Wajah yang Terperangkap di Rumah Cermin

oleh

[ad_1]

Apa jadinya jika seorang perempuan paro baya memperoleh telegram yang datang telat, sebulan setelah dikirim, dan telegram itu mengabarkan kematian anak lelaki satu-satunya?

SITUASI itulah yang kita hadapi ketika membaca cerpen Iwan Simatupang, ”Prasarana, Apa Itu, Anakku?” Cerpen tersebut terdapat dalam kumpulan cerpennya yang penting, Tegak Lurus dengan Langit (1982).

Kita bisa membayangkan kesedihannya, memaklumi jika ia harus mengutuki waktu sebulan yang lenyap. Bisa mendengarnya bertanya-tanya, kenapa ia tak memperoleh kesempatan, setidaknya melihat anaknya dikuburkan? Kita juga bisa mengerti, jika ia menuntut, seharusnya ini tak terjadi.

Betul. Ini bukan perkara peristiwa gaib yang tak jelas sebab akibatnya. Urusan telegram yang datang terlambat adalah urusan manusia. Di belakangnya ada orang-orang yang seharusnya membuat telegram datang secepat mungkin, tapi gagal melakukannya.

Khas sebagian cerpen-cerpen Iwan Simatupang di buku ini, yang demikian pendek sehingga hanya menampung satu kejadian. Peristiwa sederhana yang lebih semacam anekdot daripada ”cerita”. Tapi, anekdot-anekdotnya merupakan titik simpul dari keruwetan dan keberengsekan dunia luas yang terasa bengis.

Bukankah kita sering mengalami situasi sebagaimana dialami si perempuan paro baya? Jika kita naik sepeda motor di jalan gelap dan terjatuh karena jalan berlubang, kita tahu, itu bukan masalah kecerobohan, apalagi sekadar nasib sial.

Ia merupakan bagian dari semrawut tata kelola negeri ini. Itu terjadi karena perusahaan listrik tak juga menyeret kabel ke tempat-tempat yang diperlukan. Bisa jadi pegawainya sudah mau melakukan, tapi uangnya raib entah ke mana.

Sementara urusan perbaikan jalan, bisa jadi sumber dayanya dialihkan untuk memperbaiki jalan di depan rumah pejabat, yang cuma mereka sekeluarga sering memakainya. Macam benang kusut, tapi titik berengseknya bisa berakhir di lutut yang retak karena menghajar aspal.

Mau marah? Kepada siapa? ”Sudahlah, Bu,” kata si carik muda yang menemani si perempuan paro baya. ”Siapa yang harus disalahkan? Mau menyalahkan jawatan pos, wah, syusyaaah!”

Saya jadi ingat cerita adik saya. Ia melaporkan tetangga yang membakar sampah sembarangan hingga asapnya mengganggu ke pemerintah kota melalui aplikasi pelaporan. Tahu apa yang terjadi? Petugas memang datang menegur si tetangga, tapi sekaligus memberi tahu siapa yang melaporkannya.

Kapok. Sistem dibuat gampang, tapi kelakuan orang-orangnya membuat kita enggan membuat pengaduan. Kita jadi mengerti kenapa ada ujaran, jika bisa dibuat susah, kenapa harus dibuat gampang?

Sekilas cerpen ini memang isinya sejenis hantaman komentar pedas nan sinis. Ia serupa meme yang bertebaran di media sosial. Jika tak menggerakkan pikiran atau tindakan orang, setidaknya itu merupakan corong untuk gerutuan, makian, lelucon, sekaligus pelepas amarah.

Bagaimana kita tak butuh corong untuk menggerutu atau memaki, jika tahu ada yang salah, tapi tak tahu siapa yang harus diseret dan bertanggung jawab. Bahkan, seandainya tahu siapa yang salah, situasi membuat yang salah tak bisa dijangkau.

Pada komentarnya tentang Proust, Kafka, Nietzsche (cerpen ini, jika ditulis lebih panjang, saya pikir bisa berupa kisah muram ala Kafka), Iwan berkata, ”Suatu summing up daripada denyaran-denyaran biologis, dibubuhi komentar-komentar kosmologis.”

Persis seperti yang ia lakukan di cerpen ini. Perempuan paro baya yang duduk lesu bersandar merupakan komentar dunia pembangunan dan birokrasi kita yang enggan salah.

Pada cerpen lain, sebagai bandingan, kita hanya bertemu alat kelamin anak sekolah yang terjepit ritsleting (”Aduh… Jangan Terlalu Maju, Atuh!”), untuk komentar mengejek modernisme di desa.

Satu hal yang mudah terlihat juga, Iwan seperti tak membutuhkan nama untuk tokoh-tokohnya. Tak perlu juga penjelasan bertele-tele melebihi ”perempuan paro baya”. Saya kira ini penting: tokoh-tokoh itu bisa diseret ke sembarang tempat.

Si perempuan paro baya adalah anak gadis yang mencari-cari tabung oksigen ke mana-mana untuk ayahnya yang megap-megap di hari-hari ini. Si carik muda adalah sopir ambulans yang tak mengerti kenapa mobilnya dilempari orang, dianggap sumber ketakutan.

Ada orang-orang yang memiliki kuasa, memiliki perkakas, dan terpenting, memperoleh amanah untuk menjalankan pengelolaan negeri. Mereka bisa gagal menjalankan tanggung jawab, bahkan bisa melakukan kesalahan nyata. Tapi, seperti di cerpen Iwan Simatupang ini, mereka tak hanya tak bernama, tapi tersembunyi.

Berlindung di kata sakti semacam, ”Masih untung ada truk perkebunan […] yang mengantarkan pos.” Haruskah kita bergumam pula, masih untung bisa hidup?

Baca juga: Bisa kok Kurang Ajar, asal…

”Kenapa susah? Bukankah tugas mereka harus mengantarkan surat-surat, terlebih telegram-telegram penting seperti ini, tepat pada waktunya?” tanya si perempuan.

Jika si carik muda merupakan wajah pegawai level bawah yang frustrasi, si perempuan paro baya merupakan wajah yang terperangkap di rumah cermin. Sekencang apa pun ia meneriakkan gugatannya, yang terlihat hanyalah wajah jengkelnya sendiri. (*)


EKA KURNIAWAN

Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *