[ad_1]
Jakarta, IDN Times – Ekonomi global, termasuk Indonesia, tidak bisa berbicara banyak di 2020. Maklum, pandemik COVID-19 yang menghantam hampir seluruh dunia membuat aktivitas ekonomi semua negara mengalami kelumpuhan. Indonesia, merupakan salah satu yang juga merasakan dampak tersebut. Pemutusan hubungan kerja (PHK) dimana-mana, perusahaan gulung tikar, hingga meningkatnya kemiskinan.
Pemerintah bersama pemangku kepentingan lain telah berupaya sekuat tenaga untuk melawan wabah tersebut. Berbagai insentif dikeluarkan, mulai dari keringanan pajak, bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat miskin, hingga bantuan untuk pelaku UMKM.
Hingga awal Desember 2020, pemerintah mencatatkan realisasi anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) baru mencapai Rp483 triliun. Adapun total anggaran PEN yang dikucurkan pemerintah mencapai Rp695 triliun.
Secara rinci, realisasi dari sektor kesehatan mencapai Rp47,05 triliun (47 persen), perlindungan sosial sebesar Rp217,6 triliun dari total anggaran Rp230,21 triliun, lalu sektoral K/L dan pemda, realisasinya Rp55,68 triliun (82 persen). Lalu pembiayaan korporasi realisasinya Rp8,16 triliun atau 13 persen. Anggaran tersebut ditujukan sebagai dukungan korporasi melalui BUMN serta penjaminan modal kerja.
Selanjutnya ada dukungan untuk UMKM yang baru terealisasi sebesar Rp106,46 triliun dari pagu anggaran Rp116 triliun. Terakhir, adalah insentif usaha untuk memberikan kelonggaran pembayaran pajak bagi dunia usaha, dan saat ini realisasinya 41 persen atau Rp49,12 triliun.
Upaya penanganan COVID-19 tidak hanya dilakukan melalui insentif dari sisi pembiayaan, namun juga pemerintah akan memberikan vaksin kepada seluruh masyarakat Indonesia. Harapannya jelas, usai vaksinasi dilakukan, ekonomi perlahan-lahan bisa pulih.
Lantas, apakah kebijakan dan upaya pemerintah dalam menangani pandemik COVID-19 efektif? Mungkinkah ekonomi Indonesia pulih di 2021?
Berikut hasil wawancara IDN Times bersama mantan Menteri Keuangan sekaligus Ekonom Senior, Chatib Basri. Wawancara ini dilakukan dalam rangkaian Indonesia Millennial Report 2020 yang akan diluncurkan saat acara Indonesia Millennial Summit (IMS) 2021 mendatang.
Pak Chatib sendiri melihat ekonomi Indonesia di periode pandemik COVID-19 ini seperti apa?
Begini, kalau ekonomi terdampak itu pasti tidak terhindarkan. Jadi kita juga jangan punya ilusi bahwa mau tumbuh di dalam situasi ini. Itu hampir nggak mungkin, saya nggak melihat. Yang terjadi itu pasti terjadi penurunan pertumbuhan. Kenapa? Karena kan begini, mau nggak mau di dalam pandemi itu orang harus menerapkan berbagai protokol kesehatan. Mulai dari yang ekstrem, yang namanya complete lockdown, kayak dilakukan di beberapa negara, di mana orang tinggal di rumah kayak yang terjadi di China, di Wuhan, sampai yang misalnya relatif bebas seperti Sweden gitu.
Tetapi even di Sweden, orang pakai masker, sebagian tinggal di rumah. Jadi mau tidak mau aktivitas ekonominya nggak akan bisa beroperasi 100 persen. Mulai dari yang ekstrem dengan lockdown gak bisa, kemudian sampai dengan yang bisa bebas tapi juga orang mengurangi aktivitas, even datanya di Sweden juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonominya drop.
Jadi baik di negara yang menerapkan lockdown, ataupun yang terbuka itu kena. Kenapa? Karena esensinya aktivitas ekonomi itu kan sangat tergantung pada pasar. Pasar itu tempat orang jual beli barang dan jasa baik secara fisik kita ketemu, atau secara virtual kayak kita ngomong gini. Marketnya ada gitu.
Nah, di dalam kondisi pandemik, orang menghindarkan yang namanya physical, makanya aktivitasnya bergeser ke semua itu menjadi online. Masalahnya, tidak semua aktivitas ekonomi itu bisa di-cover dalam online. Jadi bagian yang physical, pasti drop, karena itu nggak terhindarkan.
Jadi kita bicara mengenai Indonesia, yang tadi angka-angka kamu tuh ya. Nah itu satu, saya mau bilang itu tidak terhindarkan. Sehingga isunya itu bukan soal resesi atau enggak, karena itu sesuatu yang pasti terjadi. Dan nggak ada yang salah dengan negara yang mengalami resesi, di manapun terjadi gitu. Jadi kita nggak perlu khawatir sekali dengan ‘wah ini resesi atau enggak’. Semua negara mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Yang harus dipikirkan itu adalah ketika pertumbuhan ekonominya drop, mau minus, atau mau dari positif tinggi jadi sedikit di atas not itu adalah langkah mitigasinya apa. Jadi isunya itu lebih lari ke sana kalau menurut saya gitu.
