Kebingungan Pajak Indonesia

oleh
oleh

[ad_1]

BIAS tarif pemajakan di Indonesia akhir-akhir ini berbalik arah. Informasi digelontorkan media bahwa tarif pajak Indonesia termasuk kategori rendah. Untuk itu, berbagai move pemerintah dipersiapkan dalam rangka menaikkan pajak.

Yang mengerucut terakhir, pemerintah sudah bersiap menerapkan kebijakan tidak populis dengan menaikkan PPN atas bahan pokok atau sembako. Ada tiga opsi, yakni pengenaan tarif umum 12 persen, tarif rendah 5 persen, dan tarif final 1 persen. Yang mengejutkan, sudah didaftar 11 jenis bahan pokok yang menjadi target pemajakan baru ini. Yakni, beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayuran.

Tarif pajak memang komoditas politik yang seksi. Saat kampanye selalu digelorakan insentif pajak, diskon, atau sunset policy. Namun, saat jabatan dalam genggaman malah menjalankan kebijakan yang sebaliknya. Di Amerika Serikat, Barack Obama, Donald Trump, dan Joe Biden juga berkampanye soal pemotongan pajak dan membuat pemilihnya tertarik serta memenangi pilpres. Namun, Biden akhir-akhir ini juga sudah menaikkan tarif pajak.

Pajak korporasi di AS kini sudah naik dalam kisaran 25 persen sampai 28 persen sejak Juni 2021. Pada masa Presiden Obama, pajak korporasi memang 35 persen dan diturunkan Presiden Trump sejak 2017 menjadi 21 persen. Dengan tarif baru, penerimaan negara AS akan menghasilkan USD 850 miliar, sementara jika pajak 25 persen penerimaan negara hanya USD 500 miliar.

Biden memang memerlukan banyak uang untuk mendanai proyek infrastruktur USD 2,3 triliun untuk tahun 2021–2031. Padahal, Biden juga merencanakan paket penyelamatan ekonomi karena dampak Covid-19 sebesar USD 1,9 triliun.

Yang membedakan, kenaikan pajak di AS dibebankan kepada industri, namun juga tidak melebihi tarif pajak sebelum 2017.

Namun, yang unik untuk Indonesia, pajak justru diterapkan pada komoditas bahan pokok yang menjadi kebutuhan primer rakyat. Padahal, dalam UU 49/2009 tentang Perubahan Ketiga UU 8/1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM, pemajakan PPN atas bahan pokok dilarang sama sekali. Meskipun toh pasal 4A ayat (2) tersebut juga tidak terbukti di kehidupan nyata. Konsumen tetap dipajaki 10 persen saat mengonsumsi makanan yang disajikan di restoran, hotel, warung, rumah makan, dan murni menjadi penerimaan daerah dan tidak dapat direstitusi rakyat.

Meskipun UU memerintahkan 0 persen untuk bahan pokok, nyatanya tetap dipajaki daerah sebesar 10 persen. Maka, tarif pajak bahan pokok Indonesia tetap lebih tinggi dari sejumlah negara. Jadi, jika disebut pajak Indonesia lebih rendah, jelas pembalikan atas fakta.

Contohnya adalah Italia yang mengenakan tarif pajak bahan pokok maksimal 4 persen, Turki (1 persen), Jepang (8 persen), Australia (0 persen), dan Arab Saudi (0 persen). Konsep mereka jelas, bahan pokok amat dibutuhkan seluruh rakyat karena itu wajib dilindungi pemerintah untuk menjamin kestabilan harga dan agar bahan pokok terjangkau.

Sikap kontras malah ditampilkan pemerintah yang sejak 1 Maret 2021 menghapuskan dan mendiskon pajak barang mewah, yakni PPnBM mobil berpenumpang, berlaku selama sembilan bulan atau sampai akhir tahun ini. Diskriminasi semakin tampak, yang ”the have” difasilitasi, sementara mereka yang tidak ”the have” malah kian dibebani.

Solusi Alternatif

Total konsumsi bahan pokok yang menjadi bagian dari sektor konsumsi rumah tangga (RT) memang sangat tinggi. Sekitar 55 persen PDB Indonesia yang berjumlah Rp 15.800 triliun disumbang dari konsumsi RT. Jika dikenakan pajak 10 persen saja, penerimaan negara sedikitnya Rp 870,86 triliun per tahun akan masuk bendahara negara. Sekarang pun sebenarnya sudah dipungut, namun masuk kas pendapatan daerah dan restribusi daerah (PDRD).

Yang paling bijak, pemerintah sebaiknya berkoordinasi dengan daerah karena banyak aspek kepemerintahan yang mandek di daerah. Dana menganggur di daerah yang berasal dari dana transfer daerah dan alokasi dana desa (ADD) terus menggunung di daerah. Jika Januari 2021 masih Rp 133,50 triliun, pada April sudah menyentuh Rp 194,54 triliun. Dana mandek di perbankan ini memberikan refleksi banyak kerugian dan kemudaratan.

Bank juga rugi karena harus memberikan sejumlah bunga. Pemda juga rugi karena potensi memberikan multiplier efek ekonomi yang lebih besar tidak bisa diperoleh. Rakyat pun rugi karena peluangnya mendapatkan kenaikan ekonomi tertangguhkan. Bahkan, negara ikut rugi karena dana pajak tersebut ternyata tidak memberikan kemanfaatan maksimal untuk kesejahteraan rakyat.

Untuk hal-hal seperti ini, daerah perlu didudukkan, diskusi bersama, perlu ditanya sumber PDRD-nya dan bagaimana realisasi dana transfer daerah dan ADD. Memberikan sanksi dan penalti tidak diharamkan rakyat karena ini menyangkut tujuan bernegara sebagaimana ada dalam desain Nawacita Presiden Jokowi. Abainya daerah merefleksikan tidak mendukungnya daerah atas program pemerintah pusat.

Nilai sanksi ini akan menahan kas negara tidak semakin terkuras. Tidak perlu menaikkan pajak yang akan menjadi kebijakan tidak populis, namun hanya mengorganisasi pencairan anggaran.

Baca Juga: Unair Sebut Temuan ITD Bukan dari Lonjakan Kasus Bangkalan

Makna yang lebih substansial, bahan pokok adalah hak dasar setiap rakyat, dikonsumsi secara massal, bahkan menjadi faktor ketahanan negara. Negara kuat karena rakyat cukup makan. Rakyat mampu makan karena harga bahan pokok terjangkau. Harga terjangkau karena bahan pokok tidak diributi dengan bermacam-macam pajak. Itulah filosofi dasar bahan pangan pokok, sekadar agar konsep pemajakan tidak kian membingungkan. (*)


*) Effnu Subiyanto, Peneliti dan dosen MM UKWM Surabaya

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tentang Penulis: Redaksi

Pimprus
Website media INFOMURNI merupakan website resmi yang berbadan hukum, Berisikan berbagai informasi untuk publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.