[ad_1]
Gedung Kesenian Cak Durasim kini dipoles lebih ayu. Lebih artistik. Bergaya arsitektur kuno, tapi terlihat mewah. Sejumlah ornamen di bagian eksterior maupun interior menambah kesan megah bangunan itu.
UMAR WIRAHADI, Surabaya
MEMANDANG Gedung Cak Durasim sepintas seperti kita terlempar ke masa lampau. Persisnya pada zaman kolonial. Sebab, gaya arsitektur pada bagian pelataran terkesan kuno. Khas bangunan pada zaman Belanda.
Di bagian paling depan, misalnya, bangunan ditopang empat pilar setinggi 5 meter. Pilar-pilar itu berdiri tegak dengan dilapisi batu alam berwarna hitam. Di atasnya berdiri lilin-lilin beton. Jumlahnya 11 buah. Mengelilingi bagian langit-langit selasar. ’’Ini kan kesannya seperti benteng. Atau seperti bangunan gapura zaman Belanda,’’ tutur Slamet Hariyono, arsitek yang mengerjakan Gedung Cak Durasim.
Suasana cukup berbeda sangat terasa ketika masuk ke ruang lobi. Di sana, kesan kuno tapi mewah berbaur. Suasana kuno terlihat dari dinding-dinding yang lapisannya kayu. Juga, ada backdrop berbahan akrilik dengan motif batik. Simbol gunungan wayang yang melekat di tiap dinding tangga juga memberi daya magis.
Menurut Slamet, setiap motif dan ornamen di dalamnya punya nilai filosofis tersendiri. Simbol gunungan wayang, misalnya, memberi makna setiap orang harus menuntaskan fase kehidupan dengan utuh. Itu sebagai syarat agar seseorang bisa terus menapaki tangga kehidupan sampai ke atas. Atas bisa bermakna puncak karier atau puncak kebahagiaan hidup. ’’Kalau setiap fase tidak dilewati dengan benar, berpotensi gagal. Semua pekerjaan atau profesi, hukum alamnya begitu,’’ tutur Slamet.
Adapun kesan mewah terpancar dari pencahayaan. Di bagian tengah, tergantung lampu kristal berlapis emas kadar rendah. Lampu itu berukuran cukup besar. Tingginya mencapai 3 meter dengan diameter 1,5 meter. Lampu tersebut memantulkan sinar terang keemasan. Di samping lampu besar tadi ada dua lampu berukuran lebih kecil. Terletak di sisi kiri dan kanan. Lampu lebih kecil itu berwarna biru kuning.
Lantai ruang lobi juga. Ada kesan kuno tapi modern. Lantai berlapis marmer yang mengkilat. Menariknya, di setiap sudut marmer ada lukisan bermotif batik. Marmer dilubangi dengan mesin. Nah, setiap lubang itu diberi marmer dengan warna dan motif yang berbeda. Ditambah lagi, setiap dinding dipasangi cermin.
Ruang lobi berukuran 210 meter persegi tersebut juga dipenuhi nilai filosofis. Pintu, contohnya. Ada tiga pintu masuk. Itu melambangkan budaya sekaligus punya inspirasi ketuhanan. Di dalam konsep Islam, jelas Slamet, dikenal tiga istilah yang sama-sama bermakna Tuhan. Yaitu, Ilahi, Robbi, dan Maliki. ’’Dengan desain ini, ada maksud tertentu. Bahwa begitu orang masuk ke ruangan ini, energi untuk berkesenian akan langsung muncul. Jadi inspirasi kebudayaan,’’ tutur alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya (ITATS) tersebut.
Dari ruang lobi, pengunjung bisa masuk ke ruang panggung utama melalui dua jalur. Untuk VIP, disiapkan pintu di bagian bawah. Dari pintu itu, mereka masuk lewat lorong dan menuju kursi di depan panggung utama.
Sementara itu, pengunjung biasa diarahkan melalui tangga dan langsung menuju panggung utama. Panggung utama terlihat megah dengan 500 tempat duduk. Kemarin sofa lipat berwarna merah itu tertata rapi dari atas ke bawah.
Gedung Cak Durasim juga diperluas hingga ke bagian belakang. Saat ini sudah dibangun ruang latihan khusus yang terletak di bagian belakang panggung utama. Luasnya 77,8 meter persegi. Ruangan itu juga dilengkapi dua ruang rias untuk putra dan putri. ’’Tempat latihan ini bisa diakses siapa saja. Tdak hanya untuk pemain, tapi juga untuk latihan sehari-hari,’’ tutur Eko Harianto, pelaksana proyek.
Dengan renovasi itu, kini Gedung Kesenian Cak Durasim bertambah luas. Luas totalnya mencapai 1.800 meter persegi. Padahal, luas sebelumnya hanya 1.000 meter persegi. Ada penambahan luas bangunan sekitar 800 meter persegi. Dengan renovasi dan penambahan luas gedung, area itu diharapkan lebih representatif sebagai pusat kesenian dan kebudayaan di Jawa Timur.
Di akhir pekerjaan nanti, pekerja akan memasang kembali Patung Cak Durasim setengah dada. Itu adalah patung lama yang ada sebelum gedung dipugar. ’’Patung ini masih asli seperti semula. Tidak ada yang diubah. Kami takut kualat,’’ ujar Eko.
Baca Juga: Beli Sarung Rp 22 M Pakai Bilyet Giro Kosong, Bapak-Anak Jalani Sidang
Diketahui, Cak Durasim bukan hanya seniman tersohor di masanya. Dia juga pejuang kemerdekaan. Melalui pentas ludruk, dia kerap melontarkan kritik kepada penjajah. Pada puncaknya saat pentas di Keputran Kejambon, Surabaya, dia melantunkan kidungan sangat populer yang berbunyi, ’’Pegupon omahe doro, melu Nippon tambah sengsoro.’’
Akibat kata-katanya itu, Cak Durasim ditangkap dan disiksa tentara Jepang hingga meninggal pada 7 Agustus 1944.
Saksikan video menarik berikut ini:
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!