Industri Kelapa Sawit Bisa Untung Besar jika Mitigasi Perubahan Iklim

oleh
kelapa sawit

[ad_1]

JawaPos.com – Industri kelapa sawit Indonesia berpeluang mendapat penambahan nilai hingga USD 9 miliar atau sekitar Rp 130 triliun apabila proaktif melakukan mitigasi perubahan iklim global. Upaya ini dapat dicapai jika sektor perbankan dan investor, pemerintah pusat dan daerah, perusahaan dan organisasi kemasyarakatan merespons dengan sigap.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan Dedi Junaedi mengatakan, upaya pemerintah dalam melakukan transisi untuk meminimalisir risiko iklim dijalankan melalui berbagai kebijakan seperti moratorium sawit, perluasan penerapan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

Menurutnya, banyak regulasi yang telah dikeluarkan pemerintah, termasuk saat ini terdapat Rencana Aksi Nasional (RAN) sawit berkelanjutan dengan melibatkan 14 kementerian/lembaga pusat, 26 gubernur dan bupati daerah sentra sawit, dan kami juga membentuk forum multipihak.

“Pada akhirnya, kolaborasi para pemangku kepentingan di industri kelapa sawit Indonesia ini perlu dititikberatkan dalam memahami transisi iklim. Analisis Orbitas menyatakan, industri kelapa sawit akan memasuki era baru sebagai akibat dari perubahan iklim,” ujarnya dalam keterangannya, Sabtu (28/8).

Sementara CEO of Climate Advisers UK and the Managing Director of Orbitas Mark Kenber mengungkapkan, hal itu dapat dilakukan dengan strategi memanfaatkan permintaan minyak sawit yang terus tumbuh, sembari mengurangi emisi gas rumah kaca, serta melindungi hutan dan lahan gambut.

Menurutnya, terdapat beberapa risiko yang mungkin akan dihadapi perusahaan sawit akibat transisi iklim. “Perubahan kebijakan dan hukum, inovasi dan teknologi, serta perubahan pasar akan terjadi sebagai respons atas transisi iklim. Seluruh sektor yang terkoneksi dalam perdagangan global akan terdampak termasuk kelapa sawit,” tuturnya.

Walaupun peluangnya cukup besar, dia memaparkan, risiko yang ditimbulkan jika bisnis sawit tidak dikelola secara berkelanjutan justru lebih besar. “76 persen lahan konsesi yang belum ditanami dan 15 persen konsesi yang sudah ditanami berisiko menjadi aset terdampar (stranded assets),” ungkapnya.

Ia mengatakan, kemampuan produsen sawit untuk mengelola risiko ditentukan oleh kemampuan menghasilkan panen, kemampuan adaptasi pada perubahan, akses modal, dan efisiensi operasional.

Meski demikian, Mark menjelaskan terdapat peluang yang dapat dimanfaatkan perusahaan sawit di Indonesia. Hal tersebut dapat diperoleh dengan melakukan konservasi dan restorasi hutan secara masif, intensifiasi produktifitas lahan, dan menerapkan bio-methan capture dalam produksi CPO sebagai substitusi penggunaan bahan bakar fosil di sektor industri hingga transportasi.

Sementara, Managing Director, Sustainability and Strategic Stakeholder Engagement, Sinar Mas Agribusiness & Food Agus Purnomo menyebutkan, bahwa selama ini perusahaan telah berupaya menerapkan sawit berkelanjutan dengan beradaptasi pada tantangan perubahan iklim.

Menurutnya, terdapat empat strategi yang dilakukan untuk menghadapi dampak transisi iklim, diantaranya, menggunakan bibit unggul (high-yielding seeds) untuk mengatasi penurunan produktivitas, memperbaiki kawasan di sekitar sungai dan mencegah terjadinya kekeringan dan banjir, menerapkan teknologi water footprint yakni vertigasi melalui pipa-pipa yang meneteskan air di daerah kering, dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Agus juga menyebut pihaknya selama ini telah melibatkan 87 ribu petani swadaya masuk ke dalam rantai pasok dan melakukan berbagai upaya mendukung produktivitas mereka.

Sedangkan, VP Corporate Banking 6 Bank Mandiri, Nurulloh Priyo Sembodo menyebutkan sektor agrikultur, khususnya kelapa sawit, selama ini menjadi tulang punggung perekonomian karena sektor ini yang memiliki kecepatan recovery speed atau kecepatan pemulihan yang baik di masa pandemi Covid-19.

Adapun dari sisi pendanaan, inklusivitas dan akses pembiayaan diperlukan untuk mendukung praktik industri sawit berkelanjutan. Untuk hal tersebut, Nurulloh menekankan 3 pilar strategi pengelolaan keuangan yang berkelanjutan.

“Dari Mandiri sendiri kami mengedepankan dari sisi sustainable banking untuk mengelola portofolio perusahaan yang berkelanjutan, serta mengembangkan produk dan financial service contohnya sustainable bond yang sudah kami terbitkan pada Maret tahun ini. Dari sisi operasi bisnis kami juga memantau penerapan ecofriendly operation,” ungkapnya.

Ia menambahkan, Bank Mandiri selama ini berupaya membantu petani swadaya menjalankan inisiatif wirausaha mandiri untuk mendorong produktivitas. Bank Mandiri juga memberikan akses permodalan berupa kredit usaha rakyat (KUR) dan kredit plasma terhadap petani sawit.

“Di sektor sawit, kami membentuk acceptance criteria yang merupakan prasayarat apakah kami bisa membiayai bisnis sawit. Di dalamnya terdapat aspek berkelanjutan,” pungkasnya.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.