[ad_1]
Persebaran virus SARS-CoV-2 belum akan usai dalam waktu dekat. Dampaknya bahkan masih akan terasa hingga beberapa tahun ke depan. Tapi, mengendalikan wabah global itu bukan kemustahilan. Sejumlah negara Asia berhasil menekan kasus positif dan angka kematian.
—
LILY Yulianti Farid tidak sabar menyambut Idul Fitri. Serangkaian acara sudah dia susun. Selepas salat Id hari ini, pendiri Rumata’ Artspace itu akan berkumpul bersama teman-teman. Sekadar kangen-kangenan. Rencana normal Lily itu terbayang sebagai kemewahan di benak masyarakat Indonesia yang sedang berjibaku dengan virus korona. Jangankan bersilaturahmi dengan teman, menunaikan salat Id saja tidak semuanya bisa.
Tahun ini Lily memang memilih merayakan Lebaran di Melbourne, Negara Bagian Victoria, Australia. Sebenarnya perempuan kelahiran Makassar yang sedang menimba ilmu di sana itu bisa saja mudik. Tapi, prosedurnya rumit dan biayanya mahal. ”Teman saya sempat pulang. Dan, saat kembali ke sini, harus membayar sekitar Rp 30 juta untuk karantina mandiri,” ungkapnya saat berbincang dengan Jawa Pos Selasa (11/5).
Tapi, sebenarnya alasan utama Lily bukan itu. Dia enggan harus menjalani kehidupan ”tidak normal” di tanah air. Sementara, selama beberapa bulan terakhir, dia sudah benar-benar hidup ”normal” di Negeri Kanguru. Tak perlu pakai masker di luar ruangan. Tak ada larangan makan di restoran. Atau harus duduk berjauhan.
Australia sedang memulih. Hampir tidak ada kasus baru di negara tersebut. Hari-hari tanpa kasus baru itu oleh masyarakat Australia disebut sebagai doughnut days. Artinya, nol kasus. ”Kalau tanya orang Indonesia di sini apakah ingin pulang, rata-rata memilih tetap di sini,” jelas peneliti pada Monash Indigenous Studies Centre, Monash University, tersebut.
Ramadan ini pun Lily menjalaninya dengan ”normal”. Berbuka di luar rumah, bahkan buka bersama pun, diizinkan. Salat Tarawih berjamaah juga diperbolehkan.
Beruntung? Bukan. Itu bukan semata keberuntungan. Kenormalan itu adalah buah ikhtiar dan kerja keras pemerintah dan masyarakat. Sejak awal pemerintahan Perdana Menteri (PM) Scott Morrison punya strategi penanganan pandemi yang jelas. Dan mekanismenya diterapkan dengan sangat disiplin.
Pemerintah Australia memang superketat. Kunci sementara (kuntara) alias lockdown bisa diberlakukan bahkan saat hanya satu atau dua temuan kasus baru saja. Dulu Lily sering mendengar teman-temannya di Indonesia menyebut pemerintahan Morrison lebay. Sebab, di Indonesia, kuntara baru berlaku jika sudah puluhan atau ratusan orang terinfeksi.
Tentang kelebayan itu juga dipahami Okky Madasari. Penulis kelahiran Magetan yang sedang menjalani studi di Singapura itu pun sering mendengar komentar-komentar serupa. Maklum, pemerintahan PM Lee Hsien Loong juga sangat serius menangani pandemi.
”Sempat kesal sih, ‘Aduh, kok pengetatan lagi.’ Tapi, kita tahu alasannya jelas. Ada kenaikan kasus. Ini memang langkah antisipasi yang serius. Baru naik segini aja udah pengetatan,” terangnya kemarin (12/5).
Kuntara di Singapura, sebagaimana yang dipilih pemerintah Australia sebagai cara untuk meredam persebaran virus, bukanlah mekanisme yang kaku. Kuntara juga tidak hanya sekali diterapkan. Namun berkali-kali. Dan itu wajar saja. Pemerintah memilih fleksibel menerapkan kebijakannya. Kapan harus kuntara, kapan harus dilonggarkan, kapan harus kuntara lagi, demikian seterusnya. Lalu, apakah Okky juga seantusias Lily menyambut hari raya? ”Justru pengetatan di Singapore pas banget jelang Lebaran,” ungkapnya.
Terkait Idul Fitri, pemerintah Singapura punya kebijakan yang unik. Karena sedang dalam tahap pengetatan, ada syarat-syarat khusus yang diterapkan soal salat Id. ”Salat Id dibuat tiga sesi. Mekanismenya booking,” katanya.
