[ad_1]
Jakarta, IDN Times – Sudah 16 tahun berlalu, tepatnya pada 26 Desember 2004, tsunami dahsyat memorak-porandakan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Bencana besar yang terjadi setelah gempa hebat berkekuatan 9,1 Skala Richter itu pun memakan hampir 200 ribu korban jiwa.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menjelaskan, tsunami Aceh merupakan bencana besar yang mengubah pola pikir Pemerintah Indonesia hingga internasional tentang bencana.
“Pemerintah berpikir penanggulangan bencana tak sekadar respons, bukan hanya lebih fokus ke respons, ternyata bisa disiapkan sebelumnya (untuk penanggulangan),” ujar Agus kepada IDN Times beberapa waktu lalu.
1. Sebelum tsunami Aceh, pemerintah hanya fokus merespons pasca-bencana
Sebelum tsunami Aceh, Agus menjelaskan, pemerintah Indonesia hanya memiliki lembaga yang fokus merespons pasca-bencana saja. Lembaga tersebut adalah Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).
Lalu setelah tsunami tersebut, lahirlah Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam UU tersebut diatur tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana.
“…Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi….,” bunyi UU Nomor 24 Tahun 2007 Bab 1 Pasal 1 ayat 5.
2. Karena tsunami Aceh, BNPB lahir untuk fokus menanggulangi sebelum, saat, dan pasca-bencana
Satu tahun setelah UU tersebut lahir, tepatnya pada 2008, melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dibentuk lembaga independen yang fokus pada penanggulangan bencana secara nasional yaitu, BNPB.
Bukan hanya Indonesia, kejadian tsunami Aceh juga mempengaruhi pola pikir internasional dalam melihat sebuah bencana. Agus menjelaskan, melalui peristiwa tersebut penanggulangan bencana pun dimulai dari sebelum, saat, dan sesudah kejadian.
“Mengubah mindset Indonesia dan internasional bahwa penanggulangan bencana sebelum, saat, dan setelah memiliki dampak besar,” lanjutnya.
3. Tsunami Aceh menjadi bahan kajian mitigasi bencana tingkat nasional dan internasional
Bukan hanya mengubah mindset, Agus menjelaskan, tsunami Aceh juga menjadi peristiwa yang menjadi bahan riset internasional untuk mitigasi bencana. Mitigasi bencana merupakan sebuah langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak kerusakan dari sebuah bencana.
Agus menjelaskan, melalui peristiwa tsunami Aceh muncul kebijakan pembangunan berbasis mitigasi bencana. Kebijakan tersebut berguna untuk mengatur standar pembangunan di daerah yang rawan bencana.
“Iya, kebijakan ada, artinya di pinggir (daerah rawan bencana) boleh, tapi ada mitigasi bencananya, jadi persiapan-persiapan, daerah rawan bencana dibangun boleh, tapi harus disesuaikan,” ujarnya.
4. Sosialisasi mitigasi bencana pun dilakukan kepada masyarakat luas
Tsunami Aceh sejauh ini masih menjadi bahan kajian mitigasi bencana di tanah air. Tak hanya fokus pada peristiwa bencana saja, pemerintah pun mulai melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya di sekitar daerah rawan bencana.
Sosialisasi tersebut berguna untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pada sebelum, saat, dan sesudah bencana. Sosialisasi untuk masyarakat itu bernama Keluarga Tangguh Bencana (Katana).
“BNPB buat Katana, itu buat keluarga menyiapkan menghadapi bencana, agar sadar semua kalau ada bencana banyak yang selamat,” tukas Agus.
Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs idntimes.com, klik link disini!