[ad_1]
Di tangan Asef Saeful Anwar, dangdut dibuat lebih realis dengan ilustrasi yang diurai melalui pengisahan yang rapi dan tertata. Lirik-lirik lagu dangdut yang kebanyakan berisi kesedihan, melalui cerita-cerita ini, dibuat menjadi lebih tragis.
—
RASANYA tidak berlebihan jika kita menyebut buku Asef Saeful Anwar ini sebagai syarah lagu dangdut. Buku ini memuat 10 cerita utama yang ditulis terpisah, namun punya satu benang merah: cerita yang berasal dari lirik lagu dangdut.
Cerita-cerita itu disusun berdasar lagu-lagu dangdut. Hal ini dijelaskan Asef dalam catatan kredit lagu (halaman 175).
Di dalam literatur keislaman, kita mengenal istilah syarah. Yakni, komentar penjelas (explanation commentary) untuk sebuah kitab ”matan”. Adapun tugas syarah adalah ”tafshil mujmal” (memerinci yang global), ”tabyin mubham” (menjelaskan yang belum jelas), ”taqyidul muthlaq” (membatasi yang masih mutlak), ”tash-hihul khoto” (mengoreksi kesalahan), ”fakkul ’ibaroh” (menyibak makna ungkapan), dan ”ta’illat” (memberikan reasoning-reasoning).
Syarah kadang juga memperluas bahasan dengan cara membahas ”ushul” (dasar-dasar) yang dipakai seorang pengarang ”matan” dalam menurunkan hukum-hukum cabang. Terkadang, pengarang syarah juga memberikan kritik terhadap beberapa cara penyajian yang ditulis pengarang ”matan”. Tidak jarang pula syarah juga terlihat menonjol dalam memberikan contoh-contoh penjelas ”amtsilah” dan ”syawahid”.
Melalui buku ini, Asef mensyarah lagu-lagu dangdut yang diputar selama dua jam dalam acara Dede Malu, dendang-dendang masa lalu, di Gendang FM, Radio Dangdut Kesayangan. Asef menghadirkan tokoh-tokoh rekaan yang seolah ”merasakan” atau yang menjadi objek dalam lagu-lagu itu.
Asef membuat tokoh-tokoh rekaan dari nama-nama penyanyi dangdut seperti Caca (Handika) dalam ”Satu Cerita Empat Lagu Nelangsa” (halaman 5), Rama (Oma Irama) dan Evi (Sukaesih) dalam ”Risalah Sekuntum Mawar Merah” (halaman 17), Iis Dahlia dalam ”Tangis Perempuan Berkumis” (halaman 33), dan Camelia Malik dalam ”Dia yang Mengaku Termiskin di Dunia” (halaman 67).
Dangdut yang Diceritakan
Melalui cerita-cerita itu, Asef membongkar lirik-lirik lagu dangdut yang selama ini hanya didengarkan dan dijogeti. Dangdut dibuat menjadi lebih realis dengan ilustrasi yang diurai melalui pengisahan yang rapi dan tertata. Lirik-lirik lagu dangdut yang kebanyakan berisi kesedihan, melalui cerita-cerita ini, dibuat menjadi lebih tragis.
Asef melakukan kerja pensyarahan dengan memerinci lirik-lirik yang masih mujmal atau bersifat terlalu luas serta menjelaskan lirik yang belum jelas. Seperti lagu ”Undangan Palsu” ciptaan Anugerah, ”Mandi Kembang” ciptaan Caca Handika dan Erike L.B., ”Gantungan Baju” ciptaan Caca Handika, serta ”Angka Satu” ciptaan Caca Handika. Empat lagu yang notabene berdiri sendiri-sendiri itu diceritakan menjadi satu cerita utuh mengenai patah hati tokoh Caca yang –meski sempat bahagia– namun kembali menemui kisah yang romantis-tragis (halaman 5–14).