Nah, Indonesia saya setuju bahwa kelihatannya we already hit the bottom itu quart ke II itu minus 5,3 jadi quart ke III mungkin masih di teritori negatif tapi tidak sedalam triwulan II, likuiditasnya nunjukin bahwa ada pemulihan sedikit tapi masih lemah gitu. Nah di dalam kondisi ini apa yang bisa dilakukan, ini yang mulai bicara mengenai perlindungan sosial ya.
Kalau menurut saya, yang paling penting sebetulnya adalah memastikan bahwa pandeminya itu under control, pandeminya itu harus bisa dikontrol. Kemudian perlindungan sosial, kemudian juga support bisnis. Kenapa saya bilang pandeminya itu harus bisa dikontrol? Saya kasih contoh misalnya gini, selama pandeminya masih ada, itu kan kita harus menerapkan protokol kesehatan dong, gak mungkin orang gak usah pakai masker, jumlahnya gak dibatasin, ya naik lagilah, orang nanti yang meninggal bisa banyak.
Jadi suka gak suka pasti, dan di Indonesia juga dilakukan. Nah kalau protokol kesehatan dilakukan, itu implikasinya apa? Gak mungkin aktivitas ekonomi berjalan normal. Misalnya restoran, katakanlah misalnya dibuka. Restoran kalau dibuka nggak boleh 100 persen orang masuk kan. Harus ada distancing, duduknya nggak boleh nempel misalnya. Jadi mungkin meja yang tadinya isi 6, jadi isi 3. Ini kan 50 persen.
Nah sekarang bayangkan, kamu bikin restoran, biaya kamu tetap, tapi yang mengunjungi hanya boleh 50 persen. Lama-lama kan kamu nggak kuat. Kamu hanya bisa bayar biaya variabel aja, tapi fixed cost-nya sewa gedung, dan lain-lain sama kan. Listrik, terus yang kayak gitu-gitu sama, itu mau nggak mau.
Jadi mall misalnya, kalau yang mengunjungi hanya 50 persen lama-lama dia nggak kuat. Itu yang saya sebut sebagai risiko munculnya yang disebut sebagai zombie companies. Zombie companies tuh apa? Dia nggak mati tapi dia juga nggak hidup, tapi dia bisa, tetep hidup tapi dia gak ngambil untung, dia cuma bayar utangnya aja gitu. Jadi kalau di dalam kondisi kayak gitu, ekonominya tetep jalan tapi dia nggak pulih. Makanya saya bilang kalau pandeminya gak under control, itu repot.
Jadi kita memang mau nggak mau mesti menyelesaikan soal kesehatan ini. Nah, selama nunggu itu bantuan sosial harus diberikan. Kalau enggak, orang dari mana dia hidupnya kalau aktivitas ekonominya nggak jalan? Sama support seperti UKM, kreditnya, kasih peminjaman kredit. Sebenarnya yang dilakukan pemerintah itu on track, tinggal implementasi aja.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik?
Yang saya bisa bilang adalah bukan angka, tetapi direction. Jadi kalau kamu tanyanya direction, saya bisa bilang akan lebih baik dibanding triwulan II? Ya. Apakah akan tumbuh sudah kembali pulih? Jawabannya enggak. Jadi in between. Mengenai angkanya minus 2,8 persen-minus 2,9 persen nah itu nunjukin kita punya rasa humor. Apalagi dua digit di belakang koma gitu.
Saya dulu aktif di dalam modeling, tapi kemudian saya tahu itu modelist, to be use not to be trusted. Untuk dipakai bukan untuk hal yang dipercaya.
Bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal IV? Trennya biasanya meningkat di tiap tahun karena ada momen Natal dan Tahun Baru…
Saya boleh jujur kan? Saya gak bisa jawab. Tapi yang saya bilang kalau dari direction, saya bisa katakan akan lebih baik dari triwulan III. Kenapa? Karena secara technical triwulan IV tahun lalu itu pertumbuhan ekonomi kita sudah drop. Jadi kalau kamu bandingin secara statistik antara yang lama itu sudah turun, dengan yang sekarang turun juga. Kamu bandingin year on year ya pasti penurunannya nggak akan sedalam triwulan II atau III gitu.
Jadi kalau kamu nanya mengenai direction, saya percaya akan improve. Apakah itu sudah bisa di atas 0, saya gak tahu. Tapi kalau pertanyaan kamu apakah akan pulih? Saya jawab pasti enggak. Jadi in between seperti itulah.