Baca Juga: Lily Yunita Kirim Roti Tiap Hari sebelum Tipu Rp 48,9 Miliar
Okky lantas menunjukkan selebaran virtual dari Majlis Ugama Islam Singapura tentang salat Id. Di sana tertulis, proses pemesanan slot dimulai pada Selasa (11/5) pukul 10.00 waktu setempat. Tiga sesi salat Id itu berlangsung masing-masing 40 menit. Sesi pertama dimulai pada pukul 07.30 waktu setempat. Dua sesi selanjutnya pada pukul 08.40 dan 09.50 waktu setempat.
Umat juga bisa memilih lokasi masjid saat booking salat Id. ”Begitu buka, website itu langsung diserbu. Aku tetap tidak kebagian slot,” ungkap ibu satu putri itu.
Lebay Itu Tidak Apa-Apa
Hampir semua negara yang sukses mengendalikan pandemi Covid-19 memang dicap lebay pada awalnya. Kuntara yang dipilih sebagai ikhtiar untuk menyudahi wabah global pun menuai banyak cibiran. PM Selandia Baru Jacinda Ardern termasuk dalam jajaran pemimpin dunia yang paling dulu dicemooh dan dianggap berlebihan.
Perempuan 40 tahun itu tidak butuh waktu sampai satu bulan untuk menguntara negerinya. Kasus pertama terdeteksi pada 28 Februari 2020. Serangkaian regulasi disusun. Mulai isolasi mandiri, menyegel perbatasan, hingga akhirnya kuntara pada 25 Maret 2020.
“Fasilitas dan sistem kesehatan kami tidak siap untuk menghadapi wabah sebesar ini,” kata Ardern sebagaimana dilansir The Guardian. Karena itulah, dia memilih untuk mencegah wabah membesar. Satu-satunya cara untuk membendung pandemi adalah memberlakukan kuntara.
Kini, saat banyak negara mulai beradaptasi dengan pandemi, Selandia Baru pun tetap hati-hati. Saat Australia kali pertama mengusulkan travel bubble, Ardern menolak. Penolakan itu menuai respone beragam. Tapi, Ardern belum siap membawa masyarakatnya pada risiko yang lebih besar lewat koridor wisata.
Belakangan Australia pun bersikap sama. Menteri Pariwisata dan Perdagangan Australia Dan Tehan mempertimbangkan ulang rencana itu. Bahkan, ada kemungkinan Australia akan menutup akses wisata sampai akhir 2022. “Tapi, semua itu bergantung pada bagaimana pandemi global ini ditangani,” ungkap Tehan seperti dilansir Agence France-Presse.
Sejak awal pandemi tahun lalu, Australia tegas mengatur mobilitas warganya. Pada akhir tahun lalu, Lily ikut menjalani kuntara tingkat 4. Artinya, tidak ada yang boleh keluar rumah. Setiap rumah tangga hanya boleh mengirimkan satu perwakilan untuk berbelanja. Itu pun tidak boleh lebih dari satu jam.
“Untuk keperluan olahraga, satu rumah tangga bergiliran untuk bisa keluar rumah selama satu jam. Dan tidak boleh lebih dari radius 5 kilometer. Pekerja pun hanya yang penting saja yang boleh keluar,” paparnya.
Kisah senada meluncur dari Okky. Sebenarnya Singapura sudah menerapkan fase 3 setelah periode circuit breaker (istilah kuntara di Singapura) sejak awal tahun. Pada fase itu, tidak ada kasus lokal, hanya ada beberapa imported case. Maka, masyarakat sudah mulai bisa berinteraksi dengan tetap memakai masker.
Kerumunan di atas 50 orang masih dilarang. Tapi, salat Tarawih berjamaah dalam kelompok kecil diperbolehkan. “Tapi, per 8 Mei lalu semuanya berubah. Kumpul-kumpul kasual yang tadinya boleh 8 orang menjadi 5 orang saja,” ujar penulis Entrok itu.
Kendati demikian, Okky dan masyarakat Singapura yang lain patuh pada aturan yang baru. Sebab, selama setahun pandemi ini, pemerintah terbukti memprioritaskan rakyatnya. Pengetatan dilakukan agar virus terkendali dan kehidupan segera normal kembali.
Maka, Okky pun harus rela membatalkan rencana BBQ-an bersama teman-temannya pada Lebaran ini. “Udah booking fasilitas BBQ di apartemen. Tapi ya terpaksa di-cancel karena aturannya berubah,” ucapnya. (bil/c9/hep)