[ad_1]
Dua
FERDYAN
Gue baru mau meninggalkan kamar hotel ketika teringat perempuan yang tertidur di dalam kamar itu. Nggak apa-apa kalau gue meninggalkan dia begitu saja, kan? Gue lantas menggelengkan kepala karena memikirkan pertanyaan sebodoh itu. Sejak kapan gue jadi peduli pada orang lain? Orang asing yang masih dibuai mimpi itu adalah perempuan yang pasti bisa bertanggung jawab pada diri dia sendiri. Tapi mungkin nggak ada salahnya kalau gue memastikan bahwa apa yang telah dilakukan teman-teman gue semalam nggak berakibat terlalu buruk padanya.
Semua berawal dari ide gila si kembar Edy/Edo. Kembar identik yang bukan hanya mirip di penampilan, tapi juga kompak punya otak mesum. Bergabung dengan otak mesum lain milik Dendy, mereka mengusulkan bachelor party untuk melepas masa lajang Pram.
“No way!” tolak Pram tegas ketika Edy, Edo, dan Dendy mengajukan ide itu minggu lalu. “Mia akan bunuh gue pakai tangan dia sendiri kalau tahu gue ngadain pesta kayak gitu,” Pram menyebut nama calon istrinya dengan nada ketakutan. Ekspresinya bikin gue nyaris tertawa. Perempuan mengerikan itu berhasil mengubah sahabat gue mirip kerbau bodoh yang hidungnya dicucuk. Iya, dia memang cantik sih, tapi kecantikan bukan justifikasi untuk membiarkan perempuan mengambil alih hidup seorang laki-laki. Seenggaknya, itu menurut gue. Anehnya, Pram sama sekali nggak keberatan dengan dominasi Mia. Mengherankan. Atau menyedihkan? Mungkin keduanya.
Gue baru dua kali bertemu calon istri Pram. Dia memang berbeda dengan perempuan yang pernah jadi mantan-mantannya. Satu kata yang cocok untuknya, berkarakter. Meskipun gue nggak melihat itu ada gunanya untuk Pram.
“Mia nggak akan membunuh lo karena dia nggak akan tahu,” bujuk Dendy. “Lagian, kita juga nggak akan bikin pesta yang aneh-aneh kok. Seorang penari striptease cukuplah buat senang-senang dikit. Ray pasti bisa kasih kita cewek paling seksi yang ada di kelab dia.”
“Nggak bisa!” Pram masih berkeras. “Nggak ada jaminan kalau Mia nggak akan tahu. Dia bisa saja membatalkan pernikahan karena ide sinting lo ini. Lo semua nggak tahu aja gimana sulitnya dapetin dia. Gue nggak mau ambil risiko apa pun.”
Edo tertawa. “Sejak kapan lo kesulitan buat dapetin cewek?” Dia menunjuk gue. “Lo dan Ian hanya perlu melirik sekali, dan cewek-cewek itu langsung lumer.”
Gue hanya menggeleng tanpa berniat mengomentari. Gue lumayan menikmati melihat Pram mengalami dilema antara ketakutan kepada calon istrinya dan keinginan menyenangkan hati sahabat-sahabatnya.
“Oke, baiklah,” Pram akhirnya menyerah setelah dikepung tiga orang. “Tapi gue beneran akan memutuskan hubungan dengan lo semua kalau Mia sampai tahu,” ancamnya.
“Mia nggak akan membatalkan pernikahan kalian meskipun tahu.” Edy nyengir kegirangan. “Dia yang beruntung dapetin lo. Dan dia jelas nggak akan melepas keberuntungannya begitu saja. Tolol aja kalau itu sampai kejadian.”
“Lo belum kenal dia dengan baik sih,” dengus Pram. “Gue yang beruntung dapetin dia. Udah, jangan ngomong apa-apa lagi. Yang ada gue bisa berubah pikiran.”
Dan buntut dari kejadian itulah yang membuat gue terdampar di suite room hotel milik Pram ini. Hanya saja, bachelor party semalam melenceng jauh dari rencana trio mesum Edy, Edo, dan Dendy.
Seseorang memang mengetuk pintu pada waktu yang disepakati. Hanya saja, perempuan yang masuk berbeda jauh dari harapan trio mesum. Perempuan itu memang cantik, tapi dia sepertinya belum siap untuk striptease. Dia tidak mengenakan seragam perawat nakal seperti pesanan Edo. Jelas terlihat kalau dia pemula.