Jadi trennya itu bentuknya saya menyebut sebagai U-shape ya begini, tetapi itu polanya kayak Nike ya. Tahu lambangnya Nike? Model ceklis, model seperti itu. Itu mungkin yang bisa terjadi.
Tapi sekali lagi, ini kan asumsinya bahwa pandeminya gak merebak lagi. Kita kan juga mengansumsikan, coba lihat statement dari semua ‘Juli sudah normal, Agustus sudah dibuka’. Semua bilang begitu. Pemerintah yang bilang Juli atau Agustus ya sudah normal, kalau saya gak salah tuh. Ternyata kan enggak, karena pandeminya gak bisa dikontrol sehingga di Jakarta muncul lagi. Nah kalau pandeminya muncul, itu bisa huruf W. Turun, sudah mau naik, turun lagi, baru naik. Itu yang saya bilang bisa terjadi kalau pandeminya gak dikontrol.
Misalnya sekarang dengan kondisi ini, tadi Anda bilang bahwa Pilkada akan dorong (pertumbuhan ekonomi), mungkin iya, tapi juga mungkin ada sebagian yang takut juga. Jadi nggak sepenuhnya bisa muncul. Saya nonton di mana ya, TV atau di media mana yang survei dilakukan, saya lupa saya nggak bisa quote sumbernya dari mana, tapi mengatakan bahwa orang juga reluctant untuk datang ke tempat penusukan misalnya.
Nah jadi kita banyak hal yang moving target, yang kita nggak bisa kontrol sepenuhnya. Tapi kalau dilihat trennya apakah kuartal IV akan lebih baik dari III, intuisi saya iya. III lebih baik dari II intuisi saya iya. Makanya saya sebut bahwa kuartal II itu sudah hit the bottom.
Nah ini trennya akan terus sampai 2021. Seberapa cepat itu tergantung. Kira-kira 2021 itu hitungannya begini, ekonomi kita kan di dalam 5 tahun terakhir itu dalam kondisi normal tumbuhnya 5 persen kan. Sekarang kalau misalnya ini role of thumb lah ya nggak sophisticated. Dengan misalnya kondisi pandemi, ekonomi kan nggak bisa beroperasi 100 persen. Paling dia 50-70 persen. Karena ada distancing, ada macam-macam.
Nah kalau normalnya itu 100 persen adalah 5 persen, kalau 50-70 persen karena ekonominya nggak bisa beroperasi penuh, itu kan berarti grows-nya ada pada kisaran 2-3 sekian kan kira-kira. Itulah kira-kira gambaran kita di tahun 2021. Makanya saya bilang kalau ekonominya belum bisa 100 persen, kita nggak mungkin bisa balik ke 5 persen.
Bicara soal 2020, sebenarnya pemerintah sudah kasih banyak insentif. Itu sebenarnya sampai sejauh ini apakah cukup?
Saya setuju, artinya gini, kita kan nggak hidup di dunia yang sempurna. Kita bukan Singapura, yang resources-nya besar sekali kita bukan US. Sehingga kalau pertanyaan kamu apakah mestinya bisa lebih tinggi? Jawaban saya iya. Tapi persoalannya adalah financing-nya dari mana kalau mau segitu? Jadi kita mesti realistis antara yang kita inginkan dengan yang kita punya gitu. Kira-kira kan ekonomi tuh adalah studi mengenai unlimited wons versus limited resources. Kita juga maunya kayak Singapur semuanya bisa di-support.
Jadi kalau kamu pertanyaannya gak cukup, ya mungkin gak cukup, tapi kan juga kita memang nggak punya resources sebanyak itu. Jadi be realistic dong. Kalau enggak kan nggak mungkin.
Jadi yang dilakukan pemerintah adalah melakukan apa yang secara maksimum bisa dilakukan di dalam kendala yang ada. Jadi itulah makanya kan nggak mungkin misalnya bantuan sosialnya tinggi sekali, coverage-nya kepada semua. Misalnya ada ide mana yang disebut sebagai UBI universal basic income, jadi orang di bawah level tertentu semuanya dapat uang. Idenya mungkin bagus, tapi resources kita gak mungkin dengan itu. Jadi saya kira memang yang dilakukan dari segi number ini ada sesuatu yang dalam kapasitas kita, kita bisa lakukan.
Kalau buat saya isunya itu adalah bagaimana yang sudah ada itu bisa efektif. Itu aja. Jadi saya nggak muluk-muluk gitu. Kalau orang tanya mau semuanya ditolong, ya semuanya mau. Even perusahaan besar juga bisa bilang ‘wah kalau perusahaan kecil aja kita gimana’. Tapi kan resources-nya limited.
Saya kasih contoh misalnya kredit itu totalnya Rp5.500 triliun kalau saya nggak salah. Kalau rata-rata bunga bank pinjaman itu sekitar, kan bervariasi, ambil 10 persen deh pinjaman. Berarti kan bunganya aja 10 persen dari 5.500 triliun.
