[ad_1]
JawaPos.com – Pandemi dengan segala pembatasan mobilitas membuat daya beli masyarakat terpuruk. Meski capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua tahun ini 7,07 persen, tingkat inflasi terjaga rendah di angka 1,52 persen secara year-on-year (YoY). Padahal, target inflasi tahun ini adalah 3 persen.
Angka yang jauh dari target, kata Presiden Joko Widodo, patut diwaspadai.
”Bisa saja ini mengindikasikan turunnya daya beli masyarakat akibat pembatasan aktivitas dan mobilitas,” kata Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Inflasi 2021 di Istana Negara kemarin (25/8).
Presiden meminta Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terus menjaga ketersediaan stok serta stabilitas harga barang. Terutama kebutuhan pokok. ”Dalam kondisi daya beli masyarakat yang menurun, stabilitas harga barang menjadi hal yang penting,” tegasnya.
Selain itu, TPIP dan TPID perlu proaktif mendorong sektor ekonomi yang tumbuh makin produktif. Juga membantu meningkatkan produktivitas petani dan nelayan serta memperkuat sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar mampu bertahan dan bisa naik kelas.
Jokowi ingin ada upaya untuk meningkatkan nilai tambah di sektor pertanian yang menjadi sektor unggulan di tengah pandemi Covid-19. Sebab, sektor itu mampu tumbuh positif 2,95 persen pada kuartal I dan 0,38 persen pada kuartal II 2021.
Beberapa langkahnya, antara lain, mengembangkan komoditas ekspor bidang pertanian dan menyempurnakan skema penyaluran kredit usaha rakyat (KUR). ”Pada semester pertama 2021, ekspor sektor pertanian mencapai Rp 282 triliun atau USD 1,95 miliar,” ungkapnya. Jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, angkanya naik 14,05 persen.
Menurut mantan gubernur DKI Jakarta itu, masih banyak potensi komoditas ekspor produk hortikultura yang dapat dikembangkan. Misalnya, porang, sarang burung walet, dan edamame. ”Kita harus serius menggarap ini. Bukan hanya untuk meningkatkan nilai tukar petani dan kesejahteraan petani, tetapi untuk menghasilkan sebuah lompatan. Dengan demikian, sektor pertanian memiliki kontribusi yang semakin besar,” ujarnya.
Kelembagaan petani dalam model klaster juga perlu diperkuat. Akses pemasaran melalui kemitraan dengan industri pun perlu diperluas. ”Badan usaha milik petani (BUMP), baik koperasi maupun BUMDes, juga perlu dikembangkan sehingga nilai tambah dari pascapanen ini bisa terus ditingkatkan,” tutur Jokowi.
Dalam hal pembiayaan, presiden melanjutkan, pemerintah akan terus menyempurnakan skema penyaluran KUR. Terutama KUR pertanian yang dianggarkan Rp 70 triliun pada 2021 dari total KUR keseluruhan Rp 253 triliun.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan, sampai Juli 2021, inflasi terjaga rendah di level 1,52 persen YoY. Rendahnya inflasi seiring dengan permintaan masyarakat yang belum kuat. Namun, dia memperkirakan inflasi pada 2021 dan 2022 di kisaran 3 persen, plus-minus 1 persen. ”Meskipun kenaikan inflasi 2022 perlu diantisipasi sejalan dengan kenaikan permintaan domestik dan harga komoditas dunia,” paparnya.
Alumnus Iowa State University itu mengapresiasi kinerja para pemimpin daerah dalam menjaga stabilitas harga, khususnya pangan. Dengan demikian, mereka mendukung upaya pemulihan ekonomi dan menjaga kesejahteraan masyarakat. Menurut dia, inflasi dan harga pangan yang terjaga menjadi momentum untuk memperkuat peran UMKM.
