Tim LIPI Usulkan Jeda Kemanusiaan di Papua

oleh
oleh

[ad_1]

JawaPos.com – Eskalasi kekerasan yang terjadi di Papua harus segera dihentikan agar tak berkembang menjadi perang terbuka. Sebab, korban terus berjatuhan, termasuk warga sipil.

Untuk itu, Tim Kajian Papua LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengusulkan adanya jeda kemanusiaan. Jeda kemanusiaan itu berupa kesepakatan kedua pihak, aparat Polri-TNI dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) atau yang dalam istilah pemerintah disebut kelompok kriminal bersenjata (KKB), untuk sama-sama menghentikan kekerasan. ’’Tidak melakukan serangan. Bertahan di pos masing-masing,’’ kata Prof Cahyo Pamungkas, anggota Tim Kajian LIPI.

Selama jeda kemanusiaan itu, dibuka jalur transportasi evakuasi warga sipil yang selama ini terjebak di lokasi konflik.

Juga, dibuka akses kemanusiaan untuk pemenuhan kebutuhan makanan dan sejenisnya bagi warga sipil. Selain itu, dalam masa jeda kemanusiaan tersebut, ditetapkan de-escalation zone atau safe zone.

Di dalam zona hijau itu, tidak boleh ada kekerasan. Baik yang dilakukan TNI dan Polri maupun KKB atau OPM. Penentuan de-escalation zones tersebut seperti yang dilakukan di Syria. Setelah jeda kemanusiaan, diupayakan tahap gencatan senjata. ’’Baru setelah itu fase perundingan perdamaian,” katanya.

Dua guru, seorang pelajar, dan seorang tukang ojek tercatat tewas tertembak di tangan KKB selama periode Maret–April. KKB beralasan mereka mata-mata. ”Tapi, aparat (TNI-Polri, Red) kita juga membunuh warga sipil. Dengan tuduhan orang yang dibunuh adalah warga OPM,’’ kata Cahyo kemarin.

Cahyo menyampaikan, pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah selama ini terbukti gagal. Dia juga kurang sepakat dengan istilah teroris bagi KKB atau OPM. Begitu pun pendekatan pembangunan tidak efektif. ’’Kami akui pada masa Pak Jokowi sekarang, pembangunan di Papua luar biasa,’’ katanya.

Dia mengungkapkan, di Papua dibangun banyak SD. Sayangnya, tidak ada gurunya sehingga anak-anak Papua setempat tidak mendapatkan layanan pendidikan berkualitas. Dibangun juga banyak puskesmas. Tetapi, tidak ada dokter, perawat, dan stok obat-obatan.

Senada dengan Cahyo, dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Presiden Jababeka Emir Chairullah mengatakan, pemerintah sudah waktunya menggunakan kembali pendekatan resolusi konflik dalam menangani kasus bernuansa separatisme di Papua. Pendekatan resolusi konflik dilakukan dengan memanfaatkan meja perundingan. Seperti yang pernah dilakukan di era Presiden B.J. Habibie dan Gus Dur.

’’Upaya resolusi konflik waktu itu terbukti relatif efektif dalam mengurangi kekerasan di Papua,” katanya.

Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI Purnawirawan Moeldoko menegaskan, persoalan Papua bakal ditangani secara terukur dan proporsional. Dan, dengan tetap mengedepankan hak asasi manusia (HAM).

’’Presiden sudah pesan (kepada) Kapolri dan panglima TNI untuk wanti-wanti terhadap persoalan HAM,’’ kata Moeldoko saat menghadiri Festival HAM di Jakarta kemarin (28/4).

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tentang Penulis: Redaksi

Pimprus
Website media INFOMURNI merupakan website resmi yang berbadan hukum, Berisikan berbagai informasi untuk publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.