“Kostumnya?” tanya Edo semalam.
“Ya?” Perempuan itu terlihat canggung. “Oh… itu…dibawa sama teman saya. Nggak lama lagi dia akan datang kok.”
Gue nggak tertarik ikut dalam percakapan itu, jadi gue memilih menyingkir untuk menerima telepon kakak gue. Dia kebetulan sedang berada di hotel ini juga, makan bersama temannya di restoran. Gue menoleh pada Pram. Dia juga nggak bergabung dengan trio mesum mengerubuti penari striptease yang belum siap dan terlihat amatiran itu. “Gue ke bawah ya,” pamitku. “Mau ketemu Naren.”
“Lo jangan coba-coba kabur,” Pram mengingatkan. “Gue perlu orang lain untuk menjaga kewarasan gue di sini. Sulit mengharapkan mereka.” Dia mengerling pada Trio Mesum.
Tapi obrolan dengan Naren ternyata berlangsung lama. Dia memang kakak gue, tapi pilihan hidup membawanya jauh dari rumah. Dia bekerja di National Geographic. Berkeliling dunia mengejar spesies hewan dan tumbuhan langka tanpa menghiraukan hubungannya yang buruk dengan ayah kami yang nggak suka pilihan itu.
Ketika kembali di kamar, gue hanya mendapati Pram duduk sendiri di depan TV.
“Anak-anak ke mana?” Gue ikut duduk di sebelahnya.
Pram menggeleng. “Gerombolan sinting itu udah kabur setelah merecoki soda cewek tadi dengan alkohol.”
“Pestanya?”
“Pesta apa? Cewek kiriman Ray langsung pulas setelah gelas soda kedua dia. Gue udah pindahin dia ke kamar. Kasihan lihat dia meringkuk di sofa.” Pram berdiri. “Gue harus pulang sekarang. Mia akan ngamuk kalau tahu gue membopong cewek lain. Gue bahkan belum pernah gendong dia.”
“Gendong aja yang belum, tapi yang lain udah, kan?” Gue tertawa melihat tatapan sebal Pram.
“Lo sama mesumnya dengan anak-anak lain.” Dia mengibas dan berjalan menuju pintu.
Gue ikut berdiri. “Gue juga mau balik ke apartemen.”
“Nggak bisa, Ian,” Pram menahan dadaku, mencegahku pergi. “Lo harus tinggal sampai besok untuk pastiin kalau cewek itu baik-baik aja. Kita akan dapat masalah kalau dia mengalami sesuatu. Gue nggak tahu berapa banyak alkohol yang anak-anak campurin ke soda cewek itu.”
“Harus gue ya?” Jujur, gue malas berurusan dengan perempuan-perempuan korban keisengan Trio Mesum. Apalagi perempuan yang mencari uang dengan mengandalkan lekuk tubuh seperti itu.
“Jadi siapa lagi? Gerombolan sinting itu udah kabur. Lagian, cewek itu aman kalau lo yang menjaganya. Sudah ya, gue cabut. Gue harus istrahat cukup sebelum pernikahan gue lusa. Gue nggak mau Mia kabur karena tampang gue berantakan di hari istimewa kami.”
“Lo cinta banget sama dia ya?” Gue beberapa kali menjadi saksi sejarah kisah percintaan Pram. Hanya saja, dia nggak pernah terlihat memuja seseorang seperti Mia, perempuan yang dia kenal di Pulau Sulawesi saat berlibur di sana.
“Lo akan ngerti apa yang gue rasain saat menemukan cewek yang bikin lo lebih sering mikirin dia daripada diri lo sendiri. Tunggu aja.”
Gue tentu saja nggak percaya teori konyolnya, tapi memilih nggak membantah. Biarkan saja Pram menikmati madu cintanya sampai masa kedaluwarsanya tiba. Selalu ada batas waktu untuk semua hal. Termasuk cinta.
