Sutardji, Mantra, dan Religiusitas

oleh

[ad_1]

Mengurai jejak Sutardji Calzoum Bachri dari masa kecil, saat dia dijuluki ”penyair bir”, menjalani pengadilan puisi, dan bagaimana kini puisi-puisinya berseluruh kepada Allah.

BUKU Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri Biografi Kesaksian ini bukan sekadar biografi Sutardji sebagai pribadi dan Sutardji Calzoum Bachri (selanjutnya disingkat SCB) sebagai penyair yang memiliki reputasi hebat di tanah air. Buku tulisan Taufik Ikram Jamil, sastrawan cum jurnalis, ini juga sebuah kesaksian terhadap SCB dan kepenyairan dari penyair yang lahir di Rengat (kini Kepulauan Riau) itu pada 24 Juni 1941.

Biografi kesaksian (terhadap) SCB ini, diakui Taufik Ikram Jamil (berikutnya ditulis TIJ), dimulai bukan setahun dua tahun, tetapi sangat lama. Bahkan, ”di antaranya tertuang dalam bentuk skripsi –sehingga menempatkan porsi sekitar 15 persen dari buku ini,” jelas TIJ (vi).

Dalam buku ini, TIJ mengalir, mengalir, melaju, dan terkadang ia melompat ke mana-mana. Terutama sejarah Melayu, raja-raja di Melayu, sampai mempertanyakan ihwal hilangnya kata ”Riau” dalam suatu Kongres Pemuda. Meski begitu, TIJ tetap tidak meninggalkan SCB sebagai tokoh utama dalam bukunya ini.

Biografi SCB ditulis amat cermat oleh TIJ, didukung berbagai sumber dan wawancara. Bagaimana SCB masa kecil di tempat kelahirannya, bermain dengan pantai, mencarikan kayu bakar buat emaknya, mencuri-curi waktu masuk ke perpustakaan untuk membaca, juga soal kamus yang selalu dibawanya. Kalau ada yang kurang detail, ialah soal perempuan. Misalnya kala SCB tinggal di Bandung.

*

Perjalanan SCB dimulai dari kampung kelahirannya di Rengat, Kepulauan Riau. Ia berpindah-pindah kota mengikuti tugas sang ayah –Muhammad Bachri– sebagai polisi, seperti Bengkalis, Tanjungpinang, dan lainnya. Sebelum akhirnya SCB kuliah atau menetap di Bandung.

Di Kota Kembang ini, kepenyairan SCB menampakkan diri. Kalau membaca biografi kesaksian TIJ ini jelaslah, kesehariannya sebagai seniman hampir mirip Chairil Anwar.

Dalam arti degil, usil, dan ”urakan”. Bacalah di biografi ini bagaimana ia berpindah-pindah tempat menginap di kosan kawan-kawan sesama berasal dari Riau.

Meski demikian, untuk urusan kawan yang sama-sama menyukai sastra, SCB tak membatasi pergaulan. Tapi, ”api” yang mendidihkan kepenyairannya justru dari abangnya, Sudirman Bachri.

Sebelum ia tampil di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta dengan pemanggungannya yang spektakuler dan menghebohkan sehingga dijuluki ”penyair bir”, namanya sudah berkibar saat bermukim di Bandung. Bahkan, seusai pembacaannya di TIM yang mendapat pro dan kontra, ia menggerakkan sebuah Pengadilan Puisi dengan menghadirkan Slamet Sukirnanto sebagai jaksa dalam Pengadilan Puisi, 8 September 1974 atau 10 bulan setelah pembacaan puisi SCB di TIM tadi.

Di dalam buku biografi kesaksian SCB tersebut digambarkan bagaimana para kritikus sastra Indonesia saat itu yang sebelumnya memuji sajak-sajak SCB seakan berbalik cepat seusai menyaksikan pembacaannya di TIM yang ”mabuk” itu. Maka, lahirlah semangat Pengadilan Puisi yang isi dakwaannya antara lain, ”kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini tidak sehat, tidak jelas, dan berengsek,” ujar Slamet sebagai jaksa.

SCB memang pengecualian. Meski pernah setahun di Iowa, tidak lantas setelah kembali ke tanah air ia menulis sajak beraroma Amerika dengan menanggalkan sajak ”mantra” dan ”pantun”-nya. Bagi SCB, tetap mempertahankan tradisi, pulang pada ke akar, adalah sebentuk mewariskan apa yang dipunya kepada dunia.

Pada 24 Juni lalu, SCB tepat berusia 80 tahun. Periodisasi predikat ”Presiden Penyair” mungkin telah mengalahkan Soeharto berkuasa.

Tetapi, gelar ”Presiden tanpa Pemilu” (211–234) ini tak ada tanda-tanda akan dilepaskan atau diwariskan, seperti keinginan dalam bentuk gurauan Tommy F. Awuy –karib SCB yang juga dosen filsafat UI– karena memang SCB masih berkarya hingga kini. Bagaimana lagi estafet itu diambil? Mau kudeta? Penyair Indonesia akan mengutuk kau!

Baca juga: Ketika Para Pendekar Puisi Berkemah dan Unjuk Kebolehan di Lembah Ijen

Dari biografi kesaksian ini, TIJ benar-benar mendedah-menderas tubuh puisi dan tubuh keseharian SCB. Dan, nyatalah bahwa sajak SCB sejak O Amuk Kapak mengandung dan melaungkan religiusitas (Islam), bahkan tak berlebihan sufistik, seperti jauh-jauh masa dinyatakan Abdul Hadi W.M.

Begitu pula SCB sebagai pribadi, tentu semenjak ia menjadi suami dari Mariam Linda dan ayah dari Mila Seraiwangi, benar-benar mabuk hanya pada Allah. Tengok saja sajaknya ”Berhadap-hadap dengan Kakbah”, ”Idul Fitri”, ”Ramadhan”, dan banyak lagi untuk menegasi apa yang ditulis TIJ sebagai kesaksian atas biografi Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, ini. (*)


  • Judul: Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri Biografi Kesaksian
  • Penulis: Taufik Ikram Jamil
  • Penerbit: Milaz Grafika, Juni 2021
  • Tebal: 466 + xliv
  • Oleh Isbedy Stiawan Z.S. Sastrawan dan Menetap di Lampung

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *