[ad_1]
Jakarta, IDN Times – Dunia penerbangan di Tanah Air kembali jadi sorotan setelah pesawat Sriwijaya Air jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada Sabtu, 9 Januari 2021. Dalam catatan IDN Times sudah ada enam pesawat yang jatuh dalam delapan tahun terakhir. Hal ini jelas menjadi tanda tanya bagi dunia internasional.
Kantor berita Associated Press (AP) mencatat, Indonesia merupakan negara dengan rekam jejak penerbangan paling buruk di Benua Asia. Mengutip data dari Aviation Safety Network, Indonesia ada di peringkat delapan sebagai negara dengan tingkat kecelakaan pesawat tertinggi di dunia. Data yang direkam sejak 1945 itu, tertulis ada 104 kecelakaan dan jumlah korban lebih dari 1.300 jiwa.
AP mencatat, berdasarkan pengalaman di masa lalu penyebab tingginya kecelakaan pesawat di Indonesia dipicu buruknya kualitas pelatihan pilot, kegagalan mekanik, permasalahan dengan pengendalian lalu lintas udara (ATC), hingga buruknya pemeliharaan pesawat.
Menurut beberapa ahli, sesungguhnya ada banyak perbaikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJY 182 itu menimbulkan tanda tanya apakah benar sudah ada perbaikan dalam dunia penerbangan Indonesia?
1. Indonesia termasuk negara dengan kondisi terbang paling berbahaya di dunia
Dalam catatan AP, penyebab banyaknya pesawat jatuh di Indonesia merupakan kombinasi dari permasalahan ekonomi, geografis, dan sosial. Sementara, Bloomberg pada 2015 lalu melaporkan, Indonesia sudah melipatgandakan usahanya untuk memperbaiki rekor penerbangan. Tetapi, tantangannya sangat besar.
Indonesia diketahui kekurangan pilot dengan kemampuan mumpuni, kru darat dan personel ATC terlatih. Peralatan dan pesawat banyak yang sudah lama atau tak lagi berfungsi. Banyak dari 296 bandara di bawah standar atau memiliki landasan pacu yang terlalu pendek.
Sedangkan, daratannya yang dikelilingi 17 ribu pulau memiliki banyak gunung berapi dan aktif. Hal ini menjadikan Indonesia termasuk negara dengan kondisi terbang paling berbahaya di dunia.
Di sisi lain, permintaan yang tinggi di dunia penerbangan pasca-kejatuhan Soeharto tahun 1998, tidak diikuti dengan kehadiran regulasi. Apalagi penerbangan dengan biaya rendah sempat booming dan menjadi cara umum bagi warga bepergian lintas pulau. Meski belum didukung infrastruktur transportasi yang aman.
Amerika Serikat sempat melarang maskapai asal Indonesia untuk beroperasi ke negara itu pada periode 2007 hingga 2016, sebab masih ada beberapa faktor yang belum dipenuhi. Mulai dari kemampuan teknis, personel terlatih, hingga prosedur inspeksi. Uni Eropa juga sempat melarang maskapai dari Indonesia masuk pada periode 2007 hingga 2018.
2. Kondisi penerbangan di Indonesia diakui jadi lebih membaik
Pertanyaan selanjutnya, apakah kondisi penerbangan di Indonesia terlihat ada perbaikan? Jawabnya, iya. Menurut ahli penerbangan dan pemimpin redaksi situs AirlineRatings.com, Geoffrey Thomas, keterlibatan industri sudah semakin intens, termasuk campur tangan regulator dalam hal ini Kementerian Perhubungan.
“Pengawasan kini menjadi lebih ketat,” ungkap Thomas.
Pengawasan itu, kata dia, diwujudkan menjadi inspeksi yang lebih intens, regulasi mengenai perawatan dan prosedur yang lebih kuat, dan pemberian pelatihan pilot yang lebih baik.
Pada 2016 lalu, otoritas penerbangan Amerika Serikat (FAA) telah memberikan Indonesia kategori I. Artinya, FAA menilai Indonesia telah mematuhi standar penerbangan sipil internasional yang diatur ICAO.
3. Sriwijaya Air yang jatuh sudah berusia 26 tahun dan pernah digunakan oleh maskapai di AS
Beberapa ahli menilai terlalu dini bila sudah menyimpulkan apa penyebab pesawat Sriwijaya Airlines SJY 182 jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Tetapi, pesawat itu berangkat pada 9 Januari 2021 dari Bandara Soekarno-Hatta dalam kondisi hujan deras. Sehingga, para ahli menilai cuaca buruk dan kesalahan manusia sebagai faktor yang tak bisa diabaikan.
Bila melihat rekam jejak Sriwijaya Air, maskapai ini hanya memiliki sedikit rekam jejak kecelakaan di masa lalu. Meskipun pada 2008 lalu, salah satu armada Sriwijaya Air menewaskan satu petani lantaran pesawatnya keluar dari landasan pacu karena masalah hidrolik.
Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson Irwin Jauwena mengatakan, pesawat SJY 182 yang jatuh merupakan Boeing 737-500. Usianya sudah mencapai 26 tahun dan sebelumnya pernah digunakan oleh maskapai di Amerika Serikat.
Dalam pandangan para ahli, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut apakah pesawat Boeing 737-500 yang digunakan itu memang laik untuk terbang.
4. Proses penyelidikan jatuhnya Sriwijaya Air membutuhkan waktu berbulan-bulan
Saat ini, tim gabungan tengah fokus untuk mengangkat kotak hitam Sriwijaya Air SJY182 dari dasar laut. Para penyelam tengah berusaha menemukan rekaman data penerbangan dan rekaman suara di ruang kokpit yang terdapat di kotak hitam tersebut.
Selain itu, tim gabungan juga berusaha menemukan para penumpang yang jadi korban. Para ahli mengatakan, kecil kemungkinan masih ada penumpang yang ditemukan dalam kondisi hidup.
Menurut konsultan penerbangan, Gerry Soejatman, proses investigasi jatuhnya Sriwijaya Air membutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan bulanan. Indonesia diperkirakan akan memimpin proses investigasi, meski Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sudah menggandeng Amerika Serikat dan Singapura untuk menyelidiki penyebab jatuhnya Sriwijaya Air.
Tetapi, menurut Gerry, laporan sementara diperkirakan akan dirilis oleh KNKT dalam waktu satu bulan.
“Laporan itu akan menjadi tonggak awal analisa (jatuhnya pesawat),” ungkap Gerry.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs idntimes.com, klik link disini!