Indah Arsyad Melaju di Kancah Seni Rupa Kontemporer

oleh
kontemporer

[ad_1]

Suara napas yang terengah-engah, latar belakang hitam, dengan drawing charcoal berupa telapak tangan, gerakan fitoplankton, binatang-binatang yang melintasi layar video imersif, disertai lantunan suara sinden.

SEMUA itu adalah bagian dari karya The Breath, instalasi imersif video digital mikroskop fenomenal terbaru Indah Arsyad. Seorang arsitek lanskap cum insinyur teknologi lingkungan yang reputasinya sebagai perupa kontemporer andalan semakin mantap.

Indah Arsyad merupakan satu di antara sepuluh perempuan perupa (1) berusia di atas 50 tahun yang kekaryaannya akan diangkat dalam pameran Infusions into Contemporary Art oleh Yayasan Cemara Enam yang rencananya dibuka 10 April mendatang. Sepuluh perempuan perupa ini sejak puluhan tahun aktif berkarya dengan visi, makna pikiran, dan imajinasi yang sesuai dengan semangat zaman untuk kehidupan dan kemanusiaan yang lebih baik.

Karya The Breath (2021) lahir akibat berbagai kejadian dalam negeri maupun luar negeri yang meresahkan. Indah menyebut kejadian social movement di Amerika Serikat yang dipicu kematian George Floyd, seorang warga kulit hitam yang diinjak lehernya oleh polisi sampai meninggal. Kata-kata George Floyd ”I can’t breathe” tak terlupakan. Kemudian Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia. Wabah ini juga menyerang pernapasan. Maka, jadilah The Breath karya fenomenal Indah Arsyad yang mempertemukan seni, sains, perubahan cuaca, dan mitologi Jawa.

Mood dengan latar belakang gelap dan charcoal drawing berupa telapak tangan, memaknai suasana dunia yang mencekam seputar isu kekerasan, kekurangan oksigen, pencemaran lautan, dan fitoplankton bahan dasar oksigen. Namun, situasi muram ternyata dapat terhibur melalui simbol mitologi Jawa seperti Batara Surya, pohon kalpataru, dan banyak elemen serupa yang ikut dihadirkan. Konon, dalam mitologi Jawa, Batara Surya dan pohon kalpataru mempunyai arti alam semesta dan sumber kehidupan. Atau ekuivalen oksigen. Di tengah napas yang terengah-engah, Batara Surya secara inovatif dihadirkan melalui animasi berbagai binatang yang beterbangan melintasi layar video. Sehingga melambangkan kehidupan dan pengharapan yang diberi aksen oleh alunan sinden.

Persiapan The Breath cukup serius dan mendalam. Indah melakukan riset tentang fitoplankton yang hidup di lautan. Dia juga produsen oksigen 70–80 persen bumi. Indah bekerja sama dengan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Pusat Penelitian Indonesia dan berdialog dengan nelayan. Indah juga pergi ke beberapa titik lautan Indonesia yang ada blooming algae/fitoplankton akibat pencemaran air laut dari pembuangan limbah industri maupun limbah rumah tangga. Tepatnya di pesisir pantai teluk Jakarta dan pesisir pantai Cirebon.

Berbeda dengan sebagian masyarakat seni yang merasa masa pandemi Covid-19 sebagai masa yang sangat menantang, dan tidak sedikit yang merasa hampir putus asa, Indah justru merasa kreativitasnya terasah.

Sebagai seorang arsitek lanskap dan insinyur teknologi lingkungan reputasi Indah sebagai perupa kontemporer justru semakin kukuh. Indah menonjol sebagai perupa seni visual dan 3D yang semakin menuju ke puncak kompetensi secara konsep dan material.

Karya-karya yang semula sederhana dan berhubungan dengan identitas dirinya kemudian berkembang memasuki ranah dunia luas yang menggabungkan seni rupa, teknologi, sains, dan budaya.

Kemudian, dengan visi dan inspirasi melebar, begitu pun kedalaman konsep dan pemahaman visual yang didukung pemahaman ruang, Indah menghadirkan karya instalasinya Racing Minds pada pameran Second Opinion di Bentara Budaya Jakarta (2010). Instalasi tersebut terdiri atas 21 ban mobil yang terbuat dari resin putih dan sayap yang terbuat dari bulu angsa putih. Materialnya cukup sederhana. Tapi, di tangan Indah, karya itu memberikan suatu visual futuristis, seperti bayangan wahana yang diterbangkan ke angkasa.

Berikutnya, ia membuat karya mengenai perempuan-perempuan penghibur di masa pendudukan Jepang di Indonesia. Untuk partisipasinya pada pameran Kitab Visual Ianfu di Galeri Museum Cemara Enam (2016), ia mencetuskan instalasi berjudul Amaterasu berupa sebuah chandelier yang terdiri atas 1.000 buah kondom yang seakan berformat Monsho, simbol kekaisaran Jepang berupa 16 kelopak bunga krisan berwarna kuning. Tetesan darah berupa kondom yang terlepas dan jatuh ke bawah secara dramatis berkesan tetesan darah.

Karya Indah selanjutnya berjudul Butterfly/Kupu-Kupu (2019). Karya ini dipajang di Galeri Nasional sebagai bagian tersendiri dari pameran Sengkarut Identitas (2019). Karya gigantik tersebut berdasar pengamatan sosial budaya di sekitar yang meresahkan di lingkungan urban: anak-anak yang berbahasa campuran, kebiasaan-kebiasaan ”modern” yang berlapis-lapis, sehingga menutupi jati diri seseorang dan ”melahirkan” identitas baru. Mirip metamorfosis yang terjadi pada kupu-kupu.

Baca juga: Kemanusiaan dan Spiritualitas Basoeki Abdullah

Karya yang lebarnya 8 meter dan tingginya 3,5 meter itu menyajikan lima figur hasil fotografi di atas akrilik yang dilengkapi grafiran simbol-simbol mitologi Jawa kuno, lalu disorot ke dinding memakai teknik proyeksi, lampu LED, dan flashlight. Hal itu lantas menghasilkan efek yang mengubah figur-figur menjadi wayang di atas panggung raksasa.

Walaupun karya The Breath tercatat sebagai karya terkini, tentu masih segudang ide yang akan direalisasikan kelak. Kita tunggu tanggal mainnya! (*)

(1) Catatan perupa lainnya dalam pameran Infusions into Contemporary Art: Arahmaiani, Bibiana Lee, Dolorosa Sinaga, Dyan Anggraini, Melati Suryodarmo, Mella Jaarsma, Nunung W.A., Sri Astari Rasjid, Titarubi.


CARLA BIENPOEN, Penulis/kurator seni rupa kontemporer

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.