[ad_1]
Cerita bagai gula. Hampir semua suka manis. Hampir satu-satunya yang tak perlu diajar ibu buat bayinya adalah ngemut yang manis-manis.
—
LEBIH-LEBIH bila gula, cerita itu, bersangkutan dengan diri sendiri. Itulah manusia. Monyet bukan manusia. Mungkin itu sebabnya ia kurang bernafsu menceritakan diri sendiri. Kenapa dirinya dicampakkan Pendekar Sastrajendra setelah pendekar bertopi koboi ini kepergok mayat hidup yang berjalan sendiri ke penguburannya?
Demikian Tingting Jahe bertanya kepada monyet yang sudah didudukkan di pundaknya. Mantan kekasih Sastra itu lupa bahwa diberi jabatan dengan kedudukan apa pun, monyet tetaplah monyet. Dengan mulut masih penuh bipang, monyet mendelik-delik seperti bergegas ingin bercerita.
”Baiklah, tapi akan kuceritakan saja tentang seluk-beluk mantan kekasihmu itu,” monyet masih menuntaskan satu–dua telanan bipang. Tenggorokannya tampak kesereten.
***
Ada berbagai warna gula. Pun ada berbagai versi cerita. Cerita ini diriwayatkan Pendekar Elang Langlang Jagad, periwayat cerita yang andal. Dari ibu kandung Tingting Bocah itu monyet menyimak: di masa remaja Sastrajendra, tetua kadatuannya tunggal kepercayaan dengan rakyatnya. Julukannya Jaka Pitaya. ”Jaka” julukan penguasa Jurus Kebal Rayuan Manis itu sebab saat naik tampuk kepemimpinan Sang Kebal masih perjaka. Kebal lalu menikahi perempuan kadatuan lain di seberang laut yang kembangnya kondang ayu-ayu. Sang Kebal tak menikah dengan yang cantik, dengan yang mainstream. Ia nikahi yang manis. Tahi lalat di dagunya menambah rasa gula itu.
Drupadun, gula-gula itu, ternyata tak hanya manis. Ia juga penuh siasat. Semenjadi perempuan pertama kadatuan Jaka Pitaya, bukan saja tataan rambut panjang dan warna gincu bibirnya yang diubahnya. Rambutnya dulu ikal mayang terurai sepinggang. Sekarang ia sanggulan keong. Sejak pagi itu lehernya yang bak pualam selalu terpandang bersama pemandangan hutan, gunung, sawah, dan lautan kadatuan. Bibirnya dari merah hati memerah kalbu.
”Merah kalbu… Merah kalbu… Merahnya hati nurani,” sapa burung beo setiap melihat Drupadun menyembul dari gapura. Irama kicauannya impor dari gado-gado irama kacer dan murai tetangga sangkarnya.
***
Kemanisan Drupadun juga ditunggangi oleh dirinya sendiri guna memohon secara manis-manis agar suaminya pindah kepercayaan. Secara perlahan namun manis luntur sudah Jurus Kebal Rayuan Manis itu. Suaminya berpindah dari keyakinan asli leluhurnya kepada kepercayaan impor dari kadatuan si manis berasal.
”Kamu juga akan memintaku mengganti keyakinan seluruh wargaku dengan keyakinan impor ini, Diajeng?” pertanyaan remang-remang suatu malam di atas ranjang.
Drupadun tak menjawab. Ia tersenyum manis sembari menowel tahi lalat di dagunya sendiri, lalu mencubitkannya di kiri pipi suami. Paginya, di alun-alun, dengan toa alami kulit kerang, bekas orang kebal itu memaklumati seluruh warganya agar mengemasi kepercayaan lama. Mereka harus berpindah pada kepercayaan impor itu. Warga berbondong-bondong pindah. Ada yang ikhlas, ada yang kurang ikhlas namun takut dipisuhi oleh yang sudah berpindah.
”Kecuali seorang remaja tak bernama!” tebak Tingting Jahe. ”Kelak dunia persilatan menjulukinya Pendekar Sastrajendra. Ia bertopi koboi.”
”Seratus! Kok tahu?”
”Aku kenal yayangku, eh, mantan yayangku itu. Dia sudah tak mainstream sejak bocahnya. Si Jaka itu pasti menirunya walau akhirnya jadi mainstream juga saat mematuhi perempuan semprul itu!” Tingting Jahe menyodorkan air kepada monyet yang masih kesereten bipang. ”Terus…Terus…?”
Terus, secara mendadak remaja itu tak kasatmata. Hulubalang kadatuan menelesik keberadaannya. Kerabat dekat dan teman-temannya mereka interogasi. Setiap yang tidak bisa menjawab dihukum gantung di alun-alun. Tiangnya persis di mimbar tempat Jaka Pitaya mengumumkan keyakinan impor barunya.
Seorang perempuan ayu alergi tiang gantungan. Ia berusaha keras agar dapat melihat keberadaan karibnya yang tak bernama itu. Kedua alisnya digundulinya. Alih-alih mampu melihat remaja tak bernama, mampunya malah melihat tuyul-tuyul. Gagal mati di tiang gantungan malah sukses mati ketakutan tuyul.
***
Suatu kadatuan nun jauh di sana diserbu oleh kadatuan lain. Konon atas nama perbedaan keyakinan, walau sebetulnya bukan atas nama itu. Saat itulah remaja tak bernama mulai tak tahan. Jerit-jerit mereka yang digantung mulai mengusiknya. Ada yang menjerit tentang semakin jomplangnya palawija sebagai alat barter. Ada yang jeritannya tentang dicaploknya tanah-tanah oleh buaya darat. Tak sedikit yang setelah papan pijakan kakinya ditendang algojo dan tali gantungan menjulur tegang, menjerit sebelum mulutnya berbusa, ”kenapa pasien-pasien asuransi resmi kadatuan dianaktirikan, sedangkan pasien pribadi dianakkandungkan?”
”Tubuh remaja tak bernama kembali menjadi kasatmata. Jagabaya kadatuan membekuknya. Digantung tak mati-mati, akhirnya rambut di ubun-ubunnya dijambak algojo hingga botak. Itulah rahasianya kenapa sampai kini Pendekar Sastrajendra menutupi kepalanya dengan topi koboi,” tandas monyet yang sontak berlarian demi dikejar-kejar Jahe karena merasa terkibul di ujung cerita.
”Sastrajendra-ku tak mungkin begitu…!!! Sastrajendra-ku tak mungkin begitu…!!!” seru Jahe berlarian dan ketawa-ketawa.
Di bawah pohon asoka, Pendekar Bra kekasih Jahe mengasah pedangnya dengan tangan cemburu. (*)
SUJIWO TEJO
Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers
[ad_2]
Sumber: Berita ini telah tayang di situs jawapos.com, klik link disini!