Jadi kalau misalnya ada kebijakan bunga nggak usah ambil dulu, berarti harus disediakan 5.500 triliun dalam setahun. Padahal coba kita lihat program untuk pennya aja kan cuma 695. Kan jelas nggak mungkin dong kalau mau semua gitu. Makanya kita harus pilih.
Artinya insentif-insentif yang diberikan itu sudah tepat? Dan memang tujuannya bukan untuk mendorong ekonomi tapi untuk meredam dampak pandemik?
Betul, makanya sebetulnya yang mesti di-tone down itu ekspektasi, kadang-kadang kita suka bermasalah di dalam narasi. Jadi seolah-olah memberi kesan kita mau tumbuh. Di dalam periode ini kan kita mesti lihatnya bertahap, gak ada yang salah.
Kita itu sekarang mood-nya adalah survival. Selamat gitu. Nanti setelah selamat, aktivitasnya bisa berjalan baru kita ngomong mengenai pertumbuhan, segala macam. Itu yang nunjukin prioritas. Jadi jangan kasih signal di sini bahwa kita mau tumbuh. Orang bingung gitu.
Misalnya infrastruktur, anda mau genjot, ya orang akan bingung gimana sih orang kesehatannya belum beres kok bicara misalnya ibu kota baru. Tapi kan kemudian pemerintah bilang ibu kota baru nggak mau dibangun. Signal-signal itu bisa memberi kesan yang membingungkan, karena orang itu sekarang mood-nya adalah survival, supaya bisnisnya gak tutup, supaya gak kena penyakit. Itu dulu yang dia adressed gitu.
Ekonomi Indonesia bakal menuju depresi hingga ke krisis? Apakah potensi itu ada?
Saya itu berusaha untuk menghindari perdebatan mengenai definisi, karena persoalannya itu bukan. Anda boleh sebut apapun, yang paling penting itu adalah orang itu survive. Dia dapat makan, dia bisa survive untuk hidup keluarganya, dia bisa sehat. Kalau dia di perusahaan, sebisa mungkin dia nggak berhenti, supaya dia tetap dapat income. Itu sebenarnya isunya.
Jadi kan ini soal teknis di dalam ekonomi. Kalau dua kuartal berturut-turut tumbuhnya negatif, iya resesi. Kalau dia berkepanjangan maka dia akan menjadi depresi. Persoalan kita kan bukan itu. Masyarakat bukan ekonom teknis yang ada di universitas
Idenya ini kan sebetulnya role of thumb tahun 70-an itu yang mengatakan. Isunya tapi kan kalau dalam public policy gimana ini supaya bisa recover gitu. Dan saya lihat bentuknya yang tadi saya bilang, sudah hit the bottom.
Sekarang persoalannya adalah bisa nggak dibikin lebih cepat periodenya? Bisa nggak orang di dalam, kenapa lebih cepat periodenya? Ini kan soal napas. Anda kalau disuruh tahan napas, kalau periodenya pendek orang sanggup, tapi kalau lama-lama anda suruh tahan napas, nggak kuat anda. Jadi isunya itu, jadi karena itu kita bagaimana harus mempercepat.
Jadi rather than, bicara mengenai apakah ini definisi krisis, atau resesi atau depresi itu lebih bermanfaat mungkin. Karena itu situasinya pasti akan terjadi. Sekarang ekonomi sudah turun, pasti, negatif, pasti. Apa lagi yang mau didiskusi, didebatkan? Nggak ada gunanya juga.
Tapi bagaimana misalnya kita orang ya, saya kasih contoh saya lakuin studi dengan humanitarian data exchange mengenai perilaku, jadi saya lakukan studi kuantitatif ya, dengan visi correction model untuk lihat kira-kira itu respons orang bagaimana sih? Kan mestinya logikanya gini, anda kalau ada pandemi orang takut dong keluar. Kan anda bisa kena virus, anda mestinya tinggal di rumah. Tapi faktanya nggak begitu. Apakah orang Indonesia itu ngawur gitu? Gak takut sama virus, dia kebal virus? Itu kan pertanyaannya. Ternyata enggak juga. Jadi ada beberapa hal yang mesti saya kasih contoh.
Makanya saya bikin tulisan di Tempo dengan Kompas mengenai behavior economics. Misalnya ya, orang itu kalau dengar kasus kematian meningkat, memang dia tinggal di rumah, tapi dari perhitungan kuantitatif kita itu nggak longlasting. Kurang dari 5 hari dia keluar lagi. Jadi efek ngerinya itu cuma muncul beberapa hari, setelah itu dia keluar lagi. Apakah kita pemberani, nggak well inform? Itu pertanyaannya.
Itu ada kelompok di dalam itu, yang kelihatannya memang saya nggak tahu seberapa besar irisannya, tapi penjelasan pertama itu soal ekonomi. Ketika ekonomi situasinya memburuk, orang itu mau gak mau terpaksa harus cari kerja. Karena tabungannya gak ada. Dia gak mungkin tinggal di rumah, gak makan. Hanya mereka yang punya tabungan, datang dari keluarga kaya yang bisa tinggal di rumah. Tapi mereka yang datang dari keluarga menengah bawah, gak punya tabungan, dia harus cari kerja walaupun berisiko dia kena virus.
