Sempat Terpikir, kalau Separah Ini dan Berlanjut, Apa Saya Kuat

oleh

[ad_1]

Di Luar Indonesia ketika Gelombang Kedua Covid-19 Menghantam (1)

Tidak semua penjuru India seseram gambaran tentang mayat-mayat bergeletakan atau dihanyutkan di sungai. WNI yang di Mumbai maupun New Delhi menangkap kesan keseriusan pemerintah setempat memerangi gelombang kedua pandemi Covid-19.

TAUFIQURRAHMAN-DINDA JUWITA, Jakarta, Jawa Pos

INDIA hari-hari ini diidentikkan dengan gambar dan video seram. Tentang mayat-mayat yang dibiarkan menggeletak di halaman rumah sakit, misalnya.

Atau, jenazah-jenazah yang sengaja dihanyutkan di Sungai Gangga.

Tapi, Ahmad Mujtaba meluruskan bahwa tidak semua penjuru India seseram itu. Di Mumbai tempatnya tinggal dan menempuh studi selama dua tahun terakhir, misalnya, semua korban meninggal akibat gelombang kedua pandemi Covid-19 tertangani dengan baik di berbagai rumah sakit.

”Pusat-pusat kremasi itu tidak ada di sini,” katanya ketika dihubungi Jawa Pos melalui WhatsApp dari Jakarta pekan lalu.

Padahal, Mumbai adalah kota tempat awal berkecamuknya gelombang kedua Covid-19 di India. Toh, warga kota yang menjadi pusat bisnis, industri, gaya hidup, dan dunia hiburan Bollywood ini, setidaknya sampai ketika Jawa Pos mengontak Mujtaba, masih cukup bebas beraktivitas.

Pemerintah setempat menerapkan karantina wilayah. Senin sampai Jumat warga boleh keluar rumah untuk berbelanja sembako dan kebutuhan mendesak lain. Waktunya dibatasi mulai pukul 09.00 hingga 11.00. ”Sementara Sabtu-Minggu lockdown total, kecuali sektor esensial,” ujar pria yang tengah memasuki tahap akhir studi di Magister of Social Work Mumbai University tersebut.

Warga juga masih bisa hilir mudik. Namun, hanya dalam satu distrik. Tidak boleh menyeberang ke distrik lain.

Tapi, bukan berarti gelombang kematian yang menyesaki ruang-ruang kremasi tersebut tidak ada. Rata-rata kematian massal itu terjadi di ibu kota New Delhi. Bahkan, soal mayat-mayat yang dibiarkan begitu saja di lembah Sungai Gangga itu pun benar adanya.

Baca juga: Disiplin Jalankan 3M Kunci Hindari Gelombang Kedua Covid-19

Banyak keluarga miskin yang tidak mampu membiayai pemakaman. ”Seperti kremasi, itu biayanya sekitar 5.000 rupee atau kalau disekitar Rp 1 juta. Sehingga mereka memilih dibiarkan saja di Sungai Gangga,” tutur pria 25 tahun asal Sumenep, Madura, tersebut.

Pemerintah India juga melakukan perlawanan besar-besaran dengan membangun jumbo isolation center berkapasitas ribuan tempat tidur serta pusat-pusat penyimpanan oksigen yang bisa menyuplai ribuan liter ke rumah-rumah sakit yang membutuhkan. Terutama di Negara Bagian Maharashtra yang memiliki dua kota dengan kasus terbanyak: Mumbai dan Delhi.

KJRI juga kerap menelepon satu per satu WNI di Mumbai. Menanyakan kabar mereka. ”Kami juga dikirimi bantuan logistik berupa sembako beberapa kali,” katanya.

Meski demikian, Mujtaba masih ketir-ketir mengenai penerbangan. Agustus nanti dia berencana balik ke tanah air.

