BANDAR LAMPUNG (ISN) – Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung Juniardi SIP MH meminta Kapolda Lampung melakukan evaluasi terhadap perwira pertama Kepolisian yang menjabat kepala satuan di tingkat Polres, pasalnya acap kali melakukan langkah yang justru mempermalukan institusi Kepolisian, dalam hal menjaga kemerdekaan Pers.
Hal itu diungkapkan Juniardi saat dimintai tanggapan kasus Kasat Narkoba Polres Lampung Utara yang melaporkan media dan wartawan terkait pemberitaan di Lampung Utara.
“Yang pertama apakah setingkat Kasat itu tidak paham UU Pers, yang dilanjutkan dengan MOU Dewan Pers dengan Kapolri. Masa iya setingkat Kasat yang jelas label sebagai penyidik di bilang suruh belajar lagi kan gak enak dengernya. Kalo masyarakat umum okelah tinggal diberi pemahaman,” Kata Juniardi, yang diminta tanggapannya Sabtu 21 Mei 2021.
Menurut Juniardi, dalam menanggapi pemberitaan pada media pers, dan dilakukan wartawan yang berkompenten, sebagai narasumber yang juga rajin menyampaikan press rilis, tentunya paham langkah langkah yang harus dilakukan, dengan menggunakan hak jawab, hak koreksi, dan melakukan klarifikasi.
“Dan wartawan wajib menanggapi hak jawab, hak koreksi, dan segera melakukan koreksi, juga segera meminta maaf melalu medianya jika memang terjadi kekeliruan,” kata Juniardi.
Juniardi menyayangkan langkah terburu buru Kasat Narkoba, yang justru langsung membuat laporan Polisi, di Satuan tempatnya bertugas. Bahkan bukti capture foto LPnya tersebar melalui media sosial whatshaap.
“Apalagi wartawan yang datang akan melakukan klarifikasi soal berita yang dimaksud. Kenapa harus panik, ini justru ada apa sebenarnya,” katanya.
Menurutnya Kasat Narkoba yaang melaporkan Wartawan dan warga yqng mengeshare link berita itu ke Polisi dianggap keliru, seharusnya Kasat tersebut membuat hak klarifikasi dan atau melaporkan ke Dewan Pers.
“Harus belajar lagi Kasat itu tentang UU Pers, agar memahami secara keseluruhan, kecuali kasus tersebut terjadi pelanggaran pidana murni misalnya penganiayaan, dan lain sebagainya, kalau cuma masalah tulisan media kan ada hak klarifikasi dan Dewan Pers, bagi saya aneh aja,” katanya.
Juniardi menjelaskan pihaknya baru menerima laporan secara lisan, terkait adanya anggota PWI Lampung di Lampung yang langsung di periksa dan di BAP saat wartawan datang untuk melakukan konfirmasi tentang kebenaran berita yang di buat.
“Kita juga sudah baca berita yang di buat, isinya menyebutkan hanya dikabarkan ada dua pejabat ditangkap narkoba. Ada sumber tapi disembunyikan, tidak menyebutkan institusi mana yang menangkap, Satuan Narkoba kah, BNN kah, Direktorat Narkoba, Polda atau Polres. Tapi kenapa Polres yang kebakaran jenggot,” urainya.
Terlepas dari hal itu, untuk melaporkan wartawan dengan delik pidana, harus terlebih dahulu melalui keputusan Dewan Pers, tentang pelanggaran yang dilakukan dan hal tersebut menjadi rujukan. Bukan dengan serta merta dilaporkan begitu saja ke Polisi.
Juniardi juga berharap agar perkara ini, tidak perlu ditindak lanjuti oleh pihak Kepolisian, karena terlihat pemberitaan tersebut hanya perlu klarifikasi. Soal Hoax, kata Juniardi, Berita bohong atau hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.
Hal ini tidak sama dengan rumor, ilmu semu, atau berita palsu, maupun April Mop. Karena tujuan dari berita bohong adalah membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Selain itu, soal UU ITE Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menerbitkan surat edaran.
Dengan nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif tertanggal 19 Februari 2021.
Dalam telegram itu, Kapolri Listyo memberikan sejumlah pedoman agar penanganan kasus-kasus yang berkaitan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menerapkan penegakan hukum yang memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Beberapa langkah yang dijabarkan Listyo dalam edaran itu, berkaitan agar penyidik dapat mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga dapat menghindari dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan.
Pertama, Listyo meminta agar kepolisian terus memantau perkembangan pemanfaatan ruang digital dengan setiap dinamika permasalahan yang ada. Kemudian, penyidik perlu memahami budaya beretika di ruang digital.
Polisi perlu menginventarisasi pelbagai permasalahan dan dampak di masyarakat akibat kasus-kasus UU ITE, dengan mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
Kapolri kata Juniardi, menyatakan bahwa dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik perlu dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana.
Penyidik perlu membangun komunikasi dengan pihak-pihak yang bersengketa, terutama korban agar membuka ruang mediasi. Hal tersebut, beberapa kali didorong oleh Kapolri dalam surat edaran tersebut.
(Fr-Jun)