Karena itu saya bilang bantuan sosial seperti BLT itu jadi harus. Kalau enggak orang itu nggak bakal bisa tinggal di rumah, PSBB itu nggak mungkin bisa efektif kalau nggak dikasih yang namanya BLT, satu. Tapi pertanyaannya adalah bagaimana jelaskan ke kelompok menengah atas yang uangnya ada tetap keluar, ke Senopati, di cafenya di mana, SCBD, itu kan kok dia keluar?
Itu yang mungkin dijelaskan dengan faktor psikologi, yang namanya optimism bias. Apa itu optimism bias? Itu misalnya begini, ‘saya merasa yakin kalau saya itu orangnya hati-hati’. Itu ada kecenderungan orang kalau terhadap dirinya sendiri dia over estimated, terhadap orang lain dia under estimated. Dia tuh mikir ‘kalau orang lain nggak hati-hati, tapi kalau gue tuh hati-hati’. Itu kemudian dia lihat, ‘temen gue keluar gak apa-apa tuh, padahal dia nggak sehati-hati gue. Kalau gue yang sehat dan kemudian hati-hati pasti gue akan lebih aman’. Itu yang namanya optimism bias ya.
Ada lagi yang namanya present bias, ‘ini kalau saya tinggal di rumah saya kehilangan pekerjaan’. Itu real datang tangible, langsung. Tapi kalau saya tinggal di rumah tapi saya sehat, sehat itu gak tangible, itu abstrak. Orang itu baru realize bahwa kesehatan itu penting ketika dia sakit. Kalau enggak, siapa misalnya dalam merokok, saya dulu juga merokok. Jadi itu kalau dibilangin ‘yaah..’ gitu kan gak tangible sampai kemudian dia sakit, ‘oh iya’.
Jadi kombinasi dari perilaku itu kemudian yang membuat, nah kalau dalam kondisi itu yang jadi pertanyaan adalah, policy-nya mau diapain nih? Jadi ketimbang debat di dalam resesi, depresi, itu mungkin lebih baik kita bicara mengenai itu.
Kalau dibandingkan dengan krisis 98, dibanding saat ini gimana? Sebenarnya lebih sulit dulu atau sekarang?
Sulit sekarang sebenarnya, karena kalau 98 itu isunya ekonomi. Tapi karena waktu itu ekonomi berat, kemudian ada ketidakpercayaan kepada politik, isunya lari kepada isu politik. Tapi soalnya itu jelas. Misalnya gini, kalau 98 itu soalnya dimulai dari banking sector yang lemah. Karena kemudian ada salah respons di dalam kebijakan yang men-trigger terjadinya krisis perbankan, kemudian bergeser kepada setor riil dan macam-macam ya, itu yang terjadi.
Tapi penanganannya itu jelas. Kalau misalnya di dalam sektor keuangan, itu instrumennya anda jelas. Apa misalnya? Anda gunain kebijakan moneter, anda gunain kebijakan fiskal, anda beresin banknya, prudential, itu sesuatu yang real. Kalau pandemi kan anda nggak bisa kontrol. Makanya dari segi besarnya itu sebetulnya sekarang itu lebih berat.
Pada (krisis) 2008 itu dari segi magnitude juga lebih besar daripada 98, karena itu global. Sekarang pandemi dibanding 2008, ya lebih besar sekarang. Tapi kan persoalannya bagaimana ini memitigasinya.
Untuk 2021, vaksinasi akan ekonomi Indonesia baru bisa naik ke atas seperti kurva Nike di kuartal II?
Saya bikin tematik sederhana ya. Vaksin katakanlah jadi bulan apa? Kamu sebut deh. Desember? Ok. Berarti Januari sudah bisa disuntikin? Ini asumsi aja. Kita percaya deh bahwa itu Desember. Jadi kapan mulai suntik? Kita pakai pemerintah, Januari.
Sekarang, kita tanya dulu, berapa banyak vaksin yang mau dikasih ke orang? Gak mungkin seluruh penduduk Indonesia ya, pasti ada prioritas. Prioritasnya mungkin kepada tenaga kerja kesehatan, nakes. Mungkin orang yang rentan tuh yang punya komorbid, jadi ada diabetes, ada ginjal, jantung atau apa-apa. Mungkin kelompok usia tua, saya nggak tahu. Pokoknya yang kelompok rentan deh.
