[ad_1]
JawaPos.com – Mahkamah Konstitusi (MK) diminta untuk membuka mata sebelum memutus gugatan uji materi atau judicial review (JR) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah berlakunya revisi UU KPK itu, dinilai banyak perubahan dari komisi antirasuah.
“Sampai hari ini tidak kunjung diputus oleh 9 hakim MK, ada cukup banyak bukti konkret yang bisa membenarkan kesimpulan undang-undang KPK tersebut tidak mencerminkan apa yang disampaikan oleh Pak Joko Widodo,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam diskusi daring, Selasa (27/4).
Kurnia menyampaikan, dampak revisi UU KPK kini menjadikan pegawainya sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Terlebih KPK kini kinerjanya berada di bawah kekuasaan eksekutif, tidak lagi menjadi lembaga independen.
“ICW berpandangan undang-undang ini (UU 19/2019 tentang KPK) justru menjadi racun bagi KPK, yang bisa mengakibatkan kematian bagi pemberantasan korupsi di Indonesia,” ungkap Kurnia.
Kurnia menyebut, dampak revisi UU KPK juga mengakibatkan anjloknya indeks persepsi korupsi (IPK) secara nasional. Menurutnya, poin IPK Indonesia dari peringkat 40 turun menjadi 37 dan dari peingkat 85 turun ke peringkat 102.
“Kita kalau tidak salah hanya setara dengan negara Gambia, bahkan Timor Leste itu berada diatas kita. Inilah buah sesungguhnya dari politik hukum yang tidak jelas, yang dilakukan oleh Presiden dan juga DPR,” ungkap Kurnia.
Sebelumnya, MK memberikan alasan terkait belum juga memutus permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena sudah lebih dari satu tahun judicial review (JR) itu belum juga ada keputusan. MK beralasan, JR UU KPK hasil revisi membutuhkan persidangan yang panjang, dengan menghadirkan ahli dan saksi.
“Perkara a quo membutuhkan proses persidangan (pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan) yang panjang dengan agenda sebagaimana yang dikehendaki para Pemohon, misalnya untuk menghadirkan ahli dan/atau saksi,” kata juru bicara MK, Fajar Laksono kepada JawaPos.com, Selasa (20/4).
Baca juga: Alasan MK Belum Kunjung Putuskan Uji Materi UU KPK Hasil Revisi
Fajar menyampaikan, MK telah menggelar 12 kali persidangan sejak Desember 2019 hingga 23 September 2020. Sebagaimana tercantum dalam risalah persidangan, MK menentukan batas akhir penyerahan kesimpulan para pihak pada 1 Oktober 2020.
“Usai persidangan perkara a quo selesai, MK melakukan pembahasan dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH). Namun, belum usai pembahasan, MK sudah harus memasuki masa penanganan perselisihan hasil Pilkada mulai 23 Desember 2020,” tandas Fajar.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!