“Jangan masuk!” teriakan itu terdengar saat gue memutar handle pintu kamar. Oh, rupanya perempuan itu sudah bangun. Syukurlah, jadi tugas gue memastikan dia masih hidup sudah selesai. Siapa juga yang mau ketemu dia? Gue menggeleng-geleng geli sendiri memikirkan kepercayaan diri perempuan itu. Kalau bisa menghindarinya, untuk apa bertemu muka? Gue segera memutar langkah, menuju pintu keluar.
“Tunggu!” teriakan kedua diikuti suara pintu kamar yang tergesa dibuka. Perempuan itu muncul dari balik pintu.
Gue berbalik. “Ada apa?” Gue membuat nada suara gue terdengar sedingin mungkin. Mengirim pesan kalau gue nggak mau terlibat lebih jauh dengan dia.
Perempuan itu terlihat bingung. Mungkin efek alkohol semalam. Tapi dia masih terlihat cantik meskipun baru bangun dan nggak memakai makeup apa pun. Sayang sekali dia harus memanfaatkan penampilan fisiknya untuk mencari uang. Ya, itu urusan pribadinya yang nggak ada hubungannya dengan gue sih. Gue nggak berhak menghakimi pilihan hidupnya.
“Saya… saya bisa pinjam ponsel kamu? Saya harus menghubungi seseorang. Saya nggak bawa ponsel.”
Tipuan basi. Mana ada orang zaman sekarang yang melupakan ponselnya saat keluar rumah? Ponsel adalah nyawa cadangan yang nggak mungkin ditinggal-tinggal. Dia pasti hanya ingin berkenalan dengan gue. Dia pasti sedang mengira-ngira keuntungan apa yang bisa dia dapat dari gue. Sayang sekali, dia salah orang.
“Tolong…?” Tatapan dan nadanya memelas. Dia pintar akting. Gue malas memperpanjang, jadi mengulurkan ponsel gue. Paling juga dia hanya akan membuat panggilan palsu sebagai alasan supaya bisa bicara lebih lama dengan gue. Trik kuno. Gue sudah hafal mati saking seringnya dimodusin dengan cara seperti ini sama perempuan.
“Nggak tersambung,” katanya pelan. Dia mengembalikan ponsel gue.
Tentu saja nggak tersambung karena itu nomor palsu. Gue hampir memutar bola mata. “Saya pergi sekarang.” Gue mengambil ponsel itu dan berbalik.
“Tunggu!” Kemampuan akting perempuan itu benar-benar bagus karena gue bisa melihat dia merasa malu, bingung, dan putus asa di saat yang sama.
“Ada apa lagi?” Gue menampilkan tampang gusar dan nggak sabaran.
“Saya… saya bisa pinjam uang? Saya tahu ini nggak masuk akal dan memalukan, tapi saya nggak bawa dompet.”
Itu memang alasan paling nggak masuk akal bahkan untuk anak umur lima tahun sekalipun. Jadi bagaimana caranya dia sampai di sini semalam? Terbang? Merayap di dinding seperti superhero?
“Ray yang akan membayar kamu, kan?”
Perempuan itu mengoyang-goyangkan tangan di depan dada. “Oh, bukan soal bayaran itu. Saya … saya hanya butuh ongkos pulang.”
Gue nggak akan tinggal lama-lama untuk melayaninya, jadi gue segera mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan. “Cukup?” Basa-basi, karena gue tahu jumlah itu jauh lebih dari cukup untuk sekadar ongkos taksi.
Perempuan itu nggak mengambil semuanya. “Terima kasih. Bagaimana saya akan mengembalikannya nanti? Bisa kasih saya nomor rekening kamu?”
Gue benar-benar nyaris tertawa. Usaha yang bagus. “Nggak usah. Kita nggak akan bertemu lagi. Saya nggak suka berurusan dengan orang-orang kayak kamu.”
Perempuan itu menatap gue sengit. Ada kemarahan di matanya meskipun bibirnya terkatup rapat. Dia bertingkah seolah kalimat yang gue ucapkan melukai harga dirinya. Hah! Seolah dia punya harga diri saja. Harga diri macam apa yang dimiliki perempuan yang pekerjaannya melepas satu demi satu pakaiannya di depan banyak laki-laki yang menyorakinya?
Sebelum gue bereaksi, perempuan itu sudah meninggalkan gue dan membanting pintu. Gue berdecak. Bukannya berterima kasih sudah dibantu. Dasar orang aneh!
***
Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!
storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs idntimes.com, klik link disini!