[ad_1]
JawaPos.com – Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang (KPK) Saut Situmorang angkat bicara terkait ditolak hingga dikabulkan sebagian judicial review Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saut mengapresiasi dikabulkannya sebagian uji materil UU 19/2019 tentang KPK oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena kini kinerja KPK dalam kegiatan penyadapan, penggeledahan hingga penyitaan tidak lagi harus meminta izin Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Hal ini karena kewenangan Dewas KPK dinilai tumpang tindih.
“Pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut, harusnya mengapresiasi putusan MK bahwa penyadapan tidak memerlukan izin Dewas,” kata Saut dalam keterangannya, Kamis (6/5).
Saut menyampaikan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sebelum direvisi menjadi UU 19/2019, dibuat karena instrumen penegak hukum lainya tidak tegas dalam upaya pemberantasan korupsi. Karena itu, muncul UU KPK yang menekankan, harus menjadi triger mechanism bagi penegak hukum lainya. “Tapi apa yang kita lihat sekarang justru terbalik, padahal indeks persepi korupsinya turun dari 40 ke 37,” ungkap Saut.
Terkait polemik status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN), sambung Saut, para pegawai KPK kini secara otomatis dikontrol pemerintah. Terlebih KPK kini berada di bawah kekuasan eksekutif. “Sejajar dengan itu maka status ASN penyidik KPK menjadi auto kontrol dari penegak hukum di luar KPK,” tukas Saut.
MK menyatakan penyidik KPK tidak perlu izin dari Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan untuk kepentingan penyidikan maupun penuntutan. Hal ini tertuang dalam putusan uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
“Mahkamah menyatakan tindakan penyadaan yang dilakukan pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawas, namun cukup dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas,” kata Hakim Konstitusi Aswanto di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/5).
Ketentuan yang mengatur penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan perlu mendapat izin dari Dewan Pengawas tercantum dalam Pasal Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47.
MK menilai, kewajiban untuk mendapatkan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, bukan saja bentuk campur tangan. Tetapi juga intervensi terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegak hukum.
“Merupakan bentuk nyata tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum, khususnya kewenangan pro justicia yang seharusnya hanya dimiliki oleh lembaga atau aparat penegak hukum,” ucap Aswanto. (*)
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!