[ad_1]
Kijang lebih cepat dari kura-kura, tapi kalah cepat dari gosip.
—
KADATUAN lelaki sepuh masih jauh. Masih berkali malam lagi Pendekar Bra dan Tingting Bocah mencapainya. Itulah kadatuan yang lebih tua dari usia kura-kura, yang para warganya saling dibenturkan-benturkan tanpa sadar atas gosip yang ditiupkan.
Aneh, pikir Bra, lazimnya sang pembentur sendirilah yang berdaya menyelesaikan perbenturan melalui gosip-gosip yang juga diembus-embuskannya sendiri. Biang yang tadinya tak dinyana sebagai sang pengembus sekaligus sang pembentur akan disanjung-sanjung sebagai pahlawan. Taktik klise yang paripurna! Lelaki sepuh ini patut diduga sebagai sang pembentur. Anehnya, malah jauh-jauh sambat ke Pendekar Bra untuk datang ngasih solusi?
Perjalanan yang masih akan berkali fajar lagi itu bukanlah perjalanan sedap. Bukan lantaran pohon-pohon raksasa tumbang merintangi jalan setapak. Sudah biasa Pendekar Bra dan Tingting Bocah mendaki dan memanjat gelondongan kayu raksasa merintangi jalan hidupnya. Terbang dengan ilmu meringankan tubuh hanya sekali-sekali mereka praktikkan.
”Di bidang apa pun perjalanan tak harus secepat kijang berlari. Nikmatilah proses secara alamiah. Biar kunang-kunang yang terbangnya alamiah,” pendekar muda yang kelak mirip pebola Ibrahimovic itu senantiasa tergiang-ngiang pesan gurunya. Tingting Bocah menganut prinsip serupa. Walaupun, ingat, di masa kanak-kanaknya sekali lompat saja ia sudah dapat mengitari tujuh keliling bumi.
”Jika kebencian sumber perbenturan butuh proses, cinta sumber perdamaian juga butuh proses,” gumam Bra. ”Sepakat,” bocah menyahut. ”Semakin tak buru-buru kita ke kadatuan itu, semakin mereka yang bertikai di sana punya waktu untuk memproses tumbuhnya cinta. Perdamaian menyusul kemudian.”
Perjalanan yang masih akan panjang itu menjadi tak sedap lantaran Bra dan Bocah menandai ada harimau putih di kejauhan. Ia menjajari perjalanan. Mereka berhenti di depan aral perintang jalan, harimau pun berhenti, seakan di depannya merintang gelondongan pohon raksasa.
***
Jalan menurun dari suatu bukit mengantar mereka di suatu dukuh. Warga berkumpul di bawah bulan sabit. Para pejalan singgah dan membaur. Lelaki sepuh menjura pada Bra dan Bocah, ”Kalian berhenti tanpa kuminta. Kuhargai ini. Sangat tidak sopan berlalu begitu saja di dukuh yang penduduknya sedang menggelar perayaan.”
Bukan perayaan. Itu malam persembahan. Seorang perawan terbaring di atas papan merah, di bawah bulan sabit merah darah. Macan warna kuntul akan memangsanya. Wajahnya sebelas dua belas dengan macan yang sebelumnya menjajari jarak jauh perjalanan mereka.
”Beliau muncul di sini sejak gong keramat ditabuh,” seorang warga membisiki Bocah setelah berterima kasih karena sudi singgah. Dukuh sunyi itu berpusaka gong bertuah. Besar sekali. Digantung di sudut kuburan. Diyakini turun-temurun, bila ditabuh, macan-macan hengkang.
Suatu malam seorang hakim adat menabuhnya… Gong…gong…gong…
Eh, malah datang seekor macan warna bangau. Bersimpuh ia di pusara terbesar makam itu. Masyarakat berkasak-kusuk dengan bulu roma berdiri. Mereka menuding, gong dipukul oleh hati yang kotor. Tak heran jika berakibat sebaliknya. Alih-alih bertuah mengusir raja hutan malah bertulah mengundangnya. Entah bersih atau kotor hati hakim itu, pokoknya sepekan sebelumnya yang mulia mendiskon hukuman bagi terdakwa dari kalangan penegak hukum. Yang mulia menyunat hukuman 10 tahun menjadi cuma 4 tahun penjara.
***
Ketegangan warga makin memuncak seakan-akan sundul bulan sabit merah darah saat moncong harimau putih itu sudah menghampiri leher perawan persembahan. Para musafir melesat mencegahnya. Si lelaki sepuh menendang pemangsa. Pendekar Bra menjotosnya. Tingting Bocah menjambak kumis putihnya.
Seru sekali pertarungan berlangsung. Seseru apa? Pokoknya seru, tapi buat apa melukiskan serunya pertarungan dunia persilatan bila pertarungan dunia nyata kalian sendiri hari-hari ini tak kalah seru? Bertarung mencari pekerjaan. Bertarung menghadapi pandemi. Bertarung melawan kebijakan-kebijakan penguasa yang bagi kalian mungkin mencla-mencle.
Singkat cerita, para musafir takluk. Harimau putih sungguh digdaya. Tangis orang tua calon korban kembali berderai-derai. Tangisan mereda saat harimau putih menggeram, ”Baiklah, aku tak akan memangsa perawan di atas papan meranti itu. Wahai engkau, musafir yang perempuan…siapa namamu?”
”Tingting Bocah…”
”Tingting Bocah. Sebagai ganti tumbal, aku ingin salah satu di antara kalian bertiga. Aku bosan menerima tumbal berwujud rakyat. Mbok sekali-sekali tumbalnya kaum kesatria. Itu baru keren.”
Waduh. Warga dukuh lega. Mereka mengelus dengkul.
”Tingting Bocah,” harimau putih melanjutkan geraman lengkap dengan aumannya. ”Tolong pilihkan buatku, lelaki sepuh sebelah kananmu atau lelaki muda sebelah kirimu. Tingting Bocah, putuskan pilihanmu, kuberi tenggat sampai dehemanku yang ketiga.”
Menjelang deheman ketiga, Tingting Bocah maju. ”Aku memilih diriku sendiri!”
Waduh! Apakah ini benih kenapa Pendekar Bra pindah ke lain hati, dari hati Tingting Jahe ke hati Tingting Bocah? Atau justru cinta Bra layu sebelum berkembang sebab berarti Tingting Bocah juga memberatkan nyawa lelaki lain, yakni lelaki sepuh? Nantikan Minggu depan. (*)
SUJIWO TEJO, Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!