[ad_1]
Jakarta, IDN Times – Industri pariwisata Indonesia telah terdampak pandemik COVID-19, yang pertama kali muncul di Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019.
Menurut Ekonom senior Faisal Basri, industri pariwisata Indonesia telah mengalami kerugian mencapai ratusan miliar dolar Amerika akibat pandemik tersebut. Untuk dapat pulih, ia menyebut cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengendalikan wabah.
“Jadi ekonomi pulih, termasuk pariwisata pulih kalau kita sudah mampu mengendalikan virusnya ini,” jelasnya dalam acara Economic Outlook KAHMI Preneur 2021 di Jakarta, Minggu (3/1/2021).
1. Sektor pariwisata rugi besar
Faisal mengatakan seluruh provinsi di Indonesia sudah mengonfirmasi infeksi COVID-19. Akibatnya, berbagai kegiatan pariwisata terhenti dan menyebabkan sektor ini mencatatkan kerugian besar, mencapai ratusan juta dolar Amerika.
“Tapi memang betul pada bulan Juli kemarin kemerosotan wisatawan global itu 81 persen, kemudian Agustus 79 persen. Padahal ini adalah puncak turis ya. Kira-kira ada 700 juta berkurangnya itu yang datang di berbagai negara dan menyebabkan kerugian 730 miliar dolar Amerika,” katanya.
Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa kebijakan-kebijakan moneter dan kebijakan lainnya yang sudah diumumkan selama ini tidak cukup mampu mengimbangi dampak yang dibawa pandemik. Ia pun menyebut dibutuhkan gebrakan baru agar dampak wabah bisa dibendung.
“Kebijakan moneter, kebijakan-kebijakan lain tidak cukup. Karena apa? Kita bicara tentang menyelamatkan nyawa manusia terlebih dahulu. Jadi ekonomi dan lain-lain itu di belakang. Di depannya adalah penyelamatan nyawa manusia, kesehatan, karena jalannya cuma satu lajur,” katanya.
“Oleh karena itulah kita membutuhkan mindset baru. Prosesnya cukup panjang. Tidak ada jalan pintas.”
2. Wisatawan asing tidak tertarik ke Indonesia
Dalam kesempatan itu Faisal menjelaskan bahwa penurunan jumlah wisatawan asing ke Indonesia salah satunya disebabkan oleh tidak mampunya negara dalam mengelola pandemik. Bahkan ia mengatakan penanganan pandemik Indonesia kalah jauh jika dibandingkan penanganan yang dilakukan negara lain di kawasan.
“Nah negara-negara lain sebelum ada virus pun sudah mulai mampu mengendalikan. Misalnya Malaysia itu sekolahan sudah tutup, begitu juga Singapura, Vietnam, Thailand, Kamboja dan Laos,” katanya.
“Kemudian kalau kita lihat karena kita tidak mampu mengendalikan virus ini, negara lain ya tidak mau datang. Ke Indonesia tuh confident-nya cuma 22 persen, yang yakin ke Indonesia itu 22 persen. Meskipun Indonesia melarang asing, memang sebelum dilarang pun asing sudah sedikit sekali datang ke Indonesia,” katanya lagi.
3. Tidak perlu vaksin
Faisal mengatakan salah satu penyebab tingginya kasus COVID-19 di Indonesia adalah karena rendahnya tingkat pengujian yang dilakukan sejauh ini. Ia menyebut angka pengujian Indonesia kalah jauh dibandingkan negara-negara lain.
“Jadi sekarang sedang berada di tanjakan yang sangat curam. Nah, oleh karena itu tidak ada kata lain untuk melakukan pengetesan, testing. Testing di Indonesia sangat rendah, hanya lebih baik dari 14 negara Afrika, 2 negara Asia dan 1 Negara Amerika, Karibia khususnya,” katanya.
Meski demikian, Faisal mengatakan Indonesia tidak memerlukan kehadiran vaksin untuk memutus rantai penularan saat ini. Sebab, selama masyarakat mematuhi protokol kesehatan yang berlaku, Indonesia pasti bisa mengerem angka kasus barunya, katanya.
“Jadi kita tidak perlu menunggu vaksin sebelum melakukan tindakan-tindakan mengarah ke normal. Jadi vaksin itu, vaksin yang paling ampuh adalah pembatasan sosial. Itu vaksin yang paling ampuh,” terangnya.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs idntimes.com, klik link disini!