Selain itu, memperkuat ekosistem ekonomi secara terintegrasi dengan penggunaan teknologi digital merupakan keharusan. Karena itu, perlu dilakukan pengembangan klasterisasi, peningkatan kapasitas, dan perluasan akses pembiayaan. ”Ke depan, transformasi digital UMKM diarahkan untuk terus meningkatkan daya saing. Tidak hanya dalam mata rantai pasok lokal dan nasional, tetapi hingga mata rantai global,” ucap Perry.
Pihaknya melanjutkan skema burden sharing pada 2022. Melalui surat keputusan bersama (SKB) III, BI membeli SBN di pasar perdana mencapai Rp 215 triliun pada 2021 dan Rp 224 triliun pada 2022. ”Langkah ini merupakan sinergi dan koordinasi kebijakan fiskal dari pemerintah dan kebijakan moneter dari Bank Indonesia sehingga dapat mengurangi beban negara,” kata pria asal Sukoharjo itu.
Pemerintah juga akan diberi pembebasan bunga hingga tarif yang lebih murah. Tingkat suku bunga reverse repo BI tenor tiga bulan juga akan ditanggung bank sentral. Jadi, akan ada klaster bunga murah dan klaster yang bunganya beban pemerintah 0 persen.
Sinergi BI dan pemerintah, kata Perry, sangat penting di tengah kondisi yang tidak bisa diprediksi saat ini. Covid-19 terus bermutasi dan mengancam kesehatan banyak orang. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Di sisi lain, terdapat masyarakat kalangan miskin yang perlu dibantu akibat pengetatan mobilitas. Begitu pula dunia usaha, khususnya kelompok UMKM.
Secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi kuartal II 2021 cukup kontras. Sebab, permintaan masyarakat memang masih lemah. Mengingat, sektor yang tumbuh selama periode tersebut adalah transportasi, akomodasi/logistik, dan restoran. ”Serapan tenaga kerja sektor-sektor tersebut tidak setinggi industri maupun pertanian,” ujar Bhima kepada Jawa Pos tadi malam.
Di sisi lain, ketika BI dan pemerintah menargetkan ekonomi tumbuh 5–5,5 persen dengan kondisi inflasi saat ini, itu masih terlampau jauh. Karena itu, malah akan timbul inflasi sisi permintaan (demand pull). Sementara dari sisi pasokan (supply), fluktuasi harga komoditas cenderung naik. Akibatnya, harga bahan baku naik, harga jual akhir dari industri juga naik. ”Jadi, target inflasi 3 persen sepertinya belum mempertimbangkan aspek sisi permintaan maupun tekanan dari sisi pasokan,” imbuhnya.
Lulusan University of Bradford itu mengatakan, perlu ada antisipasi inflasi yang bersumber dari harga yang diatur pemerintah. Misalnya, perubahan harga minyak dunia ke tarif listrik dan bahan bakar motor (BBM). Lalu, perubahan subsidi energi pada 2022 di LPG 3 kg jangan sampai menimbulkan inflasi dari sisi harga pangan. Sebab, bahan makanan berkontribusi cukup besar ke inflasi. Ketersediaan dan distribusi pangan perlu terus diawasi pemerintah.
Selain itu, jika inflasi naik di atas 3 persen, pemerintah perlu menambah anggaran perlindungan sosial (perlinsos) untuk menyelamatkan daya beli kelas menengah ke bawah. ”Belum lagi ada kebijakan reformasi pajak. Salah satunya rencana PPN bahan makanan. Itu juga kalau tidak hati-hati membuat inflasi bisa lebih tinggi dari asumsi makro RAPBN 2022,” jelas Bhima.
Menurut dia, pelonggaran PPKM dari level 4 ke 3 belum berdampak signifikan terhadap inflasi. Sebab, konsumsi rumah tangga masih relatif terbatas. Daya beli kelas menengah belum tinggi. Di sisi lain, masih ada jeda antara pelonggaran dan kenaikan konsumsi rumah tangga lantaran pendapatan masyarakat yang masih rendah.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!