[ad_1]
Perempuan bukan tentang yang dikatakan. Perempuan selalu tentang yang tak terucap.
—
SETELAH sekian tahun tak tatap muka bukan lantaran pandemi, yang dikatakan Tingting Jahe ke Tingting Bocah seperti cubitan semut rangrang. Nyelekit-nyelekit panas. ”Pesohor” alias perebut kekasih, oh, kekasih orang, termasuk di dalamnya. Yang tak terucap justru luapan rasa kangennya. Setelah Jahe dan kekasih barunya, Bra, pisah, mereka berjumpa lagi di suatu meeting point dekat gua hantu. Bra muncul bersama perempuan lain. Jahe secara spontan dan naluriah berpura-pura tak kenal pendatang baru itu.
Hawa dari dalam gua berembus merdu. Langit terhalang dahan-dahan. Jahe tahu persis. Ini putri angkat Pendekar Sastrajendra, mantan kekasihnya. Tak sekanak-kanak saat ia dan Sastrajendra ditinggalkannya di puncak gunung salju mirip Tibet. Rambutnya dulu hanya tebal. Kini tebal dan mengikal mayang. Matanya dulu sekadar bulat. Kini tepi-tepi luarnya menyudut sedikit ke atas. Dadanya mulai membukit kembar. Dan, tentu perawakannya semakin tinggi. Itu pun tak membuat Jahe pangling.
Benarkah Jahe cuma pakai insting untuk dapat spontan bersikap seolah-olah tak mengenalnya, lalu cemburu? Jangan-jangan mulut gua yang napasnya bau lumut itu membisikinya agar berakting begitu. Perempuan dengan pinggang aduhai itu memang acap ngobrol dengan alam. Pohon-pohon. Bebatuan. Hewan-hewan. Diasahnya kepekaan itu dari mantan kekasihnya dan juga dari kekasih gresnya kini.
Purnama lalu, umpamanya, Pendekar Bra usul agar mereka berlibur dari pacaran. Tukang nyanyi yang kerjanya senang saja juga ada liburnya. Demikian alasan Bra. Pendekar yang mirip kelak pebola Ibrahimovic itu tak usul agar keduanya mudik ke kampung halaman hatinya masing-masing. Mudik dilarang, kan? Ia hanya usul libur. ”Nanti kalau ada cegatan, bilang saja kamu tak mudik, tapi liburan,” saran Bra sembari senyum-senyum kecil.
”Oh, Bra, kekasihku, baru saja sungai biru selatan itu bicara padaku.”
”Apa katanya?”
”Aduh, terlalu panjang. Aku nggak suka yang panjang-panjang…” Jahe mendesah.
”Kamu cuekin biar memendek kalau begitu, Jahe.”
”Baiklah. Pendek kata, sungai itu berkata agar kusetujui saja usulanmu. Kata kali, libur dari pacaran lebih banyak manfaatnya ketimbang mudaratnya. Kali berkata, mata anginku ke barat. Kamu ke timur.”
Di pengujung arus balik, Tingting Jahe melihat kekasihnya membawa… Eh, bukan di pengujung arus balik ding. Kan, mereka tidak mudik? Mereka cuma berlibur…! Di pengujung wisata, di mulut gua yang selain berbau lumut juga berbau aneka pandan itu ternyata Bra diiringi perempuan!
***
Derrrodog dog dog dog… dog!
Itu musik paruh burung pelatuk yang sedang melubangi pohon buat membangun sarang. Di sela-sela musik alami, tanggaplah Tingting Bocah yang sejak kecil sekali lompat bisa mengelilingi bumi tujuh kali itu bahwa Tinging Jahe cuma akting. Dikata-katai senyelekit semut rangrang paling radikal pun ia tak membalas. Rona wajahnya hanya ia pura-purakan tidak terima. Yang penting suasana tidak rusak. Dengan itu, ia tetap bisa mewujudkan cita-citanya membuntuti Bra, yakni menguras ilmu silat dari pendekar yang dikaguminya saat acara nikahnya yang gagal pekan lalu.
Walau satu gua, Jahe menyuruh Bocah tidur di ruangan lain yang dibatasi rapatnya stalaktit. Bila Bra meninggalkan gua untuk berlatih silat dalam persiapannya bertarung dengan Pendekar Sastrajendra yang akan ditantangnya, Jahe meminta Bocah masuk ke ”kamar”-nya. Berbagai update tentang keadaan pendekar bangkotan itu saat ini ia tanyakan dengan rasa penasaran yang memuncak. Kadang gantian. Jahe yang menggebu-gebu bercerita tentang mantan kekasihnya.
”Eh, kamu tahu nggak? Perkenalan awalku dengan ayah angkatmu itu sebetulnya bukan saat di kedaiku, melainkan saat membelaku dari palakan oknum-oknum jagabaya,” katanya sambil menarik selimut dedaunan Bocah.
”Kamu ingat waktu kecilanmu, waktu melumpuhkan ratusan pendekar silat di pasar apung Dusun Kake’anmu, saat kali pertama aku ketemu kamu? Seumuran kamu saat itu aku diasuh pamanku di suatu pulau. Terjadi pandemi dan paceklik. Lalu seisi pulau ribut. Gara-garanya, ada yang berniat membarter kalpika pesugihan (”kalpika” adalah cincin yang saat itu dilafalkan ”KPK”). Barang siapa membeli KPK bermata rubi itu ia akan punya banyak barang. Akan lebih kaya dari koruptor. Setiap warga punya barang-barang yang nilainya sama untuk membarternya. Mereka akhirnya bertarung. Siapa unggul dia yang dapat. Lewatlah seorang pengembara. Ia ikut bertarung. Seisi pulau kalah. Ya, ayah angkatmu itu!”
”Kok, ayah tidak kaya?”
”Ah, panjang ceritanya…”
”Bulek tahu aku suka cerita panjang… Eh, tapi kekasih barumu sudah tidak akan memperpanjang latihannya hari ini,” Tingting Bocah dengan ilmu silat tingginya menjadi peka. Ia sanggup mendengar langkah Bra pulang walau jaraknya masih tiga ribu depa. Bergegaslah ia ke ”kamar”-nya. ”Takutnya, Bra-mu akan berganti terbang dengan ilmu peringan tubuh. Tapi ingat, kamu masih punya utang kisah. Bebanmu lebih berat dari sebuah negeri yang punya banyak utang uang…”
Jahe cekikikan. Lalu sunyi. Kecuali hanya bunyi.
Derrrodog dog dog dog… dog! (*)
SUJIWO TEJO
Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers
Saksikan video menarik berikut ini:
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!