[ad_1]
PANDEMI Covid-19 membuat hampir seluruh negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia, tergagap untuk mengatasinya. Bagaimana tidak, selain memiliki daya tular (infectious power) cepat, Covid-19 mempunyai kemampuan metamorfosis dalam beragam varian. Varian Delta Covid-19 yang melanda Indonesia Juli lalu sempat menjadi teror mental menakutkan.
Setiap kali musala atau masjid desa/kelurahan menyampaikan pengumuman, kalimat yang terucap: inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Pertanda ada warga yang meninggal. Terjadi saling bersahutan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam satu desa/kelurahan, terdapat kasus meninggal karena Covid-19, tiga sampai empat orang, bahkan lebih.
Dalam upaya memutus mata rantai penularan Covid-19, pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), PSBB transisi, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, hingga PPKM empat level seperti sekarang ini. Kebijakan itu membawa dampak luar biasa terhadap sendi-sendi kehidupan, terutama bidang sosial ekonomi. Mobilitas masyarakat terbatasi. Kegiatan perekonomian menjadi terganggu.
Pemerintah sebagai representasi negara harus hadir untuk warganya yang terdampak. Pemerintah pusat (Kemensos RI) mengakselerasi pencairan bantuan sosial (bansos): bantuan sosial tunai (BST), bantuan pangan nontunai (BPNT), dan program keluarga harapan (PKH) kepada keluarga penerima manfaat (KPM). Bantuan langsung tunai dana desa (BLT-DD), kartu prakerja, dan bantuan permodalan usaha mikro (BPUM) juga dikucurkan kepada KPM.
Jaring pengaman sosial (JPS) Jatim Rp 200 ribu per KPM dikucurkan kepada selain penerima bansos pusat. Di tingkat kabupaten/kota, Pemkab Sidoarjo, misalnya, memberikan bansos dalam bentuk beras/sembako, vitamin, dan permakanan. Selain BPNT daerah Rp 150 ribu/KPM/bulan, bansos beras 20 kg diberikan kepada KPM terdampak Covid-19.
Sembako senilai Rp 150 ribu diberikan kepada 100.000 warga yang terdampak PPKM darurat/level 4 dan warga terpapar Covid-19 yang isolasi mandiri di rumah. Warga yang isolasi mandiri di selter memperoleh permakanan (pagi, siang, dan malam). Selter yang disiapkan ada lebih dari 440-an. Selain itu, Pemkab Sidoarjo menyiapkan 35.000 paket vitamin.
Persoalan di Lapangan
Dari sejumlah bansos yang dikucurkan, sebenarnya lebih dari cukup bagi warga miskin atau terdampak Covid-19 untuk bisa bertahan hidup. Contoh, dengan total penduduk Sidoarjo 2.051.110 (setara dengan 659.324 KK), bansos yang disampaikan mampu menjangkau 66,68 persen atau 406.665 KK. Persoalannya adalah mengapa hingga saat ini masih saja dijumpai ada warga mampu yang menerima bansos (inclusion error), tetapi ada warga tidak mampu yang tidak memperoleh bansos (exclusion error)?
Dari hasil penelusuran lapangan, hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama, belum semua desa/kelurahan melakukan verifikasi dan validasi (verval) data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Desa/kelurahan yang melakukan verval DTKS tidak lebih dari 35 persen. Karena itu, jangan heran kalau kemudian setiap rilis DTKS dari Kemensos RI dari tahun ke tahun selalu saja jadi persoalan nasional.
Mayoritas kapasitas operator sistem informasi kesejahteraan sosial next generation (SIKS-NG) perlu ditingkatkan. Pimpinan desa/kelurahan belum semuanya mempunyai kepedulian tinggi terhadap pentingnya verval DTKS sebagai basis data utama. Karena dianggap tidak penting, petugas operator diambil dari perangkat, anak non-ASN, bahkan kerabat aparat yang tidak menguasai teknologi informasi (TI) memadai dengan insentif yang juga jauh dari layak. Kepala seksi kessos kecamatan dan bidang teknis dinas sosial kabupaten/kota juga perlu meningkatkan pembinaan dan monev secara berkala.
Kedua, perlunya review terhadap aplikasi SIKS-NG sebagai peranti yang memegang kendali terhadap akurasi verval DTKS. Cukup banyak kepala desa/lurah yang mengeluh, meskipun sudah diverval dengan baik, tetap saja data yang ditetapkan Pusdatin Kemensos RI masih data lama. Banyaknya respone dari desa/kelurahan terhadap ketidakakuratan data KPM BST (penyalurnya PT Pos Indonesia) baru-baru ini adalah bukti yang tidak terbantahkan. Bagaimana mungkin anak di bawah umur (17 tahun), PNS, anggota TNI/Polri, orang yang telah lama meninggal, pindah alamat, atau KPM PKH/BPNT ditetapkan sebagai penerima BST?
Ketiga, hindarkan pemberian bansos dari kepentingan politik lokal. Mengapa masih saja terjadi fenomena inclusion error dan exclusion error sekalipun telah berulang dilakukan verval DTKS? Tidak lain karena masih ada calon terpilih yang lebih mementingkan konstituennya daripada warga yang seharusnya berhak menerima bansos. Sisa-sisa kontestasi pemilihan kepala desa (pilkades) agaknya masih belum bisa hilang. Warga yang dulu memberikan dukungan sekalipun sudah masuk kategori mampu masih saja didata sebagai KPM penerima bansos. Namun, bagi yang bukan pendukung, sekalipun kategori miskin, mereka tidak akan dimasukkan sebagai KPM penerima bansos.
Tetapi, bagi kepala desa terpilih yang memiliki jiwa kesatria sejati, ketika pilkades usai, saat itu juga di dalam hati dan pikiran mereka akan mendeklarasikan bahwa dirinya bukan hanya kepala desa bagi rakyat pemilih. Yang tidak memilih pun juga merupakan rakyat yang perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan sosial. Dengan kelapangan hati dan pikiran suci pemimpin semacam itulah barangkali pengentasan kemiskinan akan dapat dilakukan.
Nelson Mandela, presiden Afrika Selatan (1994–1999), pernah mengingatkan, ”Mengatasi kemiskinan bukan sebuah sikap amal. Itu merupakan tindakan keadilan. Itu merupakan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang fundamental, hak atas martabat dan kehidupan yang layak. Selagi kemiskinan berlanjut, tidak ada kemerdekaan sejati.” Memerdekakan rakyat dari kemiskinan adalah sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan. Bukankah begitu? (*)
*) NG. TIRTO ADI M.P. Kepala Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!