Didi Kempot, Musik, dan Mi di Sebelah Barat Solo Balapan

oleh

[ad_1]

Kafe itu secara tempat dekat dengan stasiun yang menjadi inspirasi lagu pengerek karier Didi Kempot. Secara konsep juga selaras dengan sisi-sisi lain kegemaran maestro campursari yang berpulang setahun lalu tersebut.

NARENDRA PRASETYA, Solo

Ning Stasiun Balapan,

Kuto Solo sing dadi kenangan.

Kowe karo aku

Naliko ngeterke lungamu…

LEWAT Stasiun Balapan, Didi Kempot berangkat menjemput karier yang melesat. Dan, kini ke Solo Balapan, stasiun kereta api di Solo, Jawa Tengah, itu pula maestro campursari tersebut ”kembali”.

Persisnya ke sebuah tempat yang berjarak sekitar 200 meter ke arah barat dari stasiun tersebut. Di sana, di DKve Warmindo, wajahnya tarpampang di berbagai sudut. Juga petikan judul lagu atau lirik karyanya, yang kemudian diberi sentuhan pelesetan khas Mataraman, di dinding.

Salah satunya, ”Layang Kangen ditulis neng koco, Wes kadung seneng direbut konco (Layang Kangen [Surat Rindu, salah satu judul lagu Didi Kempot, Red] ditulis di kaca, Sudah kadung cinta direbut teman).”

Didi Kempot memang telah berpulang 5 Mei tahun lalu. Tapi, DKve Warmindo tak hendak mengenang sang maestro yang telah mendatangkan kegembiraan bagi begitu banyak orang itu dalam kesedihan. Kafe dengan makanan andalan mi yang didirikan istri almarhum, Yan Vellia, itu bermaksud merayakan berbagai sisi yang menyenangkan tentang adik pelawak Mamiek Srimulat (almarhum) tersebut.

Musik, jalur yang dengan telaten dan konsisten dititi Didi selama puluhan tahun, tentu bagian yang penting. Pada malam pembukaan kafe tersebut Sabtu dua pekan lalu (8/5), Yan Vellia dan Seika Zanithaqisya Prasetya, anak kedua pasangan tersebut, turut menembangkan lagu-lagu karya almarhum.

Mi juga bagian tak kalah penting. ”Mi itu salah satu makanan favorit Mas Didi,” ungkap Yan Vellia yang ditemui Jawa Pos sebelum acara pembukaan kafe tersebut.

Sang suami, kenang perempuan 39 tahun tersebut, sebenarnya jauh lebih jago ketimbang dirinya untuk urusan memasak. ”Kalau saya masak, beliau nggak doyan. Hanya mi satu-satunya masakan saya yang lolos,” kenangnya, lalu tersenyum.

Mi instan juga seolah merepresentasikan Didi dan campursarinya (atau sebagian kalangan lebih sreg menyebutnya pop Jawa). Sebagaimana mi instan yang bisa menembus berbagai strata, begitu pula Didi.

Dari warga di pinggir rel sampai para penghuni istana, dari kalangan sepuh sampai generasi Z, dari mereka yang berbahasa ibu bahasa Jawa sampai yang tak paham dengan bahasa tersebut, semua takluk di hadapan lagu-lagu Didi. The Godfather of Broken Heart adalah julukan yang menjadi salah satu konsekuensi ketenaran itu.

Hanya Didi yang bisa membuat patah hati jadi enak untuk dijogeti. Ambyar. Lagu-lagu Didi juga menjadi eskapisme untuk banyak kesumpekan: dari yang tidak punya pasangan sampai yang tidak punya beras.

Tempat dekat dengan Stasiun Balapan itu ditemukan Yan secara tak sengaja. Dia bercerita, awalnya dirinya ditawari salah seorang temannya sebuah bangunan.

Dia butuh waktu 1,5 bulan sebelum akhirnya mengiyakan tawaran tersebut. ”Setelah saya pikir-pikir, kebetulan tempatnya kok dekat Stasiun Balapan, sebuah landmark yang punya histori spesial bagi Mas Didi. Jadi, ya kenapa tidak,” tuturnya.

Apalagi, di sisi lain, hantaman pandemi membuat dirinya yang bergerak di dunia seni sangat terpukul. ”Bisa dibilang iya faktor ekonomi. Daripada nganggur, kenapa enggak (menyibukkan diri dengan bisnis kafe),” kata Yan.

Konsep Warmindo yang identik dengan pengunjung dari kaum milenial pun masuk bayangannya ketika merancang kafe tersebut. Terutama milenial yang berada di Surakarta dan sekitarnya, entah mahasiswa maupun pekerja, yang memerlukan tempat nyaman untuk mengerjakan tugas dari kampus atau kantor. Kebetulan dulu Didi juga kerap mengajaknya nongkrong di tempat-tempat seperti itu: tempat makan yang dilengkapi live music.

Jadi, klop sudah. Tempatnya dekat dengan inspirasi lagu yang melambungkan sang suami. Konsepnya juga selaras dengan kegemaran putra seniman Ranto Gudel tersebut.

”Lagu-lagu karya Mas Didi yang diperdengarkan bisa dari rekaman lagu ataupun dari panggung live music yang diisi sesama seniman musik dari Surakarta dan sekitarnya,” katanya.

Baca Juga: Sepuluh Tahun Menikah, Istri Akui Dua Anaknya dari Pria Lain

Kalau dulu, seperti ditembangkannya di Stasiun Balapan, Didi mengantarkan sosok terkasih untuk berangkat, kini di kafe yang hanya berjarak 200 meter di sana, spirit dan kisah Didi yang akan ”dijemput” untuk selamanya dikenang. Dengan cara-cara yang paling menggembirakan sang maestro: Solo Balapan, musik, dan mi.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *