[ad_1]
Lonjakan kasus Covid-19 yang tengah terjadi di berbagai daerah di Indonesia menimbulkan kecemasan dan kesedihan.
—
SETIAP hari saya menerima kabar dukacita, hal ini membuat hati murung, bahkan putus asa. Tidak luput saya memikirkan betapa beratnya hari-hari seperti ini bagi para tenaga kesehatan. Para dokter, perawat, atau tenaga medis yang berada di garda terdepan menghadapi wabah, yang mulai bertumbangan. PB IDI dalam rilis persnya menyampaikan total 401 dokter, 315 perawat, 25 tenaga laboratorium, 43 dokter gigi, 15 apoteker, dan 150 bidan yang meninggal karena Covid-19.
Gugurnya Liza Putri Noviana, seorang perawat yang bertugas di RSDC Wisma Atlet, terasa begitu getir. Liza Putri Noviana, perawat berusia 33 tahun tersebut, merupakan tenaga kesehatan pertama yang meninggal dunia karena Covid-19 semenjak RSDC di Kemayoran berdiri. Dalam berbagai wawancara, mereka yang mengenal Liza Putri Noviana mengenang betapa berdedikasi dan tulus perempuan itu. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan mengutamakan tugasnya sebagai seorang perawat. Dewan Pengurus Pusat PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) menyatakan bahwa selama Juni 2021 angka kematian perawat karena Covid-19 meningkat hingga 34 kasus jika dibandingkan dengan Mei, yakni empat kasus.
Saya teringat nenek saya, Si Luh Nyoman Sunarti, yang tinggal di kampung halaman di Bali. Ia selalu bernostalgia masa-masa menjadi perawat dan saat bersekolah ilmu keperawatan. Kala perang kemerdekaan, nenek saya adalah salah seorang perawat yang turut berjuang. Nenek bermukim di hutan di wilayah negara, membantu para prajurit bergerilya. Nenek masih mengingat kesedihan saat gagal menyelamatkan nyawa para pejuang yang terluka, hingga kini pun wajah-wajah mereka melekat di hatinya. Ketika mengikuti sekolah keperawatan pada 1949, saat itu Indonesia adalah negara baru yang menyongsong masa depannya. Nenek memiliki cita-cita yang tinggi. Menurutnya, perempuan harus selalu mengembangkan dirinya. Ia bercerita tentang pendidikan yang diterima pada masa hidup di asrama. Ia mempelajari anatomi, fisiologis, hingga bersikap mental positif saat merawat pasien.
Saya berkesempatan beberapa kali mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan PPNI. Memang, divisi pengabdian masyarakat di kampus UI difokuskan membantu para perawat. Kami bekerja sama di berbagai daerah seperti Jawa, Sulawesi, hingga Papua. Salah seorang perawat yang amat saya kagumi adalah Budi Anna Keliat, seorang guru besar di bidang ilmu keperawatan. Sepanjang pandemi ia bersama relawan perawat lainnya memberikan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial untuk masyarakat. Seolah-olah tidak mengenal letih, Budi Anna Keliat setiap hari melatih relawan dan menyemangati para perawat. Dalam sesi-sesi pendampingan kesehatan jiwa, Budi Anna Keliat selalu mengingatkan para perawat untuk berpikiran positif.
Saya mencoba menelaah mengapa para perawat diajari dalam pendidikan keperawatan untuk memiliki pikiran yang positif? Sebab, pekerjaan mereka adalah mengasuh, menjaga, dan menguatkan para pasiennya. Pekerjaan yang sama sekali tidak mudah karena tidak saja menyangkut kesehatan tubuh pasien, tetapi juga kesejahteraan jiwanya. Perawat dalam keadaan apa pun, bagaimanapun suasana hatinya, dilatih untuk tampak tenang dan kuat. Di ruang intensif isolasi Covid-19 dalam kesenyapan mereka merawat pasien, meski mungkin raga mereka terlampau lelah, merindukan keluarga, dan batin pun memendam kecemasan, tetapi mereka bertahan demi pasien.
Agung Waluyo, seorang perawat sekaligus pengajar ilmu keperawatan, menuturkan kepada saya betapa gundah hatinya melepaskan para relawan perawat bertugas di garda depan menghadapi Covid-19. Ia bangga sekaligus khawatir kepada para perawat muda tersebut. Sebagai seorang pengajar, Agung Waluyo mengakui ada tantangan tersendiri mengajarkan tentang caring, atau pengertian, kepedulian terhadap pasien. Ia merupakan perawat dan peneliti yang kepakarannya pada bidang HIV/AIDS dan kanker. Agung Waluyo bertekad melalui penelitian-penelitian tentang keperawatan di bidang HIV/AIDS dapat berkontribusi dalam mematahkan stigma terhadap ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Semasa pandemi ini pun ia berkonsentrasi meneliti kondisi kesehatan para narapidana di lembaga pemasyarakatan.
Para perawat tidak memilih siapa pasien mereka, apa latar belakang agama, etnis atau ideologi politik pasien mereka. Tugas mereka mulia dan menandakan yang terpenting dari kemanusiaan kita. Akan tetapi, betapa mirisnya nasib mereka. Dalam kondisi serangan pandemi saja, mereka masih terbebani dengan intimidasi dan stigma sebagai perawat pasien Covid-19. Mereka mengalami diskriminasi dan dikucilkan. Lebih buruk lagi mereka juga dianiaya, disudutkan pula oleh orang-orang yang menyangkal adanya Covid-19 dan lalai terhadap protokol kesehatan. Menurut saya, penyangkalan ini bukan saja konyol, tetapi juga sangat tidak etis.
Baca juga: Di Balik Saranghaeyo
Jika kita hendak bicara tentang teori konspirasi, saya lebih tertarik dengan apa yang disampaikan seorang antropolog, David Graeber, tentang tragedi profesi perawat yang terabaikan. Dalam analisisnya tentang masyarakat pascapandemi, perawat seharusnya menjadi pekerjaan yang dihargai. Lebih dari itu, terjamin kesejahteraannya. Ketua Umum PPNI Harif Fadillah berbicara kepada publik, mengungkapkan masih banyak insentif bagi perawat yang belum dipenuhi. Mengapa kesejahteraan perawat kita sedemikian terbengkalai? Padahal, tangan mereka merawat yang sakit, yang terabaikan, dan menderita. (*)
—
SARAS DEWI, Dosen Filsafat Universitas Indonesia
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!