[ad_1]
JawaPos.com – Penelitian terbaru South Pole yang didanai Bank Dunia mengungkapkan, pembangunan rumah ramah lingkungan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat menghemat pengeluaran penghuninya. Proses pembangunannya pun tidak meningkatkan biaya konstruksi secara signifikan.
Studi tersebut mengatakan, penghuni rumah ramah lingkungan yang merupakan masyarakat berpenghasilan rendah dapat menghemat pengeluaran tagihan seperti listrik dan air. Direktur Jenderal Pembiayaan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Eko Heri Poerwanto menegaskan, pembangunan rumah ramah lingkungan akan didorong untuk MBR.
“Pemerintah berencana untuk membangun perumahan ramah lingkungan sebagai inti dari program rumah yang terjangkau, dan akan terus mendukung pembangunan konstruksi hijau di seluruh negeri selain Program Satu Juta Rumah,” ujarnya dalam diskusi secara virtual, Sabtu (29/5).
Dalam kesempatan yang sama, World Bank Practice Manager Zhang Ming mengatakan, pihaknya pun berharap bisa mendukung pemerintah Indonesia untuk membangun dan menyediakan rumah ramah lingkungan yang terjangkau.
“Untuk itu, bersama dengan Kementerian PUPR, dan melalui National Affordable Housing Program (Program Rumah Murah Nasional), kami mengambil langkah besar ke depan dengan berkomitmen mendukung pengembangan 2.500 rumah hijau,” tuturnya.
Menurutnya, penyediaan perumahan dengan harga terjangkau dan peningkatan efisiensi energi bangunan sangat penting untuk menjawab tantangan masyarakat di Indonesia. Serta, dalam membangun dunia yang lebih hemat sumber daya dan tahan iklim.
Ia menjabarkan, untuk membangun rumah subsidi KPR hijau seluas 36 m2 hanya membutuhkan dana tambahan sebesar Rp 80.000 hingga Rp 169.000 per m2 atau 5-7 persen untuk rumah tapak, atau Rp 218.000 – Rp 363.000 per m2 atau 3 hingga 6 persen untuk rumah susun.
Menurutnya, salah satu cara untuk memperkenalkan aspek hijau pada konstruksi perumahan berpenghasilan rendah di Indonesia adalah melalui partisipasi dalam skema sertifikasi bangunan hijau, seperti EDGE.
EDGE sendiri merupakan sertifikasi dan standar bangunan hijau global yang dikembangkan untuk negara berkembang oleh International Finance Corporation (IFC), bagian dari Grup Bank Dunia. EDGE berfokus pada pengurangan konsumsi energi dan air secara strategis dengan menawarkan sertifikasi untuk bangunan hemat energi yang memenuhi persyaratannya dan telah menyertifikasi bangunan seluas 880.000 meter persegi di negara berkembang.
Rumah MBR bersertifikat EDGE dapat memberikan manfaat nyata bagi penghuni, membantu mereka menghemat hingga Rp 820.000 untuk tagihan listrik dan Rp 95.000 untuk tagihan air setiap tahun.
Untuk mendapatkan sertifikasi EDGE, perumahan MBR perlu dirancang sedemikian rupa sehingga membantu mengurangi konsumsi air dan energi. Serta, memastikan emisi CO2 yang lebih rendah dibandingkan dengan perumahan konvensional.
Kemudian, yang lebih penting, penghematan akan keseluruhan upaya itu harus mencapai setidaknya 20 persen untuk mencapai EDGE Standard dan 40 persen untuk sertifikasi EDGE Advanced.
“Meningkatnya kesadaran terhadap perubahan iklim dan populasi yang berkembang pesat di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara berarti bahwa sekarang, kota-kota harus mempercepat inisiatif rendah karbon dan tahan iklim – seperti yang diperjuangkan oleh Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia, ”kata Kepala Penasihat Pembiayaan Iklim di South Pole Gaetan Hinojosa.
Seperti diketahui, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengambil peran untuk mempercepat serapan hunian hijau. Pada April 2021, telah diluncurkan Peta Jalan Penyelenggaraan Bangunan Gedung Hijau Nasional dan Peraturan Menteri tentang Penilaian Kerja Bangunan Gedung Hijau.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!