Saya pakai angka pemerintah lagi, saya kalau nggak salah Pak Airlangga Hartarto, Pak Menko itu mengatakan angkanya 25 juta. Sekarang saya pakai angkanya, coba Anda bikin hitungan. Setahun itu 365 hari. 25 juta dibagi 365 hari nih saya bikin. Itu angkanya adalah 68.493 perhari vaksin ya. Pertanyaan saya, kita sanggup gak mem-vaksin orang 68 ribu setiap hari selama 365, nggak ada liburnya, nggak ada libur Lebaran, gak ada libur Natal, setiap hari 68.493? Sanggup gak?
Sementara, ini gak ada hubungan. Kalau kita lihat dengan tes kita cuma 20 ribu sampai 30 ribu tes, memang ada soal di dalam labnya lambat. Tapi memang yang mesti kita pikirkan adalah distribusinya kita sanggup nggak 68 ribu perhari selama setahun? Kalau jawabannya sanggup, saya masih mesti bilang lagi, itu setahun baru selesai. Jadi katakanlah kita sanggup 68 ribu, itu setahun baru selesai, 365 hari dan itu gak ada liburnya. Jadi tiap hari 68 ribu orang disuntik, disuntik, disuntik setiap hari. Itu butuh waktu setahun.
Belum lagi ada yang mengatakan, saya bukan epidemologis, kalau vaksin itu harus dua kali katanya, ya kan? Kalau dua kali, kan berarti waktunya. Jadi yang saya mau bilang adalah even dengan asumsi yang paling optimis dari pemerintah yang Januari mulai disuntik, kemudian kita sanggup 68.500 vaksin, itu baru selesai akhir Desember.
Jadi kalau tadi jawab pertanyaan kamu, ekonomi pulih gak? Saya tadi bilang argumen saya, selama pandeminya belum selesai ekonominya gak bisa beroperasi 100 persen. Karena kalau baru sebagian kena vaksin, kamu kan tetap harus pakai masker, kamu tetap harus health protocol. Nah kalau health protocol dilakukan, volume-nya nggak mungkin 100 persen kan. Makanya saya bilang di tulisan saya di Kompas, kalau seperti itu, mungkin ini baru 2022.
Perkiraan 2021 sudah positif, tapi kira-kira asumsinya kapan mulai pemulihan istilahnya sudah tumbuh positif pergerakannya?
Kalau kita percaya bentuknya kayak Nike itu, dia kan naik terus, ikutin tren aja kan. Jadi kalau di kuartal IV nya sudah mulai, mungkin mudah-mudahan kuartal IV sudah mulai positif. Mudah-mudahan. Atau kalau dia masih negatif ya gak terlalu jauh di bawah 0. Kalau kuartal I, makanya saya bilang kalau soal growth sih gak terlalu. Jadi isunya itu bukan di angka gitu. Tapi isunya adalah, karena kan saya bilang 5 persen aja itu gak cukup buat kita. Ekonomi kita itu mestinya tumbuh di atas 5 persen.
Presiden juga bilang kan. Makanya mau dibikin investment mau didorong. Jadi isunya bukan soal positif, yang saya mau bilang adalah even positif pun nggak cukup sebenarnya gitu. Jadi soal kita bukan di dalam yang tadi depresi, resesi, apa gitu. Itu kan lebih kepada definisi supaya muncul di headline, itu menarik. ‘Resetion‘ gitu.
Sebenarnya apa keunggulan Indonesia dibanding negara lain di ASEAN dalam penanganan pandemik ini dan di sektor ekonominya juga?
Dua hal penjelasannya. Satu, porsi dari trade, perdagangan terhadap GDP kita itu kecil. Saya kasih contoh analogi tapi ini gak politicly correct ya. Jadi saya minta maaf kalau analoginya seperti ini. Cara terbaik untuk menghindari perceraian adalah Anda gak menikah. Itu 100 persen saya guarantee gak akan ada perceraian kalau Anda gak menikah. Jadi cara terbaik untuk terhindar dari dampak ekonomi global adalah kalau Anda gak terintegrasi.
Nah, negara yang terintegrasi sangat kuat dengan global pasti kalau globalnya kena, dia kena. Contohnya mana, Singapura, Thailand. Kenapa? Karena ekspornya, ekspor terhadap GDP-nya tinggi sekali. Indonesia, share dari export terhadap GDP itu sekitar 30 persenan. Jadi yang kena di kita dari eksternal itu hanya 30 persen. Sisanya 70 persen itu lokal.
Jadi ekonomi kita sangat tergantung kepada domestik. Itu yang menjelaskan kontraksi di kita lebih kecil dibanding Singapur. Singapur tuh tergantung ekspor. Ya kalau US kena, Cina kena, semua kena ya pasti Singapur mau nggak mau kena. Kita yang ekspor hanya 30 persen. Maka tadi saya bilang cara terbaik gak bercerai ya jangan menikah. Pasti gak ada risiko itu.
Kalau anda nggak mau kena dengan ekonomi global ya jangan ikut trade. Tapi sebaliknya nanti kalau ekonomi globalnya pulih, Singapur, Thailand itu akan cepat recover. Karena dia integrated pada global. Itu satu.
