas, Karanganyar, Cilacap, dan Wonogiri. Pemprov Jateng pun berkesimpulan bahwa beberapa kabupaten/kota di Jateng tidak memiliki persiapan yang memadai dalam mengantisipasi lonjakan kasus akibat aktivitas masyarakat selama periode libur Idul Fitri pada Mei lalu.
Di Kudus, seperti dilaporkan Jawa Pos Radar Kudus, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Ganip Warsito memberikan catatan untuk melakukan sterilisasi ruang IGD (instalasi gawat darurat). Dia tak memperbolehkan orang keluar masuk secara bebas.
”Meski belum dinyatakan positif Covid, pasien (yang dirawat di IGD) bisa menimbulkan reaktif,’’ kata Ganip yang juga ketua satgas Covid-19 saat mengunjungi RSUD dr Loekmono Hadi, Kudus, kemarin (3/6).
Dia menekankan, penerapan SOP di ruang isolasi dan karantina pasien Covid-19 harus benar-benar dijaga. ”Jangan ada orang yang menjenguk dan keluar masuk secara bebas,” tegasnya.
Sebelumnya, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengungkapkan bahwa pihaknya sudah memprediksi kenaikan kasus itu. ”Setiap ada libur panjang, pasti diikuti peningkatan kasus. Ini sebenarnya terprediksi,” jelas Ganjar kemarin.
Menurut catatan satgas, Jawa Tengah mengulangi tren kenaikan kasus pasca-Idul Fitri 2020. Saat itu Jateng mengalami kenaikan kasus hingga menyebabkan tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit atau bed occupancy ratio (BOR) mencapai angka 90 persen.
Menurut Jubir Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito, separo kasus nasional memang terjadi di Pulau Jawa. Sebab, Jawa adalah pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia. Dua kota terbesar, Jakarta dan Surabaya, juga berada di Jawa. ’’Selain itu, Jateng merupakan daerah dengan tujuan mudik terbanyak. Diikuti Jawa Barat dan Jawa Timur,” jelas Wiku.
Meskipun tren kenaikan kasus sudah pernah terjadi pada 2020, Ganjar mengatakan bahwa tidak semua pemerintah kabupaten/kota memiliki persiapan yang baik. Meski, mereka sudah melakukan koordinasi dan konsultasi rutin terkait potensi kenaikan. Akibatnya, terjadi kenaikan kasus seperti di Kabupaten Kudus.
Terpisah, epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, kasus Covid-19 di Jawa Tengah, khususnya Kudus, meledak diawali dari contact tracing yang rendah. ’’Dari sebelumnya 20–30 orang yang di-tracing menjadi sepuluh sampai enam orang saja. Itu pun hanya keluarga,’’ katanya kemarin.
Akibat rendahnya contact tracing tersebut, orang-orang yang positif Covid-19 sulit dideteksi. Baik itu yang bergejala maupun yang tidak bergejala. Sampai akhirnya, orang-orang yang positif, tetapi tidak terdeteksi dan terpantau, itu menulari orang lain.
Menurut Tri Yunis, meledaknya pasien Covid-19 di Jawa Tengah menunjukkan bahwa kasus Covid-19 di sana sejatinya jauh lebih banyak daripada yang terdata. Dia memperkirakan pasien Covid-19 yang bergejala itu hanya 20 persen dari total jumlah positif Covid-19.
Baca juga: Doni Monardo Resmi Serahkan Jabatan Kepala BNPB kepada Ganip Warsito
Banyaknya orang yang positif Covid-19, tetapi tidak terpantau itu, bertepatan dengan menurunnya disiplin menerapkan protokol kesehatan. Banyak orang yang berkumpul bahkan tanpa mengenakan masker. Momen seperti Tarawih, salat Id, mudik, silaturahmi saat Lebaran, dan libur Lebaran membuat penularan semakin parah.
Sementara itu, Pemkab Kudus kembali melakukan pembatasan aktivitas masyarakat. Salah satunya dengan melarang resepsi pernikahan sementara waktu.
Sebelumnya, Bupati Kudus Hartopo masih membolehkan acara hajatan dengan catatan menerapkan prokes ketat. Namun, melihat kasus persebaran Covid-19, Hartopo menerapkan kebijakan lain. Salah satunya, melarang hajatan.
“Meski zona oranye, merah, kuning, atau hijau, warga tidak boleh menggelar hajatan,” terangnya.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!