Namun, dengan kondisi serba-tidak menentu dan repatriasi yang superketat di mana-mana, Agus berpikir bahwa prosesnya tidak bakal mudah. ”Sudah banyak teman yang tertunda kepulangannya. Apalagi kalau terdeteksi positif, tiket belum tentu dikembalikan,” tuturnya.

Mohammad Agoes Aufiya, WNI (warga negara Indonesia) yang tinggal di New Delhi, juga tak mengira pandemi di kota tempatnya tinggal dan studi selama delapan tahun terakhir bisa separah sekarang. ”Sempat terpikir, waduh kalau separah ini dan terus berlanjut, apa iya saya kuat? Ini yang mikir gini bukan hanya saya pastinya,” ujarnya kepada Jawa Pos melalui sambungan telepon pada Rabu pekan lalu (19/5).

Keinginan pulang kampung tentu ada. Namun, pria asal Martapura, Kalimantan Selatan, itu tak punya banyak pilihan.

Apalagi, pascaeksodus WN India ke Indonesia beberapa waktu lalu, penerbangan dari India ke Indonesia ditutup. Praktis, tetap tinggal di episentrum pandemi Covid-19 di India menjadi satu-satunya pilihan sulit yang dihadapinya.

Alhasil, berbagai upaya proteksi pun dia lakukan. Agoes, istri, dan dua anaknya benar-benar menerapkan protokol kesehatan ketat. Setiap hari mereka sangat patuh terhadap anjuran pemerintah setempat. Apalagi, kebijakan kuntara dengan evaluasi tiap pekan diterapkan di sana.

”Tentu bosan. Apalagi, saat sebelum ada gelombang kedua ini, istri dan anak sudah senang karena masih bisa keluar rumah, berolahraga di luar. Tapi, saat ini tidak bisa,” tutur lulusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut.

Ahmad Mujtaba sudah dua tahun tinggal dan belajar di Mumba. Dia berencana pulang Agustus nanti. (Ahmad Mujtaba for Jawa Pos)

Namun, kebosanan itu justru membuat Agoes makin kreatif. Pria yang juga vloger dengan lebih dari 450 ribu pengikut itu kerap membagikan hiruk pikuk kehidupan di India melalui kanalnya.

Bukan hanya cerita soal kehidupan sehari-hari, Agoes juga rutin mengunggah tayangan edukasi. Terutama soal data dan fakta pandemi Covid-19 di India. Dia berharap publik benar-benar melek pada apa yang terjadi di negara dengan populasi terbesar kedua di dunia itu.

Meski, aktivitasnya untuk membuat konten YouTube juga terkendala. Dia tak lagi bisa leluasa ngevlog. Sebab, pemerintah setempat menetapkan kebijakan ketat selama kuntara. ”Nggak bisa keluar sembarangan. Harus ada izin elektronik. Otomatis konten yang saya buat paling hanya 500 meter dari rumah,” imbuh dia.

Untuk salat Id, Agoes dan keluarga juga memilih melaksanakannya di rooftop rumah. Saat Lebaran pun, dia harus menahan rindu bersilaturahmi dengan keluarga di tanah air hanya melalui video call.

Walaupun sempat gundah, dia memilih kembali pada prioritasnya. ”Rasa takut itu cukup terkalahkan dengan pengalaman yang sudah kita lalui. Tentu dengan komitmen studi yang hampir selesai juga. Sehingga ya pilihannya nggak pulang (ke Indonesia),” ujar pria yang kini menempuh studi doktoral di Jawaharlal Nehru University, New Delhi, itu.

Keyakinan yang kuat juga menjadi obat mujarab baginya. Dia yakin India mampu melewati pandemi ini. Terlebih, Agoes menangkap kesungguhan pemerintah setempat untuk memperbaiki kondisi di kemudian hari.

Harapannya, keadaan di negara yang ditinggalinya sejak 2013 itu berangsur membaik. ”Selesai studi tidak lama lagi. Semoga kalau nggak akhir tahun ini atau awal tahun depan bisa kembali pulang. Semoga situasi bisa segera membaik,” tuturnya.

 

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.