Vaksin Nusantara: Sebuah Sudut Pandang

oleh
oleh

[ad_1]

BAGI sebagian orang, pandemi Covid-19 adalah berkah tersembunyi. Virus SARS-CoV-2 dan penyakit yang ditimbulkannya, Covid-19, begitu baru dan parah sehingga mendatangkan malapetaka di hampir setiap bagian masyarakat. Tapi, itu hampir tidak semenakutkan seperti ketidakpastian kapan atau apakah pandemi ini akan berakhir.

Sebagai referensi, pandemi terakhir dengan skala yang serupa adalah influenza Spanyol. Berlangsung sekitar dua tahun, 1918–1920. Sebelumnya, ada wabah Bubonic yang menghancurkan 25–60 persen populasi Benua Eropa dan berlangsung selama tujuh tahun (1346–1353). Ada peluang bahwa virus ini mungkin akan tetap ada dan menjadi bagian dari kehidupan kita di masa depan. Sama seperti virus lain yang telah dilepaskan ke dunia.

Karena itu, tidak mengherankan jika orang-orang sangat membutuhkan penyembuhan. Di saat-saat seperti ini, negara dan penduduk beralih ke anggota masyarakat yang sering kali terlupakan. Mereka adalah para ilmuwan dan peneliti yang mengabdikan hidup untuk mempelajari penyakit-penyakit tersebut. Untuk menyembuhkan yang terinfeksi dan mencegah kemunculan penyakit itu pada populasi umum.

Potensi vaksin untuk mengalahkan virus korona dengan cara membangkitkan kekebalan kawanan telah dibahas segera setelah penyakit tersebut dinyatakan sebagai pandemi. Indonesia telah menghabiskan sebagian besar pandemi dengan mengembangkan varian vaksin sendiri. Yang paling terkenal dan dibicarakan di media adalah Vaksin Merah Putih. Diproses berdasar teknologi protein rekombinan di bawah naungan Institut Biologi Molekuler Eijkman dan Bio Farma. Sekarang, vaksin ini masih dalam pengembangan praklinis dengan perkiraan ketersediaan April 2022.

Baru-baru ini, jenis vaksin baru juga jadi pembicaraan, tetapi bukan karena kemanjurannya. Namanya Vaksin Nusantara. Vaksin yang diperjuangkan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto ini menarik perhatian publik karena cara pengembang mengiklankannya sebagai satu-satunya jenis vaksin yang dapat memberikan kekebalan seumur hidup kepada penerimanya.

Nama Nusantara juga mengandung konotasi bahwa vaksin ini dikembangkan oleh para ilmuwan Indonesia. Padahal, sebenarnya dikembangkan oleh sebuah perusahaan bioteknologi yang berpusat di Irvine, California, Amerika Serikat. Lantas, apa itu Vaksin Nusantara? Bisakah kita mengklasifikasikannya sebagai vaksin berdasarkan cara kerjanya? Dan apakah itu benar-benar memberikan kekebalan seumur hidup, seperti yang diklaim promotor?

Teknologi yang ada pada Vaksin Nusantara bukan hal baru. Ia serupa teknologi yang mendasari imunoterapi pasien kanker. Saat ini, penelitian kanker telah difokuskan pada pelatihan sistem kekebalan pasien untuk mengenali sel-sel kanker dalam tubuh, lalu menyerang dan menghancurkannya. Harapannya, dokter dapat menghindari penggunaan obat-obatan dan perawatan seperti kemoterapi dan radioterapi yang menyebabkan efek samping signifikan pada pasien.

Pada imunoterapi kanker, sel-T direkayasa untuk membawa chimeric antigen receptor (CAR) khusus untuk jenis sel kanker yang akan jadi target. Sel-T yang direkayasa ini disebut sel CAR-T. Ia awalnya adalah sel darah putih yang didapatkan dari pasien dan diisolasi melalui apheresis leukosit. Sel tersebut dibiakkan di cawan petri sampai jumlahnya cukup tinggi sebelum diberikan menggunakan vektor yang mengandung konstruksi protein dari antigen khimerik yang diinginkan oleh peneliti untuk dimunculkan oleh sel-T yang direkayasa. Setelah sel CAR-T siap, mereka akan disuntikkan kembali ke pasien untuk memulai proses imunoterapi.

Imunoterapi kanker menggunakan sel CAR-T telah disetujui oleh FDA Amerika Serikat sejak 2017 untuk mengobati leukemia limfoblastik akut sel B. Sampai saat ini ada lima jenis imunoterapi kanker yang menggunakan metode tersebut.

