[ad_1]
”NECESSITY is a mother of invention.” Plato menyatakan konsep itu sekitar 25 abad yang lalu. Sampai saat ini, apa yang dinyatakan filsuf Yunani tersebut masih relevan. Dalam sejarah peradaban manusia, berbagai penemuan dipicu oleh munculnya tantangan baru kehidupan dan alam yang terus berubah. Apalagi, jumlah penduduk yang mendiami bumi ini terus berkembang.
Mulai penemuan kapak batu, api, aktivitas berburu, pertanian, mesin uap yang memicu revolusi industri, listrik, komputer, hingga teknologi informasi di era 4.0. Berbagai penemuan itu telah mengubah wajah dunia dari masa ke masa.
Ketika teknologi berkembang kian pesat, siklus perubahan juga bergerak lebih cepat. Disrupsi pun muncul, memantik peralihan besar (great shifting) dalam kehidupan manusia.
Disrupsi teknologi memunculkan game changer yang sudah berhasil mengubah maupun berpotensi mengubah banyak hal, mulai peta bisnis, ekonomi, cara menjalani kehidupan, sampai kepemimpinan dan demokrasi. Dipicu kesadaran bahwa disrupsi bukan hanya soal teknologi, tapi juga business process dan business model, kita mengenal pendekatan telemedicine, ride sharing, online shopping, financial technology (fintech), mobil listrik, virtual wedding, serta berbagai platform digital lainnya. Bank pun merespons fintech dengan menjadi digibank, supply chain menjadi ecosystem, dan korporasi kelak beralih menjadi platform.
Teknologi memang memegang peran kunci. Namun, saat pandemi Covid-19 melanda, kita menyadari inilah game changer dengan kekuatan luar biasa yang memaksa perubahan. Di masa pandemi, kebutuhan aktivitas apa pun secara online melonjak untuk menggantikan aktivitas offline. Sehingga korporasi pun harus mengubah business process dan business model-nya agar tetap bisa sejalan dengan kebutuhan yang digerakkan angin perubahan pandemi Covid-19.
Aktivitas work from home yang masif telah menyadarkan manusia bahwa kita sesungguhnya sudah tak perlu terikat dengan tempat dan waktu dalam beraktivitas. Semua bisa dikerjakan dan dikendalikan dari jarak jauh.
Namun, transisinya mungkin adalah konsep hybrid yang mengombinasikan work from home dengan work from office. Tapi, kini kita mulai mempertanyakan beragam konsep yang menyangkut efisiensi dari sebuah kapasitas, apakah itu skala ekonomis, titik impas, kuantitas order yang ekonomis, dan seterusnya. Apalagi ketika social distancing menjadi lebih penting ketimbang skala ekonomis. Segala infrastruktur yang tetap mulai dibuat lebih fleksibel dan segala prosedur yang rigidity digantikan agility.
Lalu, pendekatan ambidexterity dalam bisnis mulai menjadi fenomena, yaitu memisahkan mana usaha lama yang masih harus dieksploitasi (karena sudah kadung besar kendati diproyeksikan akan terus menurun) dan mana yang mulai dieksplorasi (karena masih kecil). Jangan heran kalau BUMN dan usaha-usaha milik beragam grup besar dalam waktu dekat akan banyak berubah dan mulai mengadopsi teknologi dan cara baru. Pun cara-cara tumbuh secara anorganik akan makin banyak kita saksikan.
Dari munculnya konsep work from home saja, dampaknya sangat besar. Tidak hanya dalam proses adopsi teknologi oleh para pekerja dan manajemen, tapi juga pada berbagai sektor bisnis yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya industri hiburan dan wisata, properti komersial, transportasi, otomotif, office appliance, listrik, serta telekomunikasi.
Dalam skala negara, pandemi juga menjadi game changer dan meniupkan angin perubahan di bidang layanan, tata kelola, dan kebijakan anggaran negara. Mulai percepatan proses penganggaran, pelebaran ruang defisit APBN, hingga skema restrukturisasi dan recovery ekonomi, termasuk berbagai insentif untuk individu maupun pelaku usaha.
Angin perubahan ini bertiup begitu kencang hingga menembus sekat-sekat rumah kita. Orang tua maupun anak-anak yang belum pernah mendengar virtual meeting atau video conference kini sudah akrab dengan Zoom, Weebex, Google Meet, CloudX, serta berbagai aplikasi lainnya. Tanpa pandemi, sulit bagi kita membayangkan adopsi teknologi virtual class bisa dijalankan bahkan hingga level pendidikan usia dini atau anak-anak TK.
