Pendidikan di Zaman yang Tidak Menentu

oleh

[ad_1]

Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini masih berada di bawah bayang-bayang pandemi. Sekolah-sekolah masih kosong dari riuh peserta didik. Kampus-kampus pun masih menerapkan sistem pembelajaran jarak jauh. Lebih dari satu tahun lamanya masyarakat menyesuaikan dengan sistem pendidikan nasional di hadapan deraan wabah.

TATANAN hidup saat ini memang berubah secara drastis, tidak terkecuali dengan pendidikan. Bukan semata-mata medium belajar-mengajar beralih wahana, lebih substansial lagi, makna pendidikan juga berubah karena wabah. Bagaimana tidak? Wabah ini merombak pilar-pilar kelaziman, bahkan masyarakat harus membiasakan diri dengan keterasingan ini. Hilangnya interaksi langsung, aktivitas pembelajaran yang begitu dinamis kini direduksi menjadi pertemuan daring yang kaku dan berjarak. Kelelahan tubuh dan mental karena harus terus memandang layar, tanpa kehadiran yang aktual. Sebagai seorang pengajar ilmu filsafat, saya menyadari bahwa nyawa dari pembelajaran filsafat adalah diskusi. Ada yang berbeda dari cara berdiskusi daring. Tidak ada ekspresi, cetusan, ataupun debat yang spontan. Segalanya tergantung kelancaran sambungan internet.

Melampaui keterbatasan ini, pembelajaran terus diselenggarakan. Saya kontemplasikan, apakah urgensi untuk melakukan rutinitas pembelajaran dalam kekelaman keadaan yang serba-tidak tentu ini? Terlintas di pikiran saya salah satu karya penting tentang pendidikan oleh seorang filsuf Spanyol bernama Jose Ortega y Gasset (1883–1955). Karya Ortega yang berjudul Mission of the University dipublikasikan pada 1930, memuat kritik tentang kondisi universitas di Spanyol kala itu. Meski demikian, saya mencermati relevansinya dengan kondisi krisis saat ini. Untuk Ortega, krisis mendorong terjadinya reformasi, begitu juga di ranah pendidikan. Ia mengusulkan terobosan penting tentang pendidikan tinggi. Ia berbicara mengenai keterhubungan antarilmu. Ia mempersoalkan keilmuan yang fragmentaris, yakni terpilahnya keilmuan menjadi bidang-bidang yang terpisah. Hal ini menurutnya menjadi problem besar dalam pendidikan tinggi.

Sebagai contoh, kegagapan ketika menghadapi wabah menunjukkan kelemahan dalam mencermati permasalahan secara utuh dan menyeluruh dari berbagai lini keilmuan. Pertentangan antara tujuan kesehatan dan ekonomi pada masa pandemi, misalnya, jelas adalah kesesatan dalam memahami persoalan. Wabah dalam skala global semacam ini mengharuskan kita untuk melihat persoalan dalam kerangka keilmuan yang transdisipliner. Artinya, harus ada kejelian untuk melihat irisan-irisan dalam lintas disiplin keilmuan seperti ilmu kesehatan, ilmu sosial dan ekonomi, hingga ilmu budaya. Metode transdisipliner mengintegrasikan berbagai ragam pendekatan keilmuan dengan tujuan untuk memecahkan permasalahan riil.

Kembali pada pemikiran Ortega, ia menolak segregasi antara sains teknologi dan ilmu sosial humaniora. Lebih utamanya ia mengkritik kemunculan spesialis-spesialis yang lalai melihat gambaran besar dari suatu problem. Ortega juga mengomentari posisi universitas yang menurutnya harus menjejakkan dirinya di tengah-tengah masyarakat. Ia menolak posisi universitas yang elitis dan jauh dari masyarakat. Apabila dikaitkan dengan peran universitas semasa pandemi, betapa fundamentalnya kampus-kampus beserta segenap ilmuwan dan periset untuk mengupayakan inovasi dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam ”Notes on an Education for the Future”, Ortega membicarakan perkara pendidikan yang acap kali statis dan terlampau terjebak dalam masa lalu. Tugas utama pendidikan adalah membantu seseorang mempersiapkan diri menuju masa depannya. Hal ini tidak saja menyangkut tujuan praktis untuk kerja atau soal mematangkan profesi, tetapi melebihi itu, berkaitan pula dengan kemanusiaannya. Imajinasi tentang masa depan suatu masyarakat bertumpu pada pikiran serta semangat generasi muda. Lantas, seperti apakah imaji pendidikan untuk masa depan?

Roem Topatimasang, seorang pengkaji ilmu pendidikan, menyampaikan gagasan yang menarik tentang sekolah di masa depan. Ia mengandaikan bahwa sekolah-sekolah di masa depan tidak lagi tercerabut dari lingkungan hidup. Pendidikan pada masa modern terlampau abai terhadap etika lingkungan hidup. Padahal, masa depan manusia sedang berada dalam kesimpangsiuran karena krisis iklim dengan berbagai kebencanaannya. Pendidikan di masa depan adalah tantangan untuk memulihkan kembali keselarasan antara manusia dan lingkungan hidupnya menggunakan seluruh daya ilmu pengetahuan dan teknologi.

Luciano Floridi, seorang ahli etika informasi dari Universitas Oxford, mengatakan bahwa sejatinya masyarakat sekarang sedang hidup di infosphere. Ruang yang berisi segala entitas informasional yang menyangkut properti, interaksi, proses, dan sebagainya. Ruang ini adalah hasil dari berkembangnya ICT (informasi, komunikasi, dan teknologi). E-learning (pembelajaran elektronik) mulai berkembang di Indonesia semenjak tahun 2000-an, kemudian karena pandemi baru terjadi peralihan massal ke wujud ruang belajar virtual. Pendidikan masa depan harus mampu mendorong individu menjadi kritis dalam mengantisipasi keberlimpahan informasi. Becermin pada masyarakat dewasa ini, betapa rentannya orang-orang terhadap disinformasi dan hoaks. Sehingga pembelajaran bukan saja soal kepiawaian menggunakan perkakas digital, tetapi lebih mendasar, mampu mempertanggungjawabkan aktivitas serta informasi yang dipertukarkan.

Alangkah peliknya formulasi pendidikan untuk masa depan, dibenturkan dengan samarnya era disrupsi. Belum lagi krisis lingkungan serta wabah. Pendidikan dalam konteks ini tidak cukup tentang transmisi pengetahuan, tetapi juga seni resiliensi dan adaptasi untuk bertahan hidup. (*)


*) SARAS DEWI, Dosen Filsafat UI

 

Saksikan video menarik berikut ini:

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.