[ad_1]
JawaPos.com – Anggota Komisi VI DPR yang membidangi perindustrian, Mufti Anam, meminta Menteri Perindustrian Agus G. Kartasasmita untuk membatalkan Peraturan Menperin 3/2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Regulasi itu merugikan berbagai pelaku usaha di Jatim, mulai industri makanan-minuman termasuk yang berskala kecil dan menengah hingga pabrik gula.
Mufti menyebut sedikitnya ada tiga dampak negatif dari Permenperin 3/2021. Pertama, menyulitkan industri mamin Jatim. ”Saya dapat banyak keluhan dari industri mamin. Padahal, Jatim adalah salah satu sentra industri mamin, dengan kontribusi produksi terbesar kedua secara nasional, di kisaran 30 persen. Dampak ekonominya juga luar biasa, karena menyerap puluhan ribu pekerja,” ujar Mufti Anam dalam keterangannya kepada media, Minggu (2/4).
Permenperin 03/2021, lanjut Mufti, hanya memberi hak eksklusif kepada 11 pabrik gula untuk mengimpor bahan baku gula mentah menjadi gula rafinasi didasarkan pada izin pendirian pabrik tersebut sebelum 25 Mei 2010. Pabrik-pabrik yang diberi izin itu tidak berada di Jawa Timur, mayoritas berada di Cilegon, Cilacap, Lampung, Bekasi, dan Makassar. Padahal, sebelumnya, ada pabrik gula di Jatim yang diberi izin pengolahan gula rafinasi.
”Akhirnya industri mamin Jatim harus membeli rafinasi dari luar Jatim. Itu berarti ada tambahan biaya dan waktu, membikin industri mamin Jatim tidak efisien. Kalau tidak efisien, maka kalah bersaing dengan industri mamin di luar Jatim dan global. Kalau kalah bersaing, pabriknya bisa tutup karena produknya tidak laku. Ujung-ujungnya kasihan pekerja, bisa di-PHK,” jelasnya.
Mufti menegaskan, Permenperin 3/2021 sangat membahayakan masa depan industri mamin di Jatim. Apalagi pada masa sulit karena pandemi Covid-19 saat ini. ”Bapak Menperin seharusnya membantu meningkatkan daya saing industri mamin di Jatim, bukan malah memperlemahnya. Ini taruhannya bisa terjadi PHK. Kalau ada PHK, makin susah ekonomi kita,” ujar politisi dari daerah pemilihan Pasuruan dan Probolinggo tersebut.
Dampak negatif kedua dari Permenperin itu, sambung Mufti, adalah potensi oligopoli karena hanya memberi izin pengolahan gula rafinasi kepada segelintir pabrik. ”Oligopoli merusak persaingan usaha yang sehat. Mungkin ada yang takut berkompetisi secara sehat. Mungkin ada yang serakah ingin menguasai pasar gula industri ini hanya untuk segelintir pabrik. Ini mirip kartel yang dilegalkan pemerintah. Ujung-ujungnya membuat ekonomi tidak efisien,” ujarnya.
”Ini lho yang membuat daya saing ekonomi Indonesia kalah dibanding negara lain, ya model-model hak semi eksklusif semacam ini, di mana hanya segelintir pabrik yang punya izin impor dan olah rafinasi,” imbuh politisi PDI Perjuangan tersebut.
Dampak ketiga, papar Mufti, adalah membuat iklim investasi dipenuhi ketidakpastian hukum. Dia mengatakan, ada pabrik gula berusia lebih muda setelah 2010 yang dengan pendekatan teknologi mampu mengolah rafinasi berkualitas tinggi dan di sisi lain juga selama ini telah menyerap tebu petani untuk diolah menjadi gula kristal putih (gula konsumsi).
Baca Juga: Uji Coba Penyekatan Mudik, Nopol Non-Surabaya Raya Tak Boleh Masuk
”Ini ada sejumlah pabrik baru sudah berinvestasi dengan mesin-mesin baru, kok kemudian ada regulasi yang hanya memberi hak eksklusif pengolahan rafinasi ke segelintir pabrik. Ketidakpastian hukum semacam ini membuat investor akan kapok. Ini bertentangan dengan spirit UU Cipta Kerja,” papar Mufti.
Saksikan video menarik berikut ini:
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!