Pandemi Covid-19 benar-benar menjadi game changer dalam kehidupan ini. Nanti, begitu semua ini berakhir, kita akan menyaksikan siapa saja yang menghilang dan siapa saja pemain-pemain baru. Akan ada banyak lagi peristiwa merger dan akuisisi. Juga masih akan banyak drama perubahan, di samping inovasi baru yang memudahkan dan memurahkan.
Generasi Entrepreneur
Disrupsi teknologi menjadi media tanam bagi tumbuh suburnya generasi entrepreneur. Kekuatan digitalisasi membuat sebuah bisnis bisa dilakukan dengan modal yang jauh lebih efisien sehingga barrier akses modal menjadi lebih ringan. Kuncinya adalah resources orchestration, bukan resources control seperti yang dikenal dalam konsep mata rantai nilai.
Karena itu, ketika pandemi Covid-19 menyeret berbagai negara ke jurang resesi, tren entrepreneurship justru merangkak naik dalam kecepatan yang mengagumkan. Laporan McKinsey, The Next Normal Arrives menunjukkan, di negara-negara maju di mana digitalisasinya sudah matang, jumlah entrepreneur yang bekerja dari kertas putih nan polos naik signifikan.
Di Amerika Serikat, pada triwulan III 2020 saja, ada lebih dari 1,5 juta aplikasi pendaftaran bisnis baru. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari periode yang sama di tahun 2019. Kebanyakan adalah bisnis skala kecil. Misalnya chef restoran yang mengembangkan usaha katering dengan jalur penjualan online yang lalu berkembang menjadi kitchen cloud maupun bisnis di bidang digital oleh para fresh graduate.
Di Eropa, meskipun strategi recovery ekonominya lebih menitikberatkan pada perlindungan lapangan kerja, tren pertumbuhan entrepreneur juga muncul. Misalnya, di Inggris, jumlah pendaftaran bisnis baru sepanjang triwulan III 2020 naik 30 persen dibanding periode yang sama 2019. Kenaikan ini adalah yang terbesar sejak 2012. Di Prancis, pendaftaran bisnis baru pada Oktober 2020 mencapai 84 ribu, rekor tertinggi yang pernah ada.
Di Indonesia, tren serupa bisa kita lihat dari salah satu indikator pertumbuhan jumlah seller atau penjual di marketplace. Misalnya, di Tokopedia, pada akhir 2019, jumlah seller-nya ada di kisaran 6,5 juta. Hingga akhir 2020, jumlahnya sudah melonjak hingga mencapai 10 juta. Di bidang kosmetika dan perawatan kulit, muncul ratusan pemain baru dengan ratusan influencer serta ribuan reseller dan drop shipper. Padahal, pada saat yang sama, pemain-pemain lama yang populer sepuluh tahun lalu justru dilanda ”penyakit penuaan dan kemunduran”.
Sebagian pendatang baru di marketplace itu adalah pelaku usaha yang sebelumnya berjualan offline. Sebagian lagi dulunya adalah pekerja atau ibu rumah tangga biasa, kemudian terjun ke bisnis online di masa pandemi. Menangkap peluang bisnis dari peralihan pola belanja konsumen dari offline ke online. Karena itu, tak mengherankan jika jumlah transaksi perdagangan online naik signifikan. Data Indonesia E-Commerce Association (IdEA) menunjukkan, belanja online selama pandemi mencatat pertumbuhan hingga 30 persen.
Digitalisasi tampaknya menjadi backbone bagi munculnya pelaku-pelaku usaha baru. Bukan hanya itu, digitalisasi juga menjadi perisai sekaligus senjata bagi UMKM untuk menghadapi pandemi. Data survei Mandiri Institute menunjukkan, 9 persen UMKM dengan akses digital mencatat kenaikan omzet di masa pandemi. Angka ini lebih tinggi dibanding UMKM tanpa akses digital yang hanya 4 persen.
Ini tentu menjadi angin segar bagi perekonomian Indonesia. Ketika jumlah entrepreneur naik signifikan dan adopsi teknologi sudah makin matang, rebound berpotensi lebih cepat ketika momentum recovery ekonomi sudah didapat.
Otomasi Industri
Ada fakta menarik. Data United Nation World Tourism Organization (UNWTO) menyebutkan, sepanjang paro pertama 2020, pandemi mengakibatkan perjalanan internasional anjlok hingga 65 persen. Penurunan ini lima kali lipat lebih besar dibanding periode 2009 saat dunia dihantam krisis finansial.