Asef juga mencoba menyibak makna dengan menuliskan kembali lirik-lirik lagu itu ke dalam cerita. Hal ini persis sebagaimana para pensyarah kitab yang menukil kalimat dari ”matan” untuk kemudian diuraikan. Potongan-potongan lirik lagu dangdut itu dimasukkan ke cerita baik di awal, tengah, maupun akhir dengan diketik miring. Seperti dalam cerita berjudul ”Senandung Rembulan Malam”.
Dirimu bagaikan rembulan
di malam yang sepi
purnama bersinar menerangi hati
Dengarkanlah, itu suara Ningsih, si perempuan sendu, tengah bersenandung dalam sepi, menghibur diri menatap rembulan sebagai seorang tersayang. Dari bingkai jendela kamarnya, ia rentangkan tangannya seolah hendak meraih rembulan. Ia biarkan cahaya bulan menjalari wajahnya sambil mengulang nyanyiannya tentang gejolak di dalam dadanya, tentang debar resah dan gelisah yang semakin menjadi semenjak mengenal lelaki yang kini disamakannya dengan rembulan (halaman 92).
Asef juga melakukan ”ta’illat”, yakni memberikan reasoning-reasoning mengapa sebuah lagu diciptakan di momen tertentu. Seperti dalam cerita ”Dia yang Mengaku Termiskin di Dunia” (halaman 67).
Dangdut dan Ideologi
Andrew Weintraub, seorang profesor jurusan musik Universitas Pittsburgh, dalam bukunya, Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012), mengatakan bahwa dangdut adalah prisma yang peka dan berguna untuk memandang masyarakat Indonesia.
Dangdut adalah alternatif cara menghadapi permasalahan. Inilah mengapa tokoh Siska Kawai yang ahai dan aduhai –si penyiar radio– selalu mengulang-ulang jargon ”Sebab Setiap Masalah Ada Dangdutnya, Dangdutin Aja Masalahnya”.
Dangdut dan Euforia Seksual
Yang tak luput diceritakan dari dunia dangdut oleh Asef adalah persoalan euforia seksual yang sangat lekat dalam semesta dangdut. Hal ini dikisahkan dengan baik melalui cerita ”Siti Kelelawar” (halaman 136). Penambahan ”kelelawar” ini lantaran tokoh Siti sebagai biduan kerap melakukan pertunjukan erotis dengan menggantung di tiang panggung layaknya kelelawar.
Dalam cerita ini muncullah afinitas afektif pada Siti dari penonton yang berseru ”buka..buka..buka” berkali-kali yang akhirnya membuat Siti beraksi lebih liar dengan memamerkan kemontokan dada dan bokongnya melalui goyangan-goyangan panas. Goyangan atau joget merupakan ekspresi tubuh yang lekat dengan seksualitas. Goyangan yang berpusat pada pinggul ke bawah inilah fenomena muara euforia seksualitas.
Membaca buku ini tidak sekadar membaca syarah lagu-lagu dangdut dan melihat realitas sosial yang diwakilkan melalui lirik dan goyangan para biduan. Tetapi juga mengajak pembaca menikmati siaran radio lengkap dengan kirim-kirim salam serta iklan kosmetik dan jamu kuat.
Kehadiran buku ini adalah sebuah usaha mendekatkan kembali radio di hati masyarakat. Di mana, masyarakat menjadikan radio sebagai ajang silaturahmi hingga request lagu sebagai usaha untuk dangdutin aja masalahnya. (*)
- Judul buku: Pada Sebuah Radio Dangdut
- Penulis: Asef Saeful Anwar
- Penerbit: JBS
- Cetakan: Pertama, April 2021
- Tebal: vii + 180 halaman
- ISBN: 978-623-7904-34-2
DIMAS INDIANA SENJA
Dosen dan instruktur literasi nasional, founder Bumiayu Creative City Forum, pengasuh Komunitas Pondok Pena Purwokerto, dan pembina komunitas Rumah Penyu Cilacap
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!