Kebijakan Countercyclical Larangan Mudik

oleh

[ad_1]

LARANGAN untuk mudik saat Lebaran kembali dikeluarkan pemerintah tahun ini. Kebijakan tersebut berpotensi menekan tingkat konsumsi masyarakat. Pelaku usaha di daerah dan kegiatan pariwisata juga diprediksi mengalami dampak negatifnya.

Bila kebijakan itu bersifat stand-alone atau tidak disertai kebijakan countercyclical atau kebijakan yang sifatnya mendongkrak konsumsi, mungkin demand pasar akan stagnan.

Padahal, saat ini yang sangat diperlukan adalah kebijakan yang dapat menggenjot tingkat konsumsi masyarakat.

Kami berusaha memahami, dengan kebijakan larangan mudik, pemerintah ingin mengendalikan persebaran Covid-19. Namun, di sisi lain, kebijakan itu tentu memengaruhi tingkat konsumsi masyarakat. Dan, yang akan paling banyak mengalami dampak negatif adalah kegiatan pariwisata di daerah dan pelaku-pelaku usaha yang biasanya diuntungkan momen Lebaran. Sebut saja jasa pariwisata, jasa transportasi, hotel, dan lain sebagainya. Saat ini pun sebetulnya mereka struggling untuk survive.

Dengan sendirinya akan tercipta disparitas atau ketimpangan kecepatan pemulihan ekonomi yang lebih tinggi antarsektor dan antardaerah di Indonesia. Sebab, sektor dan daerah yang umumnya memanfaatkan momen Lebaran dan mudik untuk meningkatkan pendapatan akan kehilangan potensi revenue akibat kebijakan tersebut.

Seperti yang sudah disebutkan, kebijakan larangan mudik perlu disertai dengan kebijakan countercyclical. Bagaimanapun, potensi pemulihan dengan larangan mudik tidak akan cukup besar bila dibandingkan dengan potensi percepatan pemulihan ekonomi yang bisa diciptakan oleh adanya arus mudik.

Dengan kebijakan pencairan bansos, misalnya, kami rasa ada peluang demand domestik yang bisa didongkrak lebih tinggi. Itu berdasar pengamatan kami tahun lalu. Pencairan bansos yang gencar pada kuartal ketiga 2020 sangat signifikan meningkatkan demand pasar domestik pada periode tersebut. Efek positifnya juga tecermin pada perbaikan tingkat pertumbuhan penjualan ritel.

Kami berharap hal yang sama bisa terjadi tahun ini. Apalagi, kami perkirakan jumlah perusahaan yang mengajukan penundaan pembayaran tunjangan hari raya (THR) tidak sebanyak tahun lalu. Sebab, kinerja ekonomi kita saat ini secara keseluruhan lebih baik jika dibandingkan dengan kinerja kuartal kedua 2020. Kondisi krisis cashflow di perusahaan pun lebih manageable daripada tahun lalu. Meski mungkin masih ada perusahaan yang perlu meminta penangguhan THR, kami rasa secara umum daya beli masyarakat bisa lebih tinggi daripada tahun lalu dan dapat memicu konsumsi lebih tinggi.

Kita tetap harus memaksimalkan momentum ini untuk peningkatan demand dan kegiatan ekonomi masyarakat. Kegiatan ekonomi tidak akan berhenti meski masyarakat tidak mudik. Jadi, masih banyak kesempatan untuk mendongkrak konsumsi, baik dari sisi supply dengan bansos dan pencairan THR maupun dari sisi demand dengan promosi penjualan, online retail, wisata di daerah suburban, dan lainnya.

Karena itu, kami harap pemerintah bisa mengatur timing pencairan bansos agar dapat lancar di seputar masa Lebaran. Pengendalian pandemi pun tetap harus diperhatikan agar trennya terus turun dan semakin minim menjelang musim Lebaran. Dengan begitu, masyarakat bisa lebih bebas melakukan kegiatan ekonomi di daerah tempat tinggalnya atau daerah sekitarnya dengan wisata lokal.

Dari sisi pelaku usaha, kami yakin akan ada upaya untuk menggerakkan konsumsi. Bila seluruh effort itu bisa dilakukan secara bersama-sama, kami cukup positif kita tidak akan kehilangan momentum konsumsi dan momentum percepatan pemulihan ekonomi pada musim Lebaran.

*) SHINTA WIDJAJA KAMDANI, Wakil Ketua Umum Apindo

**) Disarikan dari wawancara dengan wartawan Jawa Pos Agfi Sagittian

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.