[ad_1]
Lou Andreas-Salomé adalah sosok yang menginspirasi beberapa pemikir besar di abad ke-20. Kecantikan dan minat intelektualnya yang beragam telah membuat pemikir Barat seperti Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, Paul Rée, dan Rainer Maria Rilke terpincut olehnya.
Tak dapat dipungkiri kalau perempuan kelahiran Rusia ini menjadi salah satu tokoh penting di abad ke-20. Untuk lebih mengenal sosok Salomé, mari simak biografi singkatnya di bawah ini.
1. Awal kehidupan Salomé
Lou Andreas-Salomé lahir sebagai Louise von Salomé di St. Petersburg pada tahun 1861. Menurut Britannica, ayahnya adalah seorang tentara Rusia keturunan Huguenot Prancis. Sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, Salomé tumbuh dalam keluarga yang berbudaya, sehingga diperbolehkan menghadiri kelas bahasa bersama saudara laki-lakinya.
Ketika ia berusia 16 tahun, Salomé terpesona dengan seorang pendeta Belanda bernama Henrik Gillot. Beberapa orang menganggap Gillot sebagai mentor pertamanya. Salomé pun belajar teologi, filsafat, sastra Prancis dan Jerman darinya. Gillot, yang sudah menikah, jatuh cinta dengan Salomé dan meminta untuk menikahinya. Sayangnya, Salomé menolaknya.
Setelah kematian ayahnya pada tahun 1879, Salomé dan ibunya pergi ke Zürich. Ia pun masuk ke dalam Universitas Zürich dan belajar teologi di sana. Salomé kemudian pindah ke Roma dan bertemu dengan Paul Reé, yang menjadi kawan diskusi filsafatnya. Reé kemudian memperkenalkan Salomé dengan sahabatnya, Friedrich Nietzsche.
2. Menjalin cinta segitiga dengan Nietzsche dan Reé
Mereka berdua pertama kali bertemu pada tahun 1882 di Roma. Wanita muda ini pun mulai menarik perhatian sang “Pembunuh Tuhan,” di mana Nietzsche langsung terpikat oleh kedewasaan dan kecerdasannya. Tak lama berselang, ketiganya—Reé, Salomé dan Nietzsche—terjebak dalam cinta segitiga.
Reé sangat mencintai Salomé, sama halnya dengan Nietzsche. Nietzsche bahkan melamarnya lebih dari sekali, walau selalu berujung pada penolakan. Banyak yang mengatakan kalau tekanan dari adik Nietzsche, Elisabeth, telah memperburuk hubungan di antara mereka berdua.
Bertepuk sebelah tangan, Nietzsche langsung “mengasingkan” diri selama berhari-hari untuk menulis. Di pengasingan itulah dia menulis karyanya yang paling terkenal, Thus Spoke Zarathustra. Setelahnya, Nietzsche kembali menjadikan Salomé sebagai inspirasinya untuk menulis Ecce Homo.
3. Pernikahan dan pertemuannya dengan Rilke
Salomé pindah ke Berlin, tempat di mana ia menemukan calon suaminya, seorang profesor linguistik bernama Friedrich Carl. Salomé dan Carl akhirnya menikah pada tahun 1887, meski Salomé tidak pernah berhenti untuk menjalin hubungan dengan pria lain.
Di Berlin, ia bertemu Rainer Maria Rilke, seorang penyair yang berusia 14 tahun lebih muda darinya. Bersama Rilke, Salomé mulai berbagi perasaan dan harapannya. Bisa dibilang kalau Salomé adalah sosok yang telah membentuk pemikiran Rilke.
Setelah menjalin hubungan yang cukup lama, Rilke menjadi semakin posesif, yang mendorong Salomé untuk mengakhiri hubungan mereka. Diperkirakan kalau karyanya, Duino Elegies, terlahir dari depresi yang Rilke alami setelah perpisahan ini.
Pada tahun 1937, Sigmund Freud ikut mengomentari hubungan Salomé dengan Rilke. Freud berkata kalau Salomé adalah inspirasi sekaligus sosok ibu bagi Rilke.
4. Psikoanalisis dan hubungannya dengan Freud
Di awal abad ke-20, Salomé tertarik untuk berubah haluan ke psikoanalisis. Bersama rekannya, Poul Bjerre, ia pergi ke sebuah kongres psikoanalitik di Weimar (Jerman). Di sana, Salomé diperkenalkan dengan sang bapak psikoanalisis sendiri, Sigmund Freud.
Sejak saat itu, mereka menjalin hubungan berdasarkan rasa saling mengagumi, terutama pada karya-karya yang mereka kembangkan. Salomé pun dapat memahami ide-ide Freud dengan cepat. Mengutip dari situs Web Books and Writers, Freud mengatakan kalau “Salomé telah masuk ke dalam sarang singa dan tidak keluar lagi setelahnya.”
Salomé, yang saat itu sudah berusia 50 tahun, menghadiri pertemuan “lingkaran dalam” Freud dan mulai menulis esai tentang teori psikoanalisis. Pada tahun 1913, ia mulai mempraktikkan psikoanalisisnya sendiri. Pada awal 1920-an, Salomé diakui secara luas sebagai seorang psikoanalis kawakan.
5. Kematian dan warisannya
Pada usia 74 tahun, Salomé harus berhenti bekerja sebagai psikoanalis karena harus keluar-masuk rumah sakit. Meski sama-sama sakit, Carl terus membantunya pada masa-masa itu. Freud sendiri mengakui kalau hubungan mereka semakin erat. Ia bahkan menulis: “Hal itu hanya membuktikan keabadian hubungan mereka.”
Carl akhirnya meninggal karena kanker pada tahun 1930, dan Salomé sendiri menjalani operasi kanker pada tahun 1935. Pada malam 5 Februari 1937, Salomé meninggal di Göttingen, Jerman. Beberapa hari sebelum kematiannya, Gestapo (menurut sumber lain, SA) menyita perpustakaannya.
Mereka menyitanya dengan alasan karena Salomé adalah kolega dari Sigmund Freud dan telah mempraktikkan “ilmu pengetahuan Yahudi.” Seperti yang diketahui, Hitler langsung mempersekusi umat Yahudi segera setelah ia menjadi kanselir Jerman pada tahun 1933.
Hari ini, Salomé dipandang sebagai sosok perempuan yang menginspirasi dan memikat beberapa pemikir hebat di abad ke-20. Ia juga adalah seorang penulis yang produktif dan menjadi inspirasi bagi para pemikir perempuan setelahnya.
Dengan menggabungkan perspektif perempuan yang kuat, erotisme, dan semangat kebebasan, Salomé sering dianggap sebagai tokoh intelek paling penting di abad ke-20 setelah Simone de Beauvoir.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs idntimes.com, klik link disini!