57 Pegawai KPK Minta Firli Cs Tindaklanjuti Rekomendasi Komnas HAM

oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi

[ad_1]

JawaPos.com – Sebanyak 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terkait asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Dalam temuan Komnas HAM, asesmen TWK yang menjadi syarat alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) diduga melanggar HAM.

“Kami mengapresiasi Komnas HAM yang setingi-tingginya atas Laporan Hasil Penyelidikan dan rekomendasi yang dirilis hari ini. Indonesia harus berbangga karena memiliki Komisioner dan Staf Komnas HAM yang bekerja sangat professional dan objektif dalam melihat sebuah persoalan,” kata perwakilan 57 pegawai KPK nonaktif, Yudi Purnomo dalam keterangannya, Senin (16/8).

Yudi menuturkan, temuan Komnas HAM mengungkap sisi lain dari TWK yang ternyata bukan hanya sarat dengan perbuatan malaadministrasi sesuai dengan temuan Ombudsman. Tetapi juga perbuatan nyata yang melanggar HAM.

“Terlebih Komnas HAM menyebutkan 11 pelanggaran HAM sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan berbagai konvensi internasional,” papar Yudi.

Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK ini menegaskan, pelanggaran yang ditemukan Komnas HAM tersebut sangat serius. Mulai dari perlindungan hak perempuan sampai dengan penghilangan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.

Dia menuturkan, pelanggaran HAM ini merupakan bukti yang semakin menunjukkan bahwa terdapat permasalahan yang lebih luas. Temuan ini memperkaya validasi Ombudsman yang menyebutkan adanya pelanggaran dalam prosedur pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan TWK.

“Bukti dan validasi ini menjadikan penggunaan hasil TWK sebagai dasar pengangkatan pegawai KPK menjadi ASN tidak memiliki legitimasi baik dari sisi hukum maupun norma,” ucap Yudi.

Oleh karena itu, Yudi meminta Pimpinan KPK menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM tersebut. Sehingga pelanggaran HAM yang terjadi tidak berlanjut, kemudian menimbulkan dampak yang serius.

“Termasuk untuk segera mengangkat pegawai KPK yang dinyatakan TMS untuk menjadi ASN,” tegas Yudi.

Sebelumnya, Komnas HAM telah menyatakan asesmen TWK yang merupakan syarat alih status pegawai menjadi ASN melanggar HAM. Komnas HAM menyebut, penyelenggaraan teknis asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK tanpa dasar hukum yang jelas.

“Dengan demikian, kerja sama BKN dengan pihak Ketiga seperti BAIS, Dinas Psikologi AD, BNPT, dan BIN juga tidak memiliki dasar hukum. Meskipun kerangka kerja sama dengan pihak ketiga tersebut disebut merujuk pada Peraturan Kepala (Perka) BKN dan perwujudan dari pelaksanaan mandat dari Perkom Nomor 1 Tahun 2021,” kata Komisioner Komnas HAM, Amiruddin dalam konferensi pers daring, Senin (18/6).

“Pelaksanaan teknis kerja sama tersebut dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. Apalagi, secara substansi, isi maupun substansi Perka BKN yang disebut tidak sesuai digunakan sebagai rujukan kerja sama dengan pihak ketiga,” sambungnya

Dalam hasil penyelidikan Komnas HAM, lanjut Amiruddin, klausul TWK dimunculkan oleh Pimpinan KPK di dalam beberapa pertemuan internal untuk dimasukkan ke dalam draf Perkom Nomor 1 Tahun 2021 pada akhir waktu sebelum harmonisasi final dan pengesahan. TWK juga ditegaskan dalam rapat harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM pada 26 Januari 2021 yang langsung dihadiri oleh menteri dan pimpinan lembaga/instansi terkait.

“Dalam rapat harmonisasi itu disepakati klausul Asesmen TWK yang bekerja sama dengan BKN di dalam Pasal 5 ayat (4) draf final Raperkom. Meskipun, rapat harmonisasi dihadiri oleh pimpinan kementerian/lembaga, namun Berita Acara Pengharmonisasiannya ditandatangani hanya oleh staf,” ungkap Amiruddin.

Bahkan Komnas HAM mengungkapkan, penyelenggara asesmen TWK bertindak kurang hati-hati dan cermat dalam menjalankan aturan hukum yang berlaku dan terjadi pelanggaran kode perilaku asesor, antara lain tidak adanya upaya atau penjelasan yang dapat membuktikan kebenaran informasi bahwa seluruh asesor yang terlibat dalam proses asesmen TWK telah mengikuti pelatihan dan tersertifikasi. Padahal dua hal tersebut diatur dalam Perka BKN maupun fakta bahwa pelanggaran kode etik karena asesor melakukan, antara lain mengarahkan atau memaksakan
sebuah pandangan tersentu, intimidatif dengan menggebrak meja dan pelecehan terhadap perempuan.

Karena itu, Amirddin menegaskan kredibilitas asesor dapat dinilai tidak sesuai dengan peraturan hukum dan kode etik, serta bermuara pada tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia dalam tahapan penyelenggaraan asesmen TWK tanpa adanya penjelasan. Bahkan pendalaman dan klarifikasi terkait maksud dan tujuan serta indikator penilaian atas pertanyaan/pernyataan tersebut.

Terlebih, jenis pertanyaan dan indikator penilaian merah, kuning dan hijau dalam asesmen TWK sebagaimana telah beredar di publik merupakan benar adanya. Dia menyebut, hal ini merupakan persoalan serius dalam HAM, karena diskriminatif, bernuansa kebencian, merendahkan martabat dan tidak berperspektif gender.

“Hasil asesmen TWK berupa penilaian memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan tepat,” pungkas Amiruddin.

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.