Jika lalu lintas manusia merosot begitu dalam, lalu kira-kira berapa penurunan lalu lintas barang via laut (global maritime trade)? Jawabannya 4,1 persen. Ya, hanya 4,1 persen. Ini berdasar estimasi UN Conference on Trade and Development (UNCTAD). Alasannya, karena manusia rentan terhadap serangan virus, sehingga perjalanan internasional yang memicu risiko terpapar Covid-19 turun signifikan. Adapun risiko lalu lintas kargo barang terhadap paparan Covid-19 tak sebesar manusia.
Tapi, jika dicermati lebih dalam, salah satu kata kuncinya adalah otomasi. Global maritime trade bisa terus berjalan di tengah pandemi karena optimalisasi teknologi shipping atau armada kargo membuat keterlibatan manusia bisa diefisienkan.
Sebagai gambaran, pada tahun 1582, seluruh armada kapal dagang Inggris hanya memiliki kapasitas angkut 68.000 ton dan membutuhkan 16 ribu awak kapal. Bandingkan dengan satu kapal kargo OOCL Hongkong yang beroperasi pada 2017. Kapal sepanjang 399 meter bikinan Samsung Heavy Industries itu mampu mengangkut kargo 210.000 ton. Berapa kru kapal yang dibutuhkan? Hanya 22 orang.
Demikian pula sektor manufaktur saat ini. Sebagai salah satu sektor terbesar dalam penggunaan tenaga kerja, otomasi adalah kunci. Karena itu, pelaku usaha di sektor manufaktur harus mengambil momentum dari perkembangan teknologi 5G.
Instrumennya adalah cobot atau collaborative robot. Kehadiran robot yang diperkuat teknologi artificial intelligence ini mungkin bisa menggantikan tenaga manusia dalam jumlah cukup signifikan untuk menjawab tantangan ”lockdown” akibat pandemi. Namun, inti dari pengoperasian 5G terletak pada kemampuan digerakkan dari jarak jauh.
Robot bisa bekerja berdekatan tanpa khawatir terjangkit virus, juga bisa bekerja tanpa batasan waktu seperti manusia. Tambahan pula, tingkat kecerdasan robot hari ini sudah kian melebihi kemampuan manusia dalam berpikir dan membuat keputusan.
Jadi, bukan hal baru lagi bahwa manusia sebagai operator bisa bekerja di ruangan terpisah yang jauh sekalipun sehingga aman dari persebaran virus. Semua hal itu dimungkinkan terjadi lebih cepat dengan hadirnya jaringan 5G.
Wind of Change, Buritan vs Haluan
Meminjam istilah pakar sejarah Noah Harari, jika pandemi Covid-19 tak bisa ditangani dengan baik dan terus menyebar serta merenggut nyawa manusia pada 2021 ini, atau pada 2030 nanti manusia masih belum bisa menangani serangan pandemi mematikan, hal itu bukan karena bencana alam atau hukuman dari Tuhan. Melainkan kegagalan umat manusia.
Demikian juga dalam dunia bisnis. Pandemi selama 2020 harus menjadi periode krusial dalam transisi perusahaan. Angin perubahan harus bisa mendorong layar transformasi dalam business model maupun business process terus terkembang. Sehingga kapal bisnis bisa melaju di tengah gelombang.
Baca Juga: Rekreasi Mental bagi Nakes dan Pasien Covid-19
Artinya, angin perubahan yang ditiupkan pandemi Covid-19 ini harus bisa dikelola agar menjadi angin buritan (tailwind) yang justru bermanfaat untuk mendorong laju kapal agar melesat lebih cepat. Memang dibutuhkan strategi inovasi dan adaptasi agar pandemi ini tidak menjadi angin haluan (headwind) yang menghambat laju perusahaan. Inilah challenge besar yang harus dihadapi pelaku usaha.
Karena itu, jangan sampai pada 2021 ini masih ada perusahaan yang belum tergerak oleh dorongan angin perubahan dan tetap terjebak dalam pusaran gelombang gagal paham. Jika hal itu terjadi, ketika nanti kondisi kesehatan perusahaan makin buruk, penyebab utamanya bukan lagi pandemi, melainkan kegagalan beradaptasi dan merespons perubahan. (*)
*) Rhenald Kasali, Founder Rumah Perubahan
Saksikan video menarik berikut ini:
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!