[ad_1]
BAGI Seto Mulyadi yang akrab disapa Kak Seto, child-free memang debatable. Opsi itu bisa diseret dalam berbagai pembahasan, bergantung substansinya. Namun, dia menegaskan, pembahasan apa pun tidak boleh mengesampingkan hak asasi manusia.
“Kalau saya, dari (sisi) perlindungan anak, (child-free) bisa menjadi perlindungan bagi anak jika orang tua tidak mampu mengasuh,’’ katanya pada Minggu (22/8). Menurut Kak Seto, pilihan untuk tidak mempunyai anak bisa dimaklumi jika orang tua khawatir keturunannya nanti telantar atau berpotensi jadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga.
Kak Seto menjelaskan, opsi child-free harus tetap memperhatikan hak-hak anak. Bukan sebatas pada hak pribadi pasangan suami istri. Misalnya, alasan tidak mau repot atau tidak ingin menjalankan tanggung jawab yang lebih besar.
Sebelum membahas child-free, lanjut pria yang juga psikolog itu, penting bagi masyarakat untuk tuntas membicarakan persiapan pernikahan. ’’Menikah itu bukan sekadar pesta pora seperti cerita Cinderella,’’ ucapnya.
Dalam pernikahan, ada tanggung jawab untuk menjadi orang tua. Artinya, merawat, membina, dan membimbing anak sampai dewasa. Jika tidak dipersiapkan sejak masa pranikah, konsekuensi kodrati pernikahan itu akan memicu masalah.
Kak Seto mengatakan, child-free bukanlah pilihan yang kaku atau hanya bisa dibuat sekali seumur hidup. Dalam perjalanan membina keluarga, pasangan yang sebelumnya memilih tidak punya anak bisa jadi berubah pikiran. Seiring kian mantapnya dasar ekonomi dan sosial keluarga, pasangan suami istri bisa memutuskan punya anak.
Senada dengan Kak Seto, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebutkan, punya anak bukanlah tentang materi semata. ’’Punya anak atau tidak, masalahnya ada pada kesiapan mental orang tua,’’ tegasnya kepada Jawa Pos, Sabtu (21/8).
Orang tua juga harus memenuhi kebutuhan batin dan perkembangan psikologis anak. Tumbuh kembang anak akan optimal jika orang tua memiliki kesiapan mental dalam merawat, mendidik, dan mendampingi mereka. Orang tua yang secara mental tidak siap punya keturunan akan membuat tumbuh kembang anak terganggu.
Ketidaksiapan menjadi orang tua juga bisa berujung pada berakhirnya perkawinan. Jika itu terjadi, anak-anak akan menanggung beban psikologis seumur hidup. ’’Mempersiapkan diri sebaik mungkin itu penting,’’ tandas Retno.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!