[ad_1]
Tentu saja kita semua tahu, nasi goreng awalnya sekadar memanfaatkan sisa nasi. Umumnya nasi kemarin, yang sebetulnya masih layak makan, agar terasa enak dipanaskan kembali dengan cara digoreng.
—
SEBUAH prinsip untuk tak menyia-nyiakan sesuatu, terutama nasi yang merupakan makanan pokok sebagian besar orang Indonesia. Bahkan, nasi yang sudah agak basi masih bisa dikeringkan dan dijadikan kerupuk gendar. Nasi yang mengerak ketika ditanak juga bisa jadi camilan.
Agar nasi sisa kemarin enak dimakan, ia tak sekadar digoreng. Kita menambahinya dengan bumbu, minimal garam. Jika ada, kita bisa tambahi pula kecap manis atau saus tomat. Yang suka pedas bisa memberinya sambal.
Nasi goreng mudah ditemukan di meja-meja sarapan pagi keluarga-keluarga kita. Yang lebih mampu tentu akan menambahinya dengan telur, potongan sayur, sosis, atau potongan ayam. Waktu saya masih kecil dan remaja, sarapan nasi goreng lebih umum daripada roti bakar, buah-buahan, apalagi susu dan sereal.
Ketika anak saya memperoleh tugas sekolah perihal daur ulang, penggunaan ulang, dan pengurangan pemakaian dalam rangka pelestarian lingkungan, entah kenapa pikiran saya malah melayang-layang ke nasi goreng. Bukankah itu contoh yang ideal untuk bicara, katakanlah, daur ulang atau penggunaan ulang dalam konteks makanan?
Sisa makanan merupakan salah satu penyumbang sampah dari rumah tangga (juga restoran-restoran). Memang sebagian besar makanan mudah larut, bisa jadi pupuk. Tapi, sampah tetaplah sampah. Nasi goreng mengajari kita bagaimana memanfaatkan sesuatu tanpa sisa.
Memang tak semua makanan bisa diperlakukan sama. Beberapa jenis sayuran, setelah melewati waktu tertentu, akan menjadi basi meskipun dipanaskan kembali, menjadikannya tak layak makan. Tapi, secara prinsip, sifat nasi goreng yang bisa dimakan kembali walau dengan mengubah bentuknya bisalah menjadi sejenis pegangan.
Kemeja kantor yang sudah pudar bisa dipakai menjadi baju rumah. Jika baju itu sudah lusuh atau bahkan ada lubangnya, bisa dipakai jadi baju untuk berkebun atau mengutak-atik mesin kendaraan. Sudah compang-camping? Masih bisa jadi lap atau alas kandang binatang agar mereka bisa tidur hangat.
Anak saya juga mengajari hal ini: kotak makanan yang sudah tak layak masih bisa dipakai untuk menyimpan pernik-pernik. Jika ia sudah rompal, masih bisa dipakai untuk pot tanaman. Sesuatu dimanfaatkan hingga ia tandas.
Kisah nasi goreng, sayangnya, tak melulu mengenai nasi sisa yang masih bisa dimakan. Nasi goreng juga kisah abang-abang yang keliling perkampungan dan perumahan dengan gerobak dan membunyikan potongan bambu kecil, ”Tek-tek-tek!” Itu juga kisah warung yang hanya buka menjelang malam hingga tengah malam di tikungan jalan.
Nasi goreng juga kisah tentang menu-menu yang penuh variasi di meja restoran. Nasi goreng seafood, nasi goreng ayam, nasi goreng kambing, nasi goreng ampela-ati, nasi goreng babat, nasi goreng sosis. Tak lupa didampingi kerupuk udang atau emping.
Apakah mereka menjual nasi sisa kemarin? Tentu saja tidak. Pembeli bisa mengomel jika tahu itu nasi sisa. Sering kali nasinya masih demikian hangat seolah baru selesai ditanak, dan dimasak memang semata-mata untuk digoreng kembali.
Pada akhirnya, nasi goreng bukan lagi melulu kisah tentang makanan, atau barang-barang, yang tak tersia-siakan. Ia juga kisah tentang konsumsi kita, yang mungkin sudah menanak nasi di rumah, tapi memilih makan nasi goreng di warung. Ia juga kisah tentang makanan yang diolah berlebihan (ditanak, kemudian digoreng) hanya karena lidah kita menyukainya.
Ini bisa jadi kisah yang sama karena kita memiliki uang berlebih, kita membeli pakaian terus-menerus, hanya karena tren dan model berganti. Kita merasa telah memperpanjang lingkar kehidupan pakaian kita dengan menjualnya/menyumbangkannya setelah tak terpakai sebagai pakaian bekas.
Pakaian itu bisa dipakai orang lain, tapi sebenarnya hanya menjadi pendorong kita untuk membeli dan membeli lagi pakaian baru, sadar jika sudah tak lagi berkenan, masih bisa didistribusikan kembali. Membuat pakaian terus diproduksi, melebihi kebutuhan sebenarnya.
Saya juga kadang merasa ironi dengan lenyapnya kantong kresek dari berbagai toko maupun restoran. Tentu saja saya senang. Plastik, bagaimanapun, salah satu problem lingkungan di planet ini.
Tapi, bukan berarti tak ada masalah baru. Sekarang, di rumah, tanpa sadar tiba-tiba kita punya lebih banyak tote bag kain atau kertas melebihi yang kita butuhkan, misalnya. Ia datang bersama makanan dari layanan antar, atau datang bersama barang yang kita beli di toko.
Baca juga: Horor bagi Yang Lain
Nasi goreng, jangan-jangan, bisa dibaca jadi sejenis otobiografi kita. Ketika masih susah, ia merupakan upaya agar tak ada yang terbuang. Ketika sedikit ada rezeki, ia pelarian ketika malas menanak nasi di rumah. Saat telah makmur sungguhan, ia diciptakan semata-mata untuk memenuhi hasrat konsumsi lidah kita? (*)
EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!