Suluk Para Salik

oleh

[ad_1]

O, Pendekar Sastrajendra. Namamu itu…

NAMANYA terus disebut-sebut Tingting Jahe sambil berlarian mengejar monyet Si Kliwon. Ada yang rasa cemburunya dibangunkan di bawah pohon asoka. Pendekar yang kelak mirip pebola Ibrahimovic, lelaki muda yang cemburu itu, sambil mengasah pedangnya sambil juga mengingat-ingat apa yang disejarahkan Si Kliwon dari sumber asli penuturnya.

Sesungguhnya sejarah ibarat jurus dan kebohongan. Pendekar Bra paham betul. Kesaktian jurus silat tergantung pada kuda-kudanya. Kekuasaan kebohongan tergantung pada pembohongnya. Semakin berkuasa pembohong, semakin orang-orang dikuasai oleh kebohongan yang dipaksakan menjadi kebenaran. Ada berbagai versi sejarah. Yang diajarkan yang versi penguasa.

Di pelataran depan Gua Hantu matahari terus menanjak. Bayangan pohon asoka yang rebah ke batu asahan telah berubah. Tiba-tiba, tanpa pamit, para bangau terbang meninggalkan cabang dan ranting asoka. Mereka menetes-neteskan kotoran pula. Di belakang Bra, calon penantang Pendekar Sastrajendra mantan kekasih Tingting Jahe itu, tak jauh dari meranti tua, dua ekor babi dan anjing sedang merintih-rintih minta makanan, tapi segera hening oleh pandangan anak muda itu.

Bagi kekasih Tingting Jahe ini, Si Kliwon benar di hampir seluruh sejarahnya. Benar, Sastrajendra remaja bertentangan dengan penguasa yang memaksakan kepercayaan impor buat seluruh warganya. Hewan mantan kesayangan Sastra itu cuma ngaco bagian akhirnya. Sastrajendra bukan dijambak hingga mbrodol rambut di ubun-ubunnya oleh algojo, lalu botak dan menyembunyikannya dengan topi koboi hingga kini.

***

Ingatan Bra sampai pada gua lain di dekat Pulau Kurawa, saat Pendekar Elang Langlang Jagad mengantarnya bersama Tingting Jahe ke suatu halte yang akan membuat keduanya bertemu si bangkotan Pendekar Sastrajendra.

”Maaf, bisaku cuma mengantar sampai di sini. Cuma kail yang bisa kuberikan,” ujar Elang. ”Pendekar Sastrajendra sudah merawat dan menjadi ayah angkat anakku, Tingting Bocah. Rasanya tak patut kuberi kalian ikan dengan langsung menjumpakan kalian pada pendekar yang akan kautantang itu. Baik juga nanti jika perjalanan kalian menuju tantangan ini menjadi suluk.”

Elang mengambil napas, ”Halte di setiap jalan selalu terhingga. Kecuali di jalan menuju Gusti. Itulah suluk. Pada suluk, setiap pejalan atau salik merasa sudah tiba tujuan, yaitu Gusti. Dia mulai mengafir-ngafirkan orang, padahal baru sampai pada halte berikutnya lagi dari halte-halte yang tak terhingga. Kamu jangan begitu!”

Saat mendengar tuturan induk Tingting Bocah itu gua serasa rumah, terutama rumah sebagai panepen. Sekitarnya lembap atau tidak, yang jelas asri. Menandakan bahwa dulu gua dan sekitarnya ini dihuni orang-orang yang bersemedi. Sayap-sayap kelelawar yang menggantung di langit-langit gua seperti jubah terbalik. Di mulut gua lebah-lebah berseliweran dengan suara mirip dengung mantra para pertapa. Burung-burung tak mencibir keheningan itu. Malah mereka iri, mengapa lebih banyak manusia yang mampu merayakan keramaian, tapi jatuh bangun dan selalu gagal untuk merayakan sunyi.

Selain rumah sebagai panepen atau tempat merenung, rumah sebagai patunggon atau tempat tinggal pun terpenuhi di gua itu. Keduanya tercakup. Di patunggon itu, ketika Tingting Jahe sedang tak bersama mereka untuk membersihkan lumut-lumut mati, Pendekar Elang Langlang Jagad menuturkan sejarah remaja tak bernama, masa lalu Pendekar Sastrajendra.

***

Anjing dan babi kesayangan remaja tak bernama bernama Madep dan Manteb. Nama belakangnya sama-sama Kersaning Gusti. Karena tak mati-mati digantung, remaja itu akan dibakar. Saat api mulai menggelora, remaja berdehem. Madep-Manteb Kersaning Gusti tanggap. Mereka langsung melompat ke dalam api. Siluet mereka tampak bermain-main kegirangan di dalam amukan si jago merah. Sudah itu keduanya keluar lagi dari api. Tubuh mereka segar dan basah kuyup. Si Madep malah mengibas-ngibaskan kepalanya seperti perawan yang baru keramas.

Jaka Pitaya terkesima. Pemimpin kadatuan sekaligus penguasa Jurus Kebal Rayuan Manis yang mulai luntur itu dan istrinya, Drupadun, terperangah. Kalau hewan-hewan piaraannya saja sudah senyentrik itu, bayangkan kesaktian sang majikan yang tak mau merasuk kepercayaan impor.

Remaja tak bernama itu cuma membuat meja dari kayu-kayu api unggun yang belum terbakar. Kedipan matanya sudah cukup membelah-belah kayu bak gergaji. Ia masuk ke dalam api bersama mebel dadakannya. Di dalam api ia menulis buku di atas meja. Sepadam dahana, di atas abu meja sudah ada buku tentang trik-trik memulihkan Jurus Kebal Rayuan Manis. Tapi, remaja tak bernama itu sudah raib. Desas-desusnya ia sudah mengembara, menjadi salik di jalan suluk.

Buku wasiat dibaca Jaka Pitaya. Ia mulai merenungi lagi kepercayaan impornya. Tak penting disejarahkan di sini apakah Jaka meninggalkan kepercayaan impornya, mengusir Drupadun dan kembali merasuk kepercayaan lama, atau memadukan kepercayaan impornya dengan kepercayaan lama. Yang penting, semua warga jadi berpikir, ke mana perginya sang remaja tak bernama.

Tak jauh dari meranti tua, anjing dan babi di belakang Bra pun turut berpikir. (*)


SUJIWO TEJO

Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.