Kemudian yang kedua, negara-negara lain di Asean itu menerapkan yang namanya lockdown lebih ketat dibandingkan dengan kita. Ini kan logika sederhana aja. Kalau anda lockdown ya aktivitas ekonominya drop pasti. Kalau kita relatif lebih rileks, pasti dampaknya ke kita relatif lebih kecil.
Nanti pertanyaannya adalah–saya gak tahu saya bukan epidemologis–mana yang lebih efektif di dalam mengatasi pandemi? Apakah yang strict lockdown atau yang lebih rileks gitu. Sejauh ini dua-duanya itu nunjukin bahwa jelek juga gitu. Tapi mana yang lebih efektif? Kalau ternyata ditutup terus kemudian recover, maka mereka mungkin bisa recovery lebih cepat dibanding kita. Atau belum tentu recover juga.
Itu yang saya bilang makanya mesti dengar dari epidemologis, itu yang paling baik yang mana sih? Sekarang ada pemikiran bahwa bukan di-lockdown tetapi misalnya memperbanyak testing. Tes, lacak, kemudian isolasi. Gitu kan yang orang selalu bilang? Saya bukan epidemologis, saya cuma ulangin apa yang mereka bilang aja. Jadi hal-hal seperti itu yang kemudian menjadi sangat penting.
Pak Chatib, apa yang Anda rasakan selama pandemik ini dalam hidup Anda?
Hidup saya berubah. Saya sekarang pagi bangun ke ruangan kerja saya. Kalau dulu saya bangun ke kantor. Saya pagi tergantung harinya, saya seminggu olahraga gitu ya. Kalau olahraga, olahraga dulu kemudian saya ke ruang kerja saya. Buka komputer, ya ini kayak kita ngomong ini, Zoom. Kalau dulu kan ke kantor. Awal-awalnya itu ‘ah begini’. Tapi lama-lama itu saya comfortable gitu.
Saya lebih mikir ‘waduh kalau itu saya mesti siap-siap ke kantor, pakaiannya mesti lebih rapi’. Kalau kayak gini kan saya, coba, saya pakai gini ya cukup. Itu yang membuat kemudian permintaan saya beli baju juga nggak banyak-banyak kan. Buat apa saya pakai yang, ya kan? Saya hanya pakai misalkan batik kalau pas kita begini aja atau apa. Kalau enggak kantor kan mesti ada. Itu yang kemudian mengubah behavior saya.
Saya ngajar misalnya. Saya Senin pagi tuh ngajar, jadi saya sudah siapin. Jadi pagi saya ke ruang kerja saya, terus. Dan itu Zoom-nya bisa, kayak habis ini saya ada back to back lagi. Terus bisa panjang. Satu dari segi ini saya mulai comfortable dengan ini. Jadi kalau orang tuh kan waktu di masa PSBB transisi ngajak ketemu, saya tuh nanya ‘lewat Zoom aja ya?’. Karena itu menurut saya lebih efisien, gak perlu pergi, saya jadi enak tinggal di rumah. Mungkin saya tipe orang yang saya senang gitu, saya bisa baca, saya bisa ini kalau nanti break saya bisa olahraga gitu.
Nah itu satu, ini behavior-nya berubah sekarang. Ini sudah 7 bulan, berubah. Ini jangan-jangan yang kayak saya banyak. Nanti mungkin orang berpikir ‘ah malas ke kantor, kerja dari rumah aja’. Mungkin. Saya gak tahu.
Kalau dengan banyaknya perubahan pola kehidupan yang terjadi di masyarakat, ke depannya dampaknya ke generasi millennial Indonesia ?
Saya menyebut ini sebagai accidental transformation. Jadi transformasi kecelakaan. Digital technology tuh sudah ada. Cuma kecepatan akselerasinya itu nggak secepat terjadi sekarang. Kita sekarang kan gak punya pilihan. Kamu mau wawancara saya, kita nggak ketemu akhirnya dilakuin seperti ini.
Mau nggak mau kan setiap orang sekarang, coba deh 8 bulan lalu berapa banyak orang di Indonesia yang tahu how to operate Zoom? Atau Webex, Googlemeet, atau Tims? Sekarang hampir semua orang bisa. Belajar dengan skill kayak gitu. Itu pertama kali saya ingat di UI, mau hari pertama itu dosen sibuk, ‘gimana sih caranya Zoom?’. Kalau nanti operate powerpoint bisa, saya kebetulan karena saya dulu sebelumnya juga ngajar di luar dan kadang-kadang waktunya lagi nggak ini saya lagi di Jakarta, saya lakuin dengan Skype dulu. Tapi banyak orang itu gak terbiasa kemudian muncul skill baru.
Saya lihat terutama anak-anak milenial, mereka kan sangat cepat dengan kayak begini. Dan banyak kreatifitas yang muncul gitu. Saya kasih contoh, misalnya TikTok, semuanya sekarang mulai dari yang, Bu Menlu kalau nggak salah ya pakai gaya apa itu. Semuanya, lintas generasi bikin dan ternyata populer. Itu bisa jadi hiburan, satu.
