Tiap Hari, Tiap Malam, Kami Hanya Bisa Pasrah Berdoa dan Menangis

oleh

[ad_1]

Cerita Enam ABK Asal Pamekasan yang Sepekan Terombang-ambing di Lautan

Karena ada peralatan yang rusak, kapal mereka terseret dari perairan Kalimantan sampai ke Karimunjawa. Keluarga di rumah sempat mengadakan Yasinan.

MOH. ALI MUHSIN, Pamekasan, Jawa Pos

SENYUM dan tawanya mengembang. Tamu memang tak henti mengalir, baik tetangga maupun keluarga. Namun, di wajah Sayuri masih tergurat jelas jejak kelelahan.

Maklum, kemarin (29/8) adalah hari pertamanya balik ke tengah keluarga di Desa Sotabar, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan, Madura. Setelah hampir seminggu hilang kontak bersama lima anak buah kapal (ABK) Bulan Purnama yang dia nakhodai.

”Ada alat kapal yang rusak dan kejadiannya saat itu masih lebih dekat dengan Kalimantan,” ucap pria 45 tahun tersebut membuka cerita kepada Jawa Pos Radar Madura.

Ketika itu, Sabtu (21/8) sekitar pukul 04.00, Bulan Purnama berada sekitar 130 mil dari perairan Bawean, pulau di utara Madura yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Kapal tak bisa berjalan normal. Terpaksa terombang-ambing mengikuti arus lautan.

Selain Sayuri, ada Massulah, 50; Hasan, 54; Mat Salim, 45; Moh. Abdullah, 45; dan Sahe, 55, di atas kapal yang ketika berangkat dari Madura membawa garam tersebut.

Kepanikan mulai muncul. Doa pun terus mereka munajatkan.

Saat itu pilihannya hanya dua: hidup atau mati. Mereka berharap ada kapal atau perahu lain yang melintas. Dan, sebenarnya memang ada. Bahkan lebih dari sekali. Namun, karena yang melintas hanya perahu kecil, pertolongan tak bisa diberikan.

”(Jika memberikan bantuan, Red) bisa membahayakan mereka sendiri. Mereka hanya melambaikan tangan kepada kami,” kenang pria 45 tahun tersebut.

Massulah, salah seorang ABK, mengenang bagaimana mereka memohon pada setiap perahu yang melintas agar bisa ditolong. ”Tolong, Pa’, matoro’a nyaba (tolong, Pak, kami ingin menitipkan nyawa),” ujarnya mengulang permintaannya dan kawan-kawannya ketika itu.

Air saat itu sudah mulai masuk kapal. Padahal, sebagian muatan kayu yang diangkut dari Kalimantan telah dibuang. ”Kayu dibuang agar muatan kapal tidak berat,” jelasnya.

Di tengah laut, Massulah dan kawan-kawannya hanya bisa menangis tiap hari dan tiap malam. Mereka takut tidak selamat. Pada saat yang sama, mereka memikirkan nasib keluarga di rumah.

Masulla Sayuri, nakhoda kapal Bulan Purnama. (MOH ALI MUHSIN/JAWA POS RADAR MADURA)

Persediaan makanan juga kian menipis. Beruntung, ada nelayan lain yang memberi bantuan berupa beras dan mi instan meski tak bisa mengevakuasi mereka.

Sementara, kapal terus diseret arus hingga mendekati Pulau Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah. Keenam ABK semakin panik. Sebab, kondisi kapal mereka semakin tak stabil. Air semakin merangsek ke kapal. Tak ada yang bisa mereka perbuat, kecuali pasrah dan berdoa agar selamat. Atau, meninggal dalam kondisi syahid.

Harapan untuk selamat kembali bersemi saat ada perahu yang melintas. Namun, lagi-lagi bantuan tak bisa diberikan. ”Karena perahunya juga kecil dan ombak besar. Tapi, dia masih bisa menghubungi temannya yang memiliki kapal besar,” ujarnya.

Saat itu kondisi Bulan Purnama sudah semakin mengkhawatirkan. Sebagian badan kapal sudah karam. Beruntung, sekitar sejam kemudian, kapal yang dihubungi datang.

Massulah mengakui, ketika itulah dirinya mulai tenang dan yakin akan selamat. Meski, tetap saja bisa masuk ke kapal besar tersebut tidaklah mudah. Sebab, kondisi ombak begitu besar. Dia dan kelima rekannya harus memegang tali tampar yang diberikan kapal penolong.

”Kami meloncat dari kapal yang kami tumpangi dan bersama teman-teman saling pegang erat-erat. Kalau terlepas, bisa hilang terhanyut ombak,” kenang pria 50 tahun tersebut ketika ditemui Jawa Pos Radar Madura di rumahnya di desa yang sama dengan Sayuri.

Repotnya lagi, lanjut Massulah, ada teman mereka yang tak bisa berenang. ”Jadi, kami harus berupaya membantu dan memegangnya,” katanya.

Perjuangan akhirnya membuahkan hasil. Semua ABK berhasil dievakuasi ke kapal penolong. Mereka langsung dibawa menuju Pulau Karimunjawa. Sementara, Bulan Purnama dibiarkan tenggelam bersama kayu yang dibawanya.

”Kami berada di sekitar Pulau Karimunjawa itu pada Jumat sekitar pukul 09.00 dan tiba di Pulau Karimunjawa (setelah dievakuasi) pada Sabtu sekitar pukul 10.00. Dari Karimunjawa ke Jepara tiba sekitar jam 10 malam pada hari yang sama,” jelas Sayuri.

Hermawati, istri Sayuri, tentu saja bahagia setelah mendengar kabar suaminya selamat. Hari-hari sebelumnya dilalui hanya dengan berdoa dan menangis memikirkan nasib suami yang tak kunjung datang.

Perempuan 45 tahun itu mengenang, pada Jumat (20/8) saat Bulan Purnama mulai berlayar dari Kalimantan, Sayuri masih menghubunginya sekitar pukul 15.00.

Dia melepas jangkar setelah salat Jumat. Ketika itu sang suami mengatakan sebentar lagi tak bisa dihubungi karena tak ada sinyal.

Dan, sejak itu tak ada kabar lagi. Nomor yang dihubungi tak bisa lagi dikontak. Padahal, seharusnya mereka tiba selambatnya pada Minggu (22/8). ”Jadi, kami (para istri) nangis tiap malam,” tuturnya.

Karena tak ada kabar berhari-hari, keluarga ABK sudah mengadakan Yasinan dan doa bersama. Yasinan itu diniatkan agar para ABK selamat dari marabahaya. Dan, kalaupun meninggal, mereka diharapkan mati syahid. ”Tapi, kami masih yakin selamat dan hidup,” ujarnya.

Akibat kejadian tersebut, ABK mengalami kerugian materi sekitar Rp 1 miliar. Meliputi kapal yang karam dan kayu yang dibawa.

Namun, yang terpenting bagi Hermawati dan seluruh keluarga ABK adalah orang-orang yang mereka cintai selamat. ”ABK, termasuk suami saya, dianter ke Suramadu. Kami jemput tadi (kemarin) dan tiba sekitar pukul 10.00,” ucapnya.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *