Waspada Pelecehan Terselubung dalam Pacaran

oleh

[ad_1]

JawaPos.com – Pelecehan atau kekerasan seksual tidak hanya terjadi oleh orang yang sama sekali tak dikenal korban. Risiko tersebut juga rawan terjadi pada sepasang kekasih yang memiliki hubungan khusus atau biasa disebut pacaran.

Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menyatakan, pacaran termasuk relasi yang berisiko. Hubungan tersebut kerap dimanfaatkan oknum untuk kepentingan aktivitas seks. Dan, jika itu terjadi, biasanya yang cenderung dirugikan adalah perempuan. ”Dijanjikan mau kawin, dijanjikan mau dinikahi (saat merayu, Red),” ujarnya. Faktanya, tidak sedikit yang justru ditinggalkan.

Dari hasil pengamatannya, hubungan orang yang berpacaran cenderung melahirkan relasi yang tidak seimbang. Biasanya, laki-laki lebih dominan dalam memaksakan kehendaknya. Dalam kultur masyarakat patriarki, laki-laki kerap merasa lebih berwenang. ”Ketika terjadi relasi kuasa yang timpang, (perempuan, Red) tidak berani mengatakan tidak,” ungkapnya.

Belum lagi, permintaan tersebut kerap diikuti dengan ancaman, rayuan secara terus-menerus, perilaku yang tidak nyaman, bahkan mengungkit-ungkit pemberian materi. ”Apalagi, kalau itu terjadi di hubungan yang sudah toxic. Susah untuk menghindari relasi yang tidak sehat,” kata jebolan Universitas Western Sydney tersebut.

Lantas, apakah aktivitas seksual dalam pacaran bisa dijerat hukuman? Alim menyebutkan, secara normatif, bisa. Namun, seperti kasus lainnya, pemidanaannya tidak mudah. Selain ada problem dalam regulasi, ada faktor lain.

Pada umumnya, korban memilih untuk diam. Itu disebabkan faktor psikososial dan pengetahuan yang lemah. Mereka jarang melaporkan kasus pelecehan yang dialaminya karena rendahnya pengetahuan tentang perilaku yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

Di samping itu, faktor ketergantungan psikis, finansial, dan sosial korban terhadap pelaku mengakibatkan korban mengalami dilema untuk mengungkap kasus pelecehan seksual yang dialaminya.

Seniman yang juga dosen filsafat Universitas Indonesia Saras Dewi memandang, kekerasan dalam relasi merupakan imbas dari budaya patriarki yang mengakar. Itu diperparah dengan berkembangnya budaya pop yang seolah melanggengkan hal tersebut.

’’Seolah-olah berdasarkan lelaki dan perempuan itu ada mana yang lebih superior dan mana yang lebih inferior. Selain internalisasi yang dilakukan dari agama, adat, nilai sosial, dan kebiasaan sosial, stereotipe itu saya juga melihat banyak sekali (dari) aspek-aspek budaya populer,” tuturnya.

Baca juga: Menyikapi Maraknya Kasus Pelecehan Seksual, Berdiri Bersama Korban

Di dalam relasi pacaran bahkan rumah tangga, perempuan seolah ditempatkan menjadi pihak yang harus legawa dan menjadi pembimbing agar pasangannya menjadi pasangan yang lebih baik. ’’Kalau berjalan secara timbal balik, mungkin itu menjadi hubungan yang lebih setara. Tapi, justru sering kali malah ditempatkan (bebannya) kepada perempuan,” tambah penulis Buku Saku Standar Operasional Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus itu.

Ketika menerima diposisikan seperti itu, perempuan juga sering mengambil sikap untuk diam dan menerima. Padahal, disadari atau tidak, relasi tersebut merupakan hubungan toksik yang harus dihindari. (far/dee/c12/c17/fal)

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.