Gerindra Tolak Pasal Pidana Menghina Presiden di Draf RKUHP

oleh

[ad_1]

JawaPos.com – Munculnya kembali pasal penghinaan presiden dan wakil presiden mendapat respons beragam. Sejumlah fraksi di DPR memberikan pandangan berbeda terhadap pasal kontroversial dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) itu.

Anggota Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman kali pertama menyinggung pasal penghinaan presiden. Dia tegas tidak setuju dengan penerapan pidana dalam pasal 218 ayat 1 RKUHP itu. Dia berharap munculnya pasal yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi tersebut dipertimbangkan lagi.

Habiburokhman bahkan mengusulkan bahwa alih-alih pidana, persoalan penghinaan presiden dan wakil presiden dialihkan ke ranah perdata saja.

”Kalau saya ditanya, sebaiknya ini dialihkan ke perdata saja. Jadi, penyelesaiannya tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang merupakan rumpun eksekutif,” jelas wakil ketua umum Partai Gerindra itu dalam rapat bersama menteri hukum dan HAM kemarin (9/6).

Alasannya, kata dia, jika masih masuk delik pidana, tuduhan bahwa pasal itu digunakan untuk melawan orang-orang yang berseberangan dengan kekuasaan akan terus timbul. Tidak peduli seobjektif apa pun proses peradilannya. Apalagi, pasal tersebut juga menimbulkan kekhawatiran di masyarakat lantaran semakin tinggi kemungkinan adanya kriminalisasi.

Anggota Fraksi Partai Demokrat Benny K. Harman menyatakan, ada alasan khusus mengapa dirinya sebagai ketua panja RKUHP setuju jika pasal penghinaan presiden dan wakil presiden kembali dimunculkan. Benny menyatakan bahwa pasal itu dulu pernah dibahas dan sempat mencapai titik buntu setelah debat yang panjang.

Dalam KUHP, Benny menjelaskan bahwa definisi penghinaannya masih tidak jelas sehingga penerapannya bermasalah. ”Dalam KUHP yang lama juga tidak jelas, akibatnya suka-suka. Kalau penguasa tidak suka, wah ini penghinaan, tangkap,” paparnya.

Pasal itu, lanjut Benny, sebelumnya sempat dihapus. Tetapi, kemudian muncul lagi dalam pembahasan RKUHP dan dirinya setuju. ”Saya setuju, tapi sebetulnya bukan karena hukumnya. Saya kasihan Bapak Jokowi dikuyo-kuyo di medsos. Oleh sebab itu, saya mendukung,” lanjut Benny.

Anggota dari Fraksi PPP Arsul Sani menjelaskan bahwa pasal penghinaan kepala negara dalam KUHP sebenarnya wajar dan telah dipakai di berbagai negara. Namun, pemerintah dan DPR harus berupaya agar pasal tersebut tidak menabrak putusan MK. Dalam hal ini, bisa dilakukan tiga hal.

”Sifat deliknya diubah dari biasa menjadi delik aduan. Kedua, diberi pengecualian pada ayat berikutnya yang bukan penyerangan itu apa. Ketiga, harus di bawah lima tahun supaya Polri tidak langsung menangkap,” usulnya.

Menkum HAM Yasonna Laoly menegaskan bahwa pertimbangan pasal itu dimunculkan lagi bukan karena kepemimpinan Presiden Joko Widodo saja.

”Beliau mengatakan kepada saya, saya nggak ada masalah dengan ini. Tapi, apakah kita biarkan presiden yang akan datang begitu? Artinya, itu pun tidak kita biarkan. Menghina seorang Wapres juga, jangan hanya presidennya, satu paketkan,” tegas Yasonna.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.