Surya Sahetapy Merintis Kesetaraan untuk Tuli

oleh

[ad_1]

Orang-orang dengan disabilitas, termasuk tuli, belum ”merdeka” di negeri sendiri. Mereka harus bekerja ekstrakeras dengan banyak hambatan. Aktivis tuli Surya Sahetapy yakin belum terlambat untuk melakukan perubahan.

INDONESIA belum ramah disabilitas. Diskriminasi hingga perundungan untuk orang-orang dengan disabilitas masih marak. Surya Sahetapy menilai, perlakuan berbeda itu juga tecermin dalam sistem pendidikan luar biasa. Dia menceritakan pengalamannya. Setelah SLB, lanjut di jenjang yang sama di sekolah umum.

’’Bobot dan kurikulumnya jauh berbeda. Level mata pelajaran di SMALB sama dengan pelajaran di SD umum. Hambatan lainnya, (orang dengan disabilitas) sekolah di sekolah umum juga enggak mudah,” paparnya kepada Jawa Pos, sebagaimana diinterpretasikan juru bahasa isyarat Fajrussalam pekan lalu.

Surya memaparkan, tidak banyak sekolah yang menyediakan program inklusif. Kalaupun ada, kuotanya amat terbatas. ’’Di kelas tidak ada juru bahasa isyarat (JBI) atau juru ketik yang menerjemahkan penjelasan guru. Juga, risiko di-bully,” imbuh pria kelahiran 21 Desember 1993 tersebut.

Pengalaman itu jauh dengan yang dia rasakan saat menempuh studi di Rochester Institute of Technology (RIT), New York. Jumlah mahasiswa tuli di sana mencapai 10 persen dari total 18 ribu mahasiswa. Terdapat fasilitas caption dan JBI. ’’Ada satu kelas saya yang profesor pengajarnya orang dengar. Tapi, dia memilih ngajar dengan bahasa isyarat. Anak-anak dengar menyimak versi verbal yang diinterpretasikan JBI,” beber lulusan cum laude RIT tersebut.

Tak hanya itu. Ketika ke rumah sakit, misalnya, ada video relay interpreter (VRI). Mesin tersebut membantu penerjemahan dari bahasa verbal ke bahasa isyarat, dan sebaliknya, secara simultan. Di sana, pendampingan JBI bisa didapat dengan gratis dan mudah.

Surya menilai, kemudahan itu belum ada di tanah air. Dia harus menyediakan JBI dengan biaya sendiri ketika ada keperluan. ”Ini diskriminasi. Saya mau berkomunikasi di negeri sendiri, kok harus bayar?” tegasnya. Pencetus komunitas Handai Tuli itu juga menyatakan, di Indonesia belum ada perguruan tinggi yang memiliki program sarjana atau diploma bahasa isyarat. Jumlah JBI sangat sedikit, kurang dari 100 orang yang tercatat.

Meski demikian, Indonesia tak hanya jalan di tempat. Anak pasangan Dewi Yull dan Ray Sahetapy itu menuturkan, jumlah peminat Bisindo –bahasa isyarat Indonesia– meningkat selama satu dekade terakhir. ’’Kemasan” yang mudah diakses, seperti konten YouTube dan pemakaian isyarat di klip video atau film serta gerakan komunitas di daerah, membuat Bisindo lebih dikenal.

”Selama pandemi, banyak juga yang tertarik belajar Bisindo,” imbuhnya. Surya berharap tampilnya sosok dengan disabilitas di media populer membuat banyak orang mulai menerima kondisi berbeda. Plus, menghentikan glorifikasi disabilitas. ’’Disabilitas sering dianggap inspiratif karena keterbatasan. Sebenarnya oke saja, tapi ayo buat tindak lanjutnya,” tegas Surya.

Banyak jalan menuju kesetaraan. Surya mengatakan, pemahaman terhadap budaya tuli bisa dimulai dengan memperluas akses terhadap bahasa isyarat. ’’Dimulainya dari pendidikan. Bahasa isyarat bisa diajarkan secara masif di sekolah,” ucapnya.

Selain itu, membuat SLB inklusif. Surya ingin kelak SLB dan sekolah umum setara dan terbuka bagi siapa pun. ’’Di Italia dan Hongkong bisa. Kenapa kita enggak?” imbuhnya. Pemerintah harus mempertimbangkan anak-anak dengar yang lahir dari orang tua tuli. ”Mereka juga perlu menguasai komunikasi dengan Bisindo,” paparnya.

Penyuka klub sepak bola Chelsea itu mengapresiasi pemerintah yang merilis UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta pembentukan Komisi Nasional Disabilitas. Menurut dia, akan lebih optimal jika ada representatif staf atau divisi di tiap kementerian, lembaga negara, atau pemerintah daerah.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.