[ad_1]
Wimar Witoelar manusia multidisiplin yang langka karena bisa kritis dan jenaka dalam satu tarikan napas.
DINDA JUWITA-FERLYNDA PUTRI, Jakarta, Jawa Pos
—
JUDUL buku itu: No Regrets. Namun, di bagian awal prakata sebenarnya sudah terasa ”penyesalan” sang penulis, Wimar Witoelar.
”Presiden Abdurrahman Wahid akan dilengserkan dan saya sedang berada jauh darinya. Saya Kepala Juru Bicara Kepresidenan ketika itu dan kami pikir kami masih punya seminggu lagi sebelum Sidang Khusus MPR dihelat untuk mengambil keputusan terkait perseteruan panjang Presiden dan Parlemen.”
Wimar ketika itu berada di Sydney, Australia, atas izin Gus Dur untuk menjadi pembicara mewakili Asia dalam ajang peringatan 100 tahun Australia sebagai sebuah federasi. Pada 21 Juli 2001 itu, Gus Dur –sapaan akrab Abdurrahman Wahid– akhirnya dilengserkan MPR yang ketika itu diketuai Amien Rais.
No Regrets, yang punya judul tambahan Reflections of a Presidential Spokesman, dirilis pada 2002 setahun setelah Gus Dur, sosok yang sangat dikagumi Wimar, dijatuhkan. Ditulis dengan gaya khas Wimar yang renyah dan jernih, buku itu berisi kesaksian dari dekat sekali tentang pengalamannya mendampingi presiden keempat Indonesia tersebut.
Berada di lingkaran birokrasi melengkapi kredensial seorang Wimar Witoelar yang kemarin berpulang di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, dalam usia 75 tahun. Dia merupakan sosok langka dalam lanskap Indonesia modern. Multitalenta, multidisiplin. Aktivis, akademisi, pebisnis, dan kolumnis yang juga pernah berkiprah di birokrasi dan mendirikan partai serta mengasuh program talk show televisi dan menelurkan buku sepak bola tentang klub yang dicintainya: Arsenal. Sejak kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), dia bergerak di organisasi kemahasiswaan. Wimar memang sosok yang selalu peduli dengan dunia sekitar.
Kiki Witoelar, satu di antara empat kakaknya, mengingat sang adik sangat doyan mendengarkan cerita tentang apa saja. ”Gosip tetangga saja dia dengerin,” kenangnya ketika dihubungi Jawa Pos lewat telepon kemarin (19/5).
Kiki, satu-satunya perempuan dari lima bersaudara, sangat dekat dengan adik bungsunya itu. Karena jarak usia mereka cukup jauh, Wimar sering digendong-gendong Kiki. ”Sejak kecil, Wim kritis,” kenangnya.
Pada masa kuliah di ITB, Wimar tinggal di rumah suami Kiki. Di sini perempuan yang tinggal di Bangil, Pasuruan, tersebut masih melihat kekritisan adiknya. Dunia aktivis memfasilitasinya. ”Kalau diceritakan, sampai berbuku-buku. Salah satunya kan sampai dibuang ke Amerika,” ungkapnya.
Belakangan, sepsis menggerogoti tubuhnya. Lewat story di Instagram-nya, Satya Witoelar, putra Wimar, membeberkan bahwa sang ayah mengalami infeksi berat multiorgan dan ada indikasi stroke. Bahkan sempat dirawat di ICU dan menggunakan ventilator.
Pria dengan kemampuan menulis dan berbicara yang sama baiknya itu akhirnya berpulang. Mengutip pernyataan Direktur Utama Biro Konsultan InterMatrix Communications (IMX) Erna Indriana, Wimar meninggal kemarin pukul 09.00 dan dimakamkan sorenya di TPU Tanah Kusir.
Ungkapan dukacita datang dari berbagai pihak. Jubir Presiden Fadjroel Rachman, misalnya, menyebut Wimar sebagai gurunya. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga dikenal dekat dengan Wimar. Wimar merupakan penggagas Partai SRI yang didirikan pada 2011 dan dimaksudkan menjadi kendaraan politik Ani –sapaan akrab Sri Mulyani– pada Pemilu 2014. Partai itu tidak lolos verifikasi Kementerian Hukum dan HAM. Namun, tetap saja, di mata Ani, ayah dua anak tersebut adalah sosok sahabat sejati.
”Wimar adalah seorang yang sangat peduli dengan Indonesia agar menjadi semakin baik, bersih, dan maju,” ujar Ani dalam unggahan di akun Instagram miliknya kemarin.
Keduanya merupakan karib yang sama-sama berjuang saat reformasi bergulir pada 1998. ”Kami sering berada dalam forum yang sama, menjelaskan kepada publik pentingnya reformasi bagi Indonesia,” jelas Ani.
Kala Ani masih aktif di Bank Dunia di Washington DC pada 2014, Wimar juga sempat menengoknya. ”Selamat jalan Wimar, Indonesia dan saya kehilangan seorang kawan yang selalu setia dan peduli,” ungkapnya.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga mengenang Wimar yang selalu menekankan kepadanya bahwa komunikasi media sangatlah penting. ”Pak Wimar itu selalu memberikan lontaran yang jenaka, tapi kritis,” bebernya.
Wimar memang bisa kritis dan jenaka dalam satu tarikan napas. Mengutip artikel Imam Shofwan di Pantau, ketika menjadi moderator Pesta Blogger Nasional pada 2007, Wimar berkali-kali mengundang aplaus dan tawa audiens. Salah satunya, ”Pak Menteri (Mohammad Nuh, ketika itu menjabat menteri komunikasi dan informatika) bisa meninggalkan tempat duluan kalau takut macet. Ini bukan ngusir lho, Pak”. Nuh ketika itu memang hendak meninggalkan tempat karena harus mengejar pesawat.
Kejenakaan itu juga dia tampilkan saat menuliskan kolom terpilihnya Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden dan wakil presiden di Newsweek. Kolom tersebut bersubjudul: It’s no joke Indonesians are proud of our silent princess and her mercurial mentor. Harus ada no joke di situ karena ada faktor Gus Dur, sosok yang terkenal dengan guyonannya. Dan, silent princess adalah Megawati.
Alissa Wahid, putri Gus Dur, mengingat, meski bersahabat, sang ayah dan Wimar tak jarang berbeda pendapat. ”Pak Wimar tidak segan mempertanyakan sikap Gus Dur. Sementara, Gus Dur juga tidak segan menjawab tanpa emosional,” kata Alissa dalam cuitannya di akun Twitter pribadi.
Itu semua tak terlepas dari kepedulian keduanya kepada masyarakat dan negara mereka. Sikap yang menurut sang kakak, Kiki Witoelar, ditunjukkan sang adik sejak kecil.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!