[ad_1]
PENCINTA film superhero, apalagi dari jagat Marvel Cinematic Universe (MCU), harus menengok lagi Wanda Maximoff. Yang baru-baru ini resmi ditahbiskan sebagai Scarlet Witch di episode terakhir WandaVision. Sosok yang disebut-sebut sebagai Avenger terkuat, dengan jangkauan kekuatan besar dan mampu menulis ulang realitas.
Saya sendiri adalah penggemar Wanda (yang diperankan Elizabeth Olsen) dan alter egonya. Dia adalah alasan mengapa saya akhirnya tertarik nonton Avengers: Age of Ultron, Captain America: Civil War, Avengers: Infinity War, dan Avengers: Endgame. Sayang, meski punya peran signifikan, screen time Wanda tidak sebanyak Iron Man atau Captain America.
Begitu MCU mengumumkan serial WandaVision, saya langsung happy. Meski nggak sepenuhnya tentang dia sendiri, seenggaknya Wanda punya panggung utama di jagat MCU. Menunjukkan bahwa tim produksi MCU menyikapi dengan serius sosok saudari kembar mendiang Pietro Maximoff itu.
Menonton tiga episode awal WandaVision bak menyantap hidangan yang benar-benar baru buat kita. Selain karena itu serial pertama MCU, WandaVision terasa segar karena berani mengangkat genre komedi situasi. Lucu, orisinal, dan mudah dinikmati. Tapi, di sisi lain, kita juga menebak-nebak. Vision kok hidup lagi? Ini sebenarnya apa dan di mana sih, kok Wanda kayak benar-benar hidup bahagia setelah semua luka yang diderita?
Setelah tiga episode awal yang tampak ringan dan menghibur, episode keempat akhirnya menjadi penjelas bahwa WandaVision lebih dari sekadar serial romansa komedi. Olsen mengatakan, Wanda di sini lebih sesuai dengan versi komik. Salah satunya, punya kemampuan menciptakan realitas sesuai keinginan. Realitas itu rupanya terkait erat dengan kondisi mental Wanda dan mekanisme pertahanan dirinya dalam menghadapi rasa sedih.
Di akhir cerita, tahulah kita bahwa Wanda menciptakan realitas Westview idamannya karena perasaan hampa dan kosong akibat ditinggal orang-orang terkasih. Orang tua, saudara kembar, dan kekasih, semua direnggut darinya. Perasaan hampa itu akhirnya bikin dia denial, mencoba menyangkal bahwa semua telah pergi. Hingga akhirnya Wanda ’’menciptakan’’ Vision yang ada di benaknya dengan kekuatan baru yang hingga kini belum dikenalnya.
Bukan hanya Vision, Wanda juga membentuk dunia baru yang ideal baginya. Nah, di sinilah duo sutradara dan penulis Matt Shakman-Jac Schaeffer membuat plot yang brilian. Nuansa sitcom lintas zaman nggak cuma jadi apresiasi era emas televisi, tapi juga berkaitan dengan karakter Wanda.
Dia rupanya punya kenangan manis dengan sitcom, yang sering ditonton bersama keluarga. Sitcom memberikan ketenangan bagi Wanda, sampai dirinya berpikir bahwa latar sitcom adalah kehidupan ideal baginya. Meskipun dia tahu itu tidak nyata.
Sampai di sini, apa yang dialami Wanda sebenarnya pernah sebagian dari kita alami. Coba ingat-ingat momen saat kita kehilangan orang tersayang. Entah karena meninggal, ditinggal putus atau cerai, atau bahkan di-ghosting pas lagi sayang-sayangnya.
Kita awalnya sulit menerima kenyataan itu dan kadang mikir bahwa orang yang kita sayangi belum benar-benar pergi. Akhirnya kita hidup dalam dunia kita sendiri. Dunia yang di dalamnya ada kita dan dia, meski sebatas kenangan dan bayangan. Bedanya, Wanda bisa mewujudkan hal itu dalam bentuk nyata, sedangkan kita tidak.
Ketertarikan Wanda pada sitcom –yang pada akhirnya membuat dia punya bayangan ideal kehidupan– juga nyambung lho. Saya yang suka nonton serial komedi romantis Korea dan Thailand sempat berkhayal punya hubungan cinta bak Sekretaris Kim dan CEO Lee di What’s Wrong with Secretary Kim? atau Tine dan Sarawat di 2gether. Kalian semua juga pernah kan berharap hidup kalian seindah serial atau film yang kalian tonton?
Minusnya, kadang momen-momen duka atau kecewa kita bikin orang lain kena getahnya kalau kita nggak bisa ngontrol. Pernah nggak, pas sedih atau bete, kita jadi nggak fokus kerja dan malah menyusahkan orang sekitar? Wanda pun demikian. Dunia ciptaannya malah menjadi penjara bagi penduduk asli Westview yang dijadikan Wanda sebagai tokoh dalam realitas sitcom-nya. Di satu episode, mereka mengaku ikut merasakan kepedihan dan duka Wanda yang tidak terkontrol.
Pada akhirnya, musuh terbesar Wanda bukan Agatha Harkness yang ingin mengambil kekuatan magisnya, melainkan dirinya sendiri. Wanda harus bisa mengalahkan egonya untuk kembali ke masa lampau serta tidak terus menyesali diri atas banyaknya luka dan kepahitan hidup.
Olsen menambahkan, Wanda akhirnya belajar menerima diri dan menghadapi hidup sebagaimana adanya. Sebuah metafora tentang penerimaan diri beserta kelebihan dan kekurangan, yang erat kaitannya dengan self-love. Sebuah hal yang kini gencar digaungkan.
Kejadian-kejadian yang menimpa Wanda semakin membuat kita sadar bahwa sang jagoan sekaligus penyihir tak jauh beda dengan kita. Kita pernah kehilangan, merasakan duka mendalam, gagal move on, depresi, dan akhirnya berjuang mencintai diri sendiri. Wanda telah menjadi perwakilan sebagian dari kita di jagat MCU. Karakter yang begitu mudah nyambung dengan kita-kita yang pernah kehilangan sosok terkasih.
Baca Juga: Guru Honorer Miliki Sertifikat Pendidik Lulus 100 Persen Uji Teknis
Saya jadi mikir, seandainya saya atau kalian punya kekuatan kayak Wanda. Barangkali saya sudah menciptakan dunia layaknya komedi romantis Korea Selatan atau Thailand, lengkap dengan artis-artisnya. Atau, yang lebih mendekati kenyataan, memunculkan gebetan yang dulu pernah saya cintai namun tak bisa saya miliki. #eaaa. (*)
Saksikan video menarik berikut ini:
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!