Kemudian saya kasih contoh lagi, ada musik sekarang orang nggak bisa nonton ini, datang yang namanya acara Konser 7 Ruang atau apa. Saya suka nonton tuh. Orang main musik. Saya pernah juga diundang acara milenials, suruh ngomong mengenai ekonomi, saya nggak ngebayagin ada 4.000 orang dengarin saya. Coba, 4.000 itu kan mirip kayak kampanye.
Dulu itu saya kalau ngomong di seminar 1.000 secara fisik tuh ada, kalau ada klien apa ya ok pernah lah. 4.000 saya gak bisa bayangin. Dan orang lihat, stay, nanya apa. Itu kan satu market yang baru. Ada yang namanya JFest atau apa saya lupa namanya ya, yang dibuat. Itu penontonnya digabung, ada musik, ada macam-macam, bisa sampai 125.000, orang taruh iklan.
Jadi banyak hal yang kemudian muncul di masa pandemi ini. Bukan hanya tadi sisi yang muram, tapi juga banyak ide-ide yang muncul. Termasuk misalnya masker. Orang tahu, orang mesti pakai masker dalam periode yang panjang. Ada yang toko perusahaan branded, sudah mulai bikin maskernya. Dibikin keren, teknologinya. Jadi orang adjust gitu.
Saya nanti gak akan surprise tuh kalau terus, situasinya makin parah, APD dibikin keren, available untuk yang di mana. Ya, nanti bisa macam-macamlah saya gak tahu, pakai gaya Star Trek atau apa itu. Itu yang akan, nah millennial ini punya kemampuan di dalam kayak gitu. Dia datang dengan ide yang itu, yang macam-macam. Dia jualan makanan. Sekarang kayak anak saya tuh bikin Youtube dengan teman-temannya, online. Walaupun lucu juga, semua orang tuh jualan makanan, dan dia beli satu sama lain gitu.
Tapi itu menarik ya. Bagaimana Instagram, terutama Instagram ya, saya nggak lihat di Twitter atau Facebook mungkin, itu dipakai misalnya jual makanan. Ada dapur apalah, kemudian pesan. Itu terjadi dan kemudian saya bilang anak-anak muda itu kreativitasnya luar biasa.
Kalau harus mendeskripsikan dalam 5 kata, kondisi Indonesia selama pandemik ini gimana? Dan harapan di 2021 seperti apa?
Mendingan saya kutip apa yang dibilang oleh Albert Camus, penulis, sastrawan dari Prancis ya. Dia menulis buku menarik sekali judulnya La Peste, Sampai terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Dia bilang begini, ‘di dalam bencana, kita paham akan satu hal, bahwa di dalam diri manusia ada lebih banyak hal-hal yang perlu dikagumi ketimbang dibenci’.
Jadi justru ketika di dalam bencana itulah kita melihat bahwa manusia tuh punya hal-hal yang baik, dan itu saya bisa lihat misalnya di dalam social capital yang muncul. Ada ide, misalnya pengemudi ojol dikasih makan. Ingat yang waktu itu, gimana orang kumpulin uang untuk masker, gimana misalnya support sama-sama. Itu apa diorkestrasi oleh pemerintah? Enggak tuh. Orang kemudian mencoba, itu kan kalau kita mau lihat sesuatu yang luar biasa dan itu menyentuh gitu. Orang ngelakuin, pesan makanan, ‘makanannya buat bapak aja’. Itu coba, itu nggak terbayang.
Maka itu saya bilang, buat saya itu yang ditulis Albert Camus itu terasa betul-betul benarnya. Bahwa di dalam bencana itu banyak hal-hal dalam diri manusia, lebih banyak hal dalam diri manusia yang perlu kita kagumi ketimbang dibenci.
Harapan Anda di 2021?
Saya berharap bahwa, satu, ini bukan situasi yang mudah ya, tapi kita lakuin sama-samalah. We are on this together gitu, kita sama-sama di sini. Gak hanya pemerintah tapi semua masyarakat yang paling penting sebetulnya adalah, ini saya bilang get the pandemic under control itu harus jadi top priority.
Makanya dari segi masyarakat apa yang bisa kita lakuin? Kita ikutin deh, pakai masker, jaga jarak, cuci tangan, jaga kesehatan. Karena itu at least kontribusi yang kita bisa lakukan dan itu bisa pengaruh banyak bahwa pemulihannya bisa akan jadi lebih cepat.
Nanti sambil jalan, mudah-mudahan recovery ekonominya lebih cepat dari yang tadi kita bicarain. Saya berharap saya salah gitu, bahwa saya berharap tadi saya salah saya bilang fully normal itu di 2022. Tapi saya berharap saya salah. Jadi mudah-mudahan lebih cepat dari itu.
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs idntimes.com, klik link disini!