Imunoterapi kanker juga telah diperluas untuk melihat kemungkinan merekayasa sel lain dalam sistem kekebalan untuk tujuan yang serupa. Sel dendritik (DC) yang fungsi utamanya menghadirkan antigen (bahan asing seperti potongan virus yang menyerang) ke sel-T untuk menginduksi respons imun adaptif merupakan topik hangat berikutnya dalam imunoterapi kanker. Terapi atau vaksin berbasis DC ini adalah teknologi di balik Vaksin Nusantara.

Premisnya yaitu mengisolasi DC pasien lalu memaparkannya ke spike protein SARS-CoV-2, lalu disuntikkan kembali ke pasien. Dengan begitu, DC yang direkayasa ini bisa memunculkan spike protein SARS-CoV-2 ke sel-T. Hal tersebut akan mengaktifkan sel-T, sehingga ia bisa menghancurkan spike protein SARS-CoV-2 jika suatu hari individu yang bersangkutan terkena virus tersebut.

Sekilas memang terlihat mudah. Tapi, kenyataannya ia bakal menguras uang dan tenaga. Proses isolasi DC dari tubuh, membudidayakannya, lalu merekayasanya merupakan proses yang mahal dan melelahkan. Proses tersebut harus dilakukan di fasilitas laboratorium klinis yang sesuai dengan praktik klinis yang baik (GCP), dan itu belum tersedia di Indonesia.

Proses itu juga mengandalkan reagen kultur dan molekul stimulasi yang harganya sangat mahal jika diimpor ke Indonesia. Perkiraan biaya salah satu varian terapi sel CAR-T, Yescarta, adalah sekitar USD 375 ribu sampai USD 475 ribu atau setara Rp 5,4 miliar hingga Rp 6,9 miliar. Hal tersebut tentu tidak masuk akal. Sebab, yang dibutuhkan saat ini adalah vaksin yang tersedia secara luas untuk semua orang. Mengembangkan terapi yang mahal dan eksklusif bukan pendekatan yang baik untuk mencapai imunitas kelompok. Itu justru akan menyoroti kesenjangan antara orang kaya dan miskin.

Masalah kedua selain biaya adalah data praklinis tentang vaksin ini yang masih sangat sedikit. Sampai saat ini belum ada makalah yang dipublikasikan dengan tinjauan sejawat tentang keamanan, kemanjuran, dan kesesuaian vaksin tersebut. Yang ada hanyalah klaim mantan Menteri Kesehatan Terawan bahwa ini adalah vaksin karya ilmuwan Indonesia. Ia memberikan kekekabalan seumur hidup.

Kenyataannya tidak demikian. Teknologi di balik vaksin ini dipelopori oleh perusahaan bioteknologi AS bernama Aivita Biomedical. Mereka memang telah mengembangkan terapi berbasis DC untuk aplikasi pada kanker, bukan Covid-19. Data pengajuan di ClinicalTrials.gov menunjukkan bahwa penelitian vaksin Covid-19 dengan basis isolasi DC itu masih dalam uji coba fase I. Masih terlalu dini untuk mengatakan ia aman. Masih ada uji klinis tahap II dan III yang harus dilakukan untuk menentukan manjur tidaknya serta kesesuaian untuk membantu mencegah infeksi Covid-19.

Baca Juga: Dituntut Minta Maaf, Jozeph: Jawaban Saya Sama Seperti Abdul Somad

Masalah terakhir adalah mode autologous yang diusulkan. Itu artinya, DC pasien akan diisolasi, diolah, lalu disuntikkan kembali ke pasien yang sama. Terapi itu sangat personal dan eksklusif karena hanya untuk satu orang saja. Biasanya yang bisa mendapatkan terapi ini hanya orang dengan sarana, kekayaan, dan martabat yang luar biasa. Ini berbanding terbalik dengan pendekatan alogenik yang dipakai oleh vaksin-vaksin Covid-19 lainnya. Yaitu, di mana vaksinnya bisa digunakan oleh sebanyak mungkin orang karena terapinya tidak dipersonalisasi. (*)


*) Lily Hikam, PhD in Biomedical Science, University of California, Irvine, USA

Saksikan video menarik berikut ini:

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tentang Penulis: Redaksi

Pimprus
Website media INFOMURNI merupakan website resmi yang berbadan hukum, Berisikan berbagai informasi untuk publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.