Menanti Tupoksi Kementerian Investasi

oleh

[ad_1]

PROPOSAL pemerintah perihal pembentukan dua kementerian baru sudah memperoleh lampu hijau dari parlemen. Nomenklatur keduanya pun sudah ditetapkan.

Tidak lama lagi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (peleburan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional) akan diresmikan bersamaan dengan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Kasus kementerian yang disebut pertama bisa dibilang ”kemunduran”. Kementerian baru tersebut pernah dikukuhkan pada masa pemerintahan Jokowi jilid I. Entah mengapa, pada era Jokowi jilid II, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dipisah lagi untuk kemudian dilebur kembali.

Kemiripan cerita juga terjadi pada Kementerian Investasi/BKPM. Pada rezim Orde Baru, BKPM pernah bermetamorfosis menjadi Kementerian Penggerak Dana Investasi. Alih-alih berstatus departemen, Kementerian Negara Penggerak Dana Investasi ketika itu tidak memiliki jangkauan yang luas.

Menaikkan status dari badan negara menjadi kementerian memang menjadi salah satu opsi guna menguatkan kapasitas kelembagaan. Sebuah kementerian niscaya memiliki mesin birokrasi –dengan struktur mata rantainya yang panjang– yang bisa digerakkan untuk mendukung sasaran.

Rentang kendali juga meluas hingga menjangkau lebih banyak aspek. Kontrol regulasi atas transfer teknologi, penciptaan kesempatan kerja, dan pemerataan distribusi pendapatan merupakan benefit primer yang bisa diturunkan dari penguatan kelembagaan Kementerian Investasi.

Namun, di balik penguatan kapasitas kelembagaan itu, termaktub pula sehimpun konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Jabatan menteri adalah jabatan politik. Penentuan personel yang akan mengisi kursi menteri, misalnya, senantiasa melibatkan tarik-ulur banyak kekuatan partai politik.

Sementara, interaksi antar-kekuatan politik sarat dengan kompromi berbagai kepentingan. Alhasil, Kementerian Investasi –sadar atau tidak– membuka ruang bagi terakomodasinya siklus perubahan arah kebijakan politik jangka pendek, alih-alih kebijakan investasi yang berjangka panjang.

Sebagai konsekuensinya, perubahan kultur akan menjadi keniscayaan. Regulasi yang diproduksi oleh Kementerian Investasi sangat boleh jadi akan bias berpihak pada kepentingan pemegang kekuasaan. Kredibilitas institusi dan kebijakannya menjadi pertaruhan besar di mata calon investor.

Tesis ini tidak mengada-ada. Pengalaman Kementerian BUMN bisa menjadi cerminan. Rencana pembentukan perusahaan induk (holding) BUMN yang dirancang sebelumnya teranulir tatkala menterinya berganti. Artinya, kebijakan dan regulasi selalu saja mengikuti ”selera” pemegang kekuasaan.

Sebagai komparasi, bidang-bidang teknis di luar negeri diposisikan satu tingkat di bawah kementerian agar tidak terkontaminasi dengan politik. Pemilihan personelnya pun murni atas dasar pertimbangan teknis. Alhasil, menteri boleh saja berganti, tetapi regulasinya kukuh tidak berubah.

Harus diakui, keputusan penanaman modal memang dipengaruhi oleh kondisi politik. Namun, bukan berarti lembaga regulatornya diceburkan sekalian ke ”kolam politik” itu sendiri. Keberadaan Kementerian Investasi di wilayah politik niscaya akan memantik kegaduhan yang tidak perlu.

Hal yang sama bakal terjadi pada Bank Indonesia (BI). Otoritas moneter itu konon akan diletakkan di bawah Dewan Kebijakan Ekonomi Makro yang dibentuk pemerintah. Lagi-lagi, independensi kebijakan BI terkooptasi oleh pemerintah yang notabene adalah representasi kekuasan eksekutif.

Kecenderungan di atas, tampaknya, akan berlanjut, pun pasca-Jokowi tidak lagi memegang tampuk pemerintahan. Politik tetap menjadi ”panglima”, alih-alih menjadi fasilitator. Alhasil, kebijakan secanggih apa pun yang diracik akan berhenti di tengah jalan jika tidak memperoleh restu politik.

Dengan konfigurasi problematika di atas, Kementerian Investasi mutlak diberi job desk yang jelas. Sebagai regulator, Kementerian Investasi akan senantiasa berhubungan dengan calon investor. Artinya, peran duta investasi atau bahkan PR (public relation) implisit tersandang kepadanya.

Lebih lanjut, kiprah Kementerian Investasi sangat mungkin akan bersinggungan dengan INA (Indonesia Investment Authority). Pembedaan area kerja berdasar objek investasi mungkin bisa menjadi jalan tengah alternatif yang kompromistis tanpa merecoki kewenangan masing-masing.

Kegagalan koordinasi antar kementerian juga bisa berakibat fatal. Calon investor sudah sering mengeluhkan soal perizinan, tanah, dan problem sektoral lainnya. Akan sangat kontraproduktif jika eksistensi Kementerian Investasi justru menambah jumlah ”pemain” sehingga investor sulit mengolah ”bola”.

Permasalahan di atas juga akan merambah ke level regional. BKPM yang sebelumnya instansi vertikal, setelah otonomi daerah, bergeser menjadi lembaga organik pemerintah daerah. Jelasnya, cerita usang perebutan ”ladang kerja” antara kantor wilayah dengan dinas akan berulang kembali di masa mendatang.

Alhasil, pembentukan Kementerian Investasi potensial menyisakan bom waktu jika tidak dijinakkan sejak dini. Ironisnya lagi, tombol peledaknya bukan karena faktor eksternal yang berada di luar kendali kekuasaan. Akan tetapi, aspek internal yang bersemayam di dalam dirinya sendiri.

Harus disadari bahwa kegiatan investasi (to invest = menanam) butuh ketenangan hingga saat memanen (to harvest) hasil. Untuk itu, Kementerian Investasi wajib memiliki kapabilitas dalam mereduksi informasi tak simetri antara calon investor, partner, pemerintah, sektor privat lain, dan prospek ke depannya.

Baca Juga: Ditelepon Ratusan Kali sebelum Tabungan Ludes Rp 50 Juta karena OTP

Pada tataran yang paling fundamental ini pula, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Kementerian Investasi harus mampu menjaga kepercayaan semua pemangku kepentingan. Pada akhirnya, investasi yang digadang menjadi mesin baru pertumbuhan ekonomi setelah pagebluk Covid-19 akan segera kesampaian. (*)


*) Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI (The Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan Program PPs UGM Jogjakarta

Saksikan video menarik berikut ini:

[ad_2]

Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.