[ad_1]
HARI ini bumi memanggil. Sudilah kita menoleh kepadanya. Menatap dalam-dalam dan menyimak dengan khusyuk nyanyian ritmis yang menanggungkan perih. Bumi menyuarakan derita bukan dengan cara ingar-bingar, melainkan hinggap di semak-semak nurani manusia. Terlalu lama manusia lengah dan menaburkan industri sambil menuai polusi.
Sejak setengah abad lalu, bumi mengalami ”resesi ekologis” yang penuh cekam. Kejahatan terhadap bumi yang melibatkan korporasi-korporasi besar multinasional menyeruak. Anehnya, hal itu dilakukan perusahaan yang selama ini otoritasnya bergaya ramah lingkungan. Inilah bagian dari ”emergency issue” yang menurut Robert F. Kennedy Jr dalam bukunya, Crimes Against Nature (2004), turut menciptakan krisis terbesar di planet ini.
Realitas Global Warming
Renungkanlah bahwa gelombang panas yang menghantam belahan bumi abad ke-21 ini bukan ilusi sains. Mengikuti bahasa Richard Dawkins, The Magic of Reality (2015), hal itu selaksa fakta yang menyihir dan menguji imajinasi. Planet ini didera pemanasan global. Suhu panas telah dirasakan beberapa negara Asia, Afrika, maupun Eropa (Prancis, Italia, Spanyol). Suhu mencapai 45,9 derajat Celsius sebagaimana pernah ”menyengat” Bulgaria, Portugal, Yunani, dan Makedonia Utara.
Realitas ini sehaluan dengan riset ilmuwan dunia bahwa bumi saat ini menjadi yang terpanas sejak 12.000 tahun terakhir, sebagaimana dilansir Samantha Bova dari Rutgers University di akhir Januari 2021.
Gelombang panas ini, menurut WMO (Organisasi Meteorologi Dunia), sangat konsisten dengan dampak gas rumah kaca. Sekjen PBB Antonio Guterres pun memperingatkan semua pihak agar segera mengambil langkah konkret mencegah kehancuran planet ini akibat global warming yang terus menyeruak.
Para ilmuwan UNEP memprediksi bahwa perubahan iklim merupakan masalah terbesar lingkungan 100 tahun ke depan. Sejumlah besar prakarsa internasional diorganisasi untuk mengatasinya berdasar Paris Agreement: dunia wajib mempertahankan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius.
Dampak pemanasan global sudah sangat lokal. Kekeringan sebentar lagi dialami banyak daerah. IPCC (Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim) sudah melaporkan bahwa perubahan iklim dapat mengakibatkan seluruh planet bumi mengalami banjir, penurunan hasil pertanian, maupun kenaikan permukaan air laut dari 9–88 cm. Kondisi ini sangat membahayakan nasib negara-negara kepulauan dan hasil pertanian. Tangkapan ikan para nelayan di Jawa Barat, misalnya, tidak seperti 10 tahun lalu. Kerusakan ekologis-klimatologis ini telah membawa kerugian ekonomi yang besar.
Pemanasan global bukanlah ”takdir” dari siklus iklim. Bumi sedang menggedorkan kenyataan bahwa dalam bernegara, di samping ada daulat rakyat, hadir supremasi lingkungan. Apabila pemanasan global terus tidak terkendali, akibat yang dirasakan Indonesia adalah tenggelamnya 4.000 pulau. Dan kini sudah 23 pulau yang tenggelam.
Saya ingin bertanya, berapa harga satu pulau tersebut? Apakah kita rela mengalkulasi satu pulau seharga bilangan triliun dikalikan 4.000? Fenomena ini akan terus mengembang, memuai, dan mengkristal sesuai dengan kemajuan penyikapan ekologis. Kalkulasi konsepsional yang relevan adalah apabila kita mampu mereduksi emisi dalam titik normal sebagaimana tahun 1990. Hasilnya, diprediksi selama 60 tahun ke depan, bumi mengalami puncak keseimbangan ekologis yang paling prima.
Dalam dimensi ini, pengurangan gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, CFC) adalah pilihan. Pengurangan tersebut memerlukan perubahan ”konsumsi” secara radikal. Emisi CO2, misalnya, yang harus turun 60 persen membutuhkan pengurangan bahan bakar fosil untuk transportasi, industri, maupun listrik pada tingkat global sampai setengahnya.
Ini merupakan pertarungan melawan pemanasan global dan dunia harus dapat dimobilisasi untuk bertindak. Kyoto Protocol mengharuskan negara maju menurunkan emisi 5 persen di bawah emisi 1990 secara patungan. Amerika Serikat ditargetkan mengurangi ODS (zat perusak ozon) 7 persen, Jepang 6 persen, dan Uni Eropa 8 persen.
Semua itu adalah buah dari deretan aktivitas manusia yang melanggar batas toleransi ekologis. Bumi sedang menunjukkan eksistensinya guna mengingatkan manusia agar lebih bijak dalam bertindak. Pemerintah telah diberi otoritas hukum untuk menanggulangi global warming dan kekeringan dengan segala alokasi serta distribusi anggaran. Membiarkan alih fungsi lahan dan kerusakan bentang alam adalah tindakan tidak bermoral serta mencederai jiwa terdalam UUD 1945 sebagai ”konstitusi hijau”.
Jangan Pertaruhkan Hari Depan Bersama
Kini saatnya memberikan waktu rehat sejenak kepada bumi. Inilah yang saya pahami mengapa penggerak lingkungan Amerika Serikat Gaylord Nelson mendeklarasikan Earth Day pada 1970. Dia tidak tahan melihat ”penistaan kepada bumi” dengan laku pencemaran yang menggila. Saat Gaylord Nelson terpilih sebagai senator AS tahun 1962, memuncak tekadnya untuk meyakinkan pemerintah bahwa planet bumi berada dalam bahaya. Dia melakukan konferensi pers mengumumkan gagasan Hari Bumi di Seattle pada musim gugur 1969.
Baca Juga: Dituntut Minta Maaf, Jozeph: Jawaban Saya Sama Seperti Abdul Somad
Peringatan ini mengingatkan khalayak dunia untuk melahirkan kewajiban kita kepada bumi (planetary obligation). Sebuah momentum visioner yang dalam narasi Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED) tahun 1987 sebagai proyeksi tentang Hari Depan Kita Bersama (Our Common Future).
Inilah makna terdalam Hari Bumi: publik mutlak menerima mandat menghargai alam (nature appreciation principle). Senapas dengan tema yang diusung Hari Bumi 2021, Restore Our Earth, pulihkan bumi kita ”sedasar hak asasi alamnya” (nature stewardship principle). Salam satu bumi. (*)
*) Suparto Wijoyo, Akademisi Hukum Lingkungan, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Unair & Ketua Pemuliaan Lingkungan Hidup MUI Jawa Timur
Saksikan video